
Ilustrasi
“Jangan berutang kalau belum punya uang. Menabung saja dulu sampai dana cukup baru beli kontan.” Ini adalah anjuran yang sering kita dengar. Ya kalau tidak punya uang untuk apa ngutang, demikian pikir kita. Sangat rasional kan?
Tapi ternyata pikiran demikian tidak selalu benar. Itu cocoknya untuk orang awam. Pebisnis justru tidak akan pernah menggunakan dana cashnya jika dia masih bisa mendapatkan pinjaman atau utangan dari bank. Kalau kita bisa berbisnis menggunakan dana orang lain lantas untuk apa menggunakan dana sendiri? Demikian kata mereka. Pebisnis yang hebat akan selalu mencari cara untuk menggunakan dana pinjaman untuk membesarkan bisnisnya. Dia akan menggunakan dana pribadinya atau dana perusahaannya sekecil mungkin dan akan pinjam sebesar mungkin dari perbankan untuk mengembangkan usahanya. Dari perkembangan bisnisnyalah ia akan membayar utangnya secara bertahap.
Pebisnis yang jauh lebih hebat bukan hanya akan menggunakan dana orang lain untuk menjalankan bisnisnya, ia juga akan berusaha agar bisa menggunakan sumber daya, tenaga kerja, pemikiran, dan tenaga ahli orang lain sebanyak mungkin. Kalau perlu ia tinggal menjalankan sangat sedikit peran tapi yang paling penting dan strategis. Sisanya biar dikerjakan oleh orang lain. “Kalau orang lain bisa mengerjakannya, mengapa harus saya sendiri yang mengerjakannya?” demikian prinsipnya. “Yang penting bisnisnya adalah milik saya.” 😎
Begitu juga dengan lembaga yang saya kelola (enggak ding! Saya hanya turut mengelola). Lembaga kami utangnya banyak. Tapi bagi kami itu sebuah hal baik karena dengan utang tersebut kami bisa mengembangkan lembaga kami agar bisa maju dan menjadi lebih besar. Seandainya kami berprinsip emoh ngutang maka mungkin perkembangan lembaga kami juga tidak akan bisa secepat sekarang ini. Toh selama ini kami tidak mengalami kesulitan dalam membayar utang-utang lembaga kami. Lagipula (ini rahasia…) seandainya pun kami kesulitan dalam membayar cicilan utang kami maka bank kreditur akan tetap mengatur atau mengubah ketentuan persyaratan dan melonggarkannya. Ada banyak skema untuk meringankan kesulitan kreditur dalam membayar pinjamannya. Bahkan kemarin ketika pandemi lembaga kami mendapatkan keringanan pembayaran utang tanpa kami minta. Tampaknya pemerintah mendorong perbankan untuk melonggarkan kewajiban membayar utang para krediturnya. Dua tahun penuh kami diberi relaksasi pembayaran utang. Mungkin banknya menganggap kami pasti kesulitan membayar pinjaman kami akibat pandemi tersebut. Itu lembaga atau perusahaan lho…! Apalagi dalam skala negara. Ada lebih banyak skema yang bisa digunakan untuk memperingan negara kreditur agar tetap bisa mengangsur pinjamannya. Tidak ada yang namanya negara disita atau aset bandaranya disita kalau tidak bisa bayar utang. Hanya orang yang bodoh yang berpikiran demikian. Saat ini ada beberapa negara yang bangkrut karena tidak bisa membayar utangnya. Di antaranya adalah Sri Lanka, Venezuela, Yunani, Ekuador, Argentina, dan Zimbabwe. Bahkan saat ini ada 47 negara yang jadi pasien IMF karena kesulitan membayar utangnya. Indonesia sendiri pernah menjadi pasien IMF pada krisis moneter 1997-1998. Tapi tentu saja tidak ada satu pun negara tersebut yang disita oleh negara yang mengutanginya. Yang terjadi hanyalah restrukturisasi utang dengan berbagai skema.
Di medsos selalu saja ada orang yang mempersoalkan utang pemerintah yang katanya semakin membengkak. Mereka teriak-teriak katanya utang pemerintah sudah terlalu banyak. Padahal kalau menurut saya sih utang pemerintah kurang banyak. 😁 Masih banyak potensi ekonomi yang perlu dikembangkan dengan menggunakan uang dari lembaga dunia atau dari negara lain. Yang penting pinjaman tersebut digunakan untuk sektor bisnis dan produksi yang akan membuat negara memiliki asset yang semakin besar dan perekonomiannya berkembang.
Kita harus mengejar ketertinggalan ekonomi kita dari negara-negara maju. Kita memiliki potensi untuk jadi negara maju dan kaya juga. Tapi kalau kita menunggu punya uang cash sendiri baru mau mengembangkan perekonomian negara maka kita pasti akan kehilangan momentum. Selama ini kita sudah kehilangan banyak momentum untuk menjadi negara berkembang dan maju karena cara berpikir kita yang masih juga tradisional dan takut resiko (disamping korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan). Padahal kita ini sungguh tidak bodoh. Ada banyak orang-orang pintar yang bisa menjadikan negara kita maju pesat dan menyejahterakan rakyatnya. Tapi memang juga masih banyak orang-orang yang berpikiran kolot dan justru memusuhi orang-orang yang pintar dan berpikiran maju. Mereka mungkin ingin mempertahankan kemiskinan. Biar miskin asal tidak punya utang. 😎 Ya kalau itu untuk pribadi mereka ya silakan saja. Tapi jangan bawa pemikiran pribadi yang kolot itu ke ranah lembaga atau pemerintahan. Miskin saja sendiri dan jangan ajak lembaga atau negara menjadi sama miskinnya dengan Anda. 🙏😁
Surabaya, 18 Januari 2023
Satria Dharma