Pada tahun 1997, Taufik Ismail, atas perintah dari Prof Dr. Wardiman Djojonegoro yang merupakan menteri Pendidikan pada waktu itu, melakukan survei tentang budaya membaca siswa-siswa SMA di 13 negara, baik itu di Eropa, Amerika, Kanada, mau pun Asia. Hasilnya beliau tuliskan dalam sebuah laporan yang kita kenal dengan istilah “Tragedi Nol Buku”. Tragedi Nol Buku adalah fakta menyedihkan bahwa ternyata siswa SMA Indonesia TIDAK WAJIB MEMBACA BUKU SASTRA SAMA SEKALI (atau nol buku) sehingga dianggap sebagai siswa yang BERSEKOLAH TANPA KEWAJIBAN MEMBACA. Sila baca untuk lebih lanjut. https://satriadharma.com/2014/01/28/tragedi-nol-buku-tragedi-di-dunia-pendidikan-indonesia/
Setelah 21 tahun berlalu, apakah telah terjadi perubahan pada kurikulum pendidikan kita? Apakah kita kemudian berupaya keras untuk membuat kurikulum yang akan membuat siswa sekolah menengah kita akan wajib membaca karya sastra? Aneh bin ajaib ternyata tidak ada perubahan. Sampai hari ini siswa sekolah menengah kita masih TIDAK DIWAJIBKAN MEMBACA KARYA SASTRA. Apa sebenarnya masalahnya?
Lho, bukankah sekarang telah ada Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang bahkan sudah dinaikkan statusnya menjadi Gerakan Literasi Nasional (GLN)? Ya, memang. Tapi ternyata program ini belum mampu, dan saya sangat ragu bahwa program ini akan mampu, menjadi sebuah program yang akan mewajibkan siswa membaca karya sastra. Gerakan ini bergulir di banyak tempat tapi tanpa memiliki roh dan jiwa sehingga berjalan tanpa visi dan target yang jelas. Saya bahkan kuatir bahwa program Membaca Lima Belas Menit setiap hari yang dicanangkan oleh Kemendikbud yang semula dilaksanakan dengan penuh antusiasme akan kehilangan semangat dan jiwa dan akan kembali menjadi program rutin yang membosankan dan tanpa arah. Saya telah melihat banyak sekali contoh dan saya merasa ngeri bahwa apa yang telah kita dorong selama ini akan kehilangan momentum dan kembali mundur. Jadi jangankan akan menuju program “Wajib Baca Karya Sastra”, bahkan untuk mampu membangun minat, kebiasaan, dan kemampuan membaca siswa saja kita akan gagal.
Apa yang dilakukan oleh Kemendikbud jelas masih jauh dari cukup untuk mendongkrak minat baca bangsa kita. Mendongkrak minat baca bangsa harus dilakukan dengan berbagai cara secara serentak dan dengan cara yang massif dan terstruktur. Saya melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Kemendikbud juga belumlah optimal dan masih sekedar program business as usual. Belum ada upaya sungguh-sungguh untuk mendorong semua sekolah untuk memiliki perpustakaan yang memadai bagi siswanya. Belum ada target pada semua sekolah di seluruh Indonesia untuk memiliki perpustakaan padahal perpustakaan adalah jantungnya sekolah. Sekolah yang sudah punya perpustakaan juga belum didorong untuk membawa buku-bukunya ke kelas sehingga setiap kelas punya ‘Perpustakaan Kelas’ atau ‘Sudut Baca’ yang berisi buku-buku yang menarik minat siswa untuk membaca di waktu senggangnya di kelas. Padahal jelas sekali bahwa kita tidak mungkin menghasilkan siswa yang gemar membaca jika di sekolah mereka tidak ada buku, di kelas tidak tersedia buku bacaan menarik, dan tidak ada program wajib baca.
Kita tahu bahwa kunci minat baca anak terletak pada ketersediaan materi bacaan yang beragam dan berlimpah untuk memenuhi minat dan kemampuan baca anak yang beragam dan juga program literasi yang tepat. Sampai saat ini belum ada pembahasan khusus tentang bagaimana upaya agar semua sekolah memiliki perpustakaan dengan koleksi buku yang memadai baik dalam ragam mau pun jumlah koleksinya. Jadi bagaimana kita mau bicara soal kewajiban membaca karya sastra sedangkan minat dan budaya baca siswa pun belum tumbuh? Bagaimana mungkin kita mengharapkan siswa yang cerdas tanpa membaca buku sebagaimana siswa-siswa di negara lain…?!
Jelas tidak mungkin dan Kemendikbud jangan diharap akan berpikir sejauh itu.. Kemendikbud tidak berpikir sampai tahap operasional. Mereka hanya akan berpikir pada tahap strategi dan procedural belaka. Perkara bagaimana strategi atau pun prosedur itu bisa berjalan itu urusan masing-masing disdik di daerah kata mereka.
Baik. Gak usah ikut mbulet. Biarkan saja para akademisi di kampus bermasturbasi dengan teorinya. 😀 Ini saran saya…
Mari kita bersama-sama melakukan Gerakan Menyumbang Buku untuk Almamater. Mari kita lakukan upaya membangun perpustakaan di sekolah-sekolah dan sudut baca di kelas-kelas di mana kita dulu pernah belajar. Minimal sumbanglah buku. Kunjungi almamater Anda (SD,SMP, SMA) dan lihat apakah mereka punya perpustakaan yang memadai atau tidak. Kalau perpustakaannya masih belum memadai (dan insya Allah hampir semua perpustakaan sekolah kita kekurangan buku) sumbanglah beberapa buah buku ke almamater Anda itu. Insya Allah kalau cuma menyumbangkan sebuah atau dua buah buku bacaan bagi siswa hampir semua alumni bisa.
Ajak beberapa teman Anda untuk reunian sambil sambang sekolah (jangan cuma makan-makan di restoran mahal sambil karaokean untuk menunjukkan betapa suksesnya Anda hari ini berkat pendidikan yang Anda terima dulu). 😊 Lakukanlah sesuatu untuk sekolah Anda dulu. Pay back to your school which has made you like now. Sumbangkan sedikit uang Anda bagi sekolah-sekolah Anda dulu. Ajak teman-teman alumni Anda untuk sesekali reunian ke sekolah. Para guru tentu akan sangat senang melihat betapa para alumninya sekarang sudah semakin besar tubuh mau pun koceknya. Ketika itu mintalah teman-teman alumni Anda untuk membawakan buku-buku bacaan bagi siswa di sekolah Anda. Kalau tidak punya buku baru buku bekas juga tidak apa-apa (tapi kok yo cik nemene kon iku). 😎
Kalau setiap alumnus bawa tiga buah buku dalam sebuah kunjungan reuni ke sekolah maka kalau setiap kali reunian bisa membawa 100 alumni maka akan terkumpul minimal 300-an buku bacaan dari setiap angkatan. Bayangkan berapa banyak buku yang bisa terkumpul jika setiap angkatan ikut terlibat dalam program Gerakan Menyumbang Buku untuk Almamater ini. Itu akan mengubah iklim belajar siswa di almamater Anda. Percayalah…!
Seperti yang saya sampaikan, saya telah memulai tahun 2019 ini dengan menggerakkan para alumni SMPN 1 Mejayan (Caruban) di Kabupaten Madiun di mana saya dulu pertama kali mengajar untuk melakukan gerakan menyumbang buku bagi almamater ini. Kemarin saya sudah melakukan sosialisasi Gerakan Literasi Sekolah pada siswa Kelas 7 dan 8 dan para siswa sangat antusias ketika saya tantang untuk mengikuti program “1,000 page Reading Challenge” dan tantangan menulis “One Class One Book”. Anak-anak memang selalu antusias dan bergairah menyambut hal-hal baru apalagi yang menantang. 👍😊
Minggu depan kami akan melakukan pencanangannya atau Deklarasi Gerakan Literasi SMPN 1 Mejayan Kab Madiun dengan dihadiri oleh Kadisdik Kab. Madiun, perwakilan orang tua, perwakilan sekolah imbas di Kabupaten Madiun, perwakilan siswa, dan perwakilan alumni. Karena keterbatasan akses saya pada para alumni maka saya berupaya menggerakkan alumni yang masih bisa saya hubungi (lha wong saya cuma mengajar di sekolah itu selama dua tahun).
Salah seorang mantan siswa saya mengabari bahwa karena waktunya agak mepet maka baru bisa mengumpulkan dana 11 juta. Haah…! Dari satu angkatan saja bisa mengumpulkan dana sebanyak itu untuk program Gerakan Menyumbang Buku bagi Almamater ini…?! 😯 Wow…! Bayangkan bagaimana gegap gempitanya jika ada puluhan angkatan yang ikut. Lha wong mantan siswa saya itu adalah siswa yang saya ajar 40 tahun yang lalu. Artinya masih ada potensi puluhan angkatan alumni yang bisa digerakkan.
Kapan kamu mau mulai dengan sekolah almamatermu…?! Kalau kamu perlu bantuan untuk menggerakkannya saya sungguh bersedia. Just contact me. 🙏😊
Surabaya, 18 Januari 2019
Pak Satria Dharma,
Sy salah satu alumni SMP 1 Mejayan. Turut berbangga mendengar kemajuan ini. Top markotop dan jos gandos.
salam,
djuni