Saudara-saudara saya tiba-tiba punya ide bagus. Bagaimana kalau kami yang sepuluh bersaudara itu (semuanya sebenarnya sebelas tapi salah seorang dari kami, adik saya Alim Akbar Jaya, telah berpulang ke rahmatullah) menerbitkan sebuah buku yang ditulis bersama. Jadi kami diminta untuk menulis kisah dan nantinya dikumpulkan untuk diterbitkan.. Pancen ciamik kok dulur-dulurku iki. 😂 Tentu saja kami juga akan mengajak anak-anak kami yang mau ikut. Buku ini khusus tentang kisah dan kenangan kami bersama ayah kami, Muhammad Hasyim Mahmud, yang saat ini telah berusia 86 tahun. Buku ini akan kami tulis dan cetak dan akan kami berikan sebagai kenang-kenangan dan hadiah ulang tahun bagi beliau pada ultah beliau yang ke 87.
Tentu saja kami semua punya kenangan yang mengesankan dan rasa cinta dan kagum yang kuat pada ayah kami.. Ayah kami punya banyak sifat-sifat baik yang sangat menonjol. Saya akan menceritakan salah satunya, yaitu soal keberanian beliau. 👍😊
Salah satu sifat ayah saya yang sangat menonjol adalah keberaniannya. Beliau bukan hanya sangat berani tapi juga cenderung nekat ngedap-ngedapi. Orang akan salah sangka jika melihat ayah saya. Meski wajah dan postur beliau tampak halus, lembut, ramah, selalu tersenyum, kulitnya putih bersih, dan sangat miayeni (seperti piyayi Jawa), tapi kalau sudah marah maka beliau bisa berubah menjadi monster yang menakutkan dan akan menerjang apa dan siapa saja yang berani menghadapinya. Beliau akan tiwikrama menjadi raksasa yang akan mengobrak-abrik hutan seperti Arjuna Sasrabahu ketika marah pada Bambang Sumantri. Kalau di kantor beliau dulu di Kanwil Depdikbud Propinsi Gentengkali beliau sangat dikenal ākegaranganānya. Beliau juga sangat saklek dan tanpa tedeng aling-aling. Lebih tepatnya adalah beliau memandang sesuatu kalau tidak hitam ya putih. Bugis aslilah pokoknya. 😂
Ada banyak peristiwa di mana ayah saya āmajjallokā atau ngamuk dalam bahasa Bugis. Salah satu peristiwa yang sangat berkesan adalah ketika beliau marah dan mengamuk pada seorang tetangga kami ketika kami masih tinggal di Hotel Carlton, Taman Apsari, Surabaya. Hotel ini sudah tidak ada sekarang entah berubah menjadi apa. Dulunya pernah ada stasiun radio di situ. Dulu hotel ini dikuasai oleh pemerintah dan entah bagaimana ceritanya kamar-kamar hotel tersebut diserahkan pada beberapa keluarga, termasuk keluarga kami, untuk menempatinya. Jadilah hotel tersebut menjadi semacam apartemen untuk ditinggali oleh beberapa keluarga, termasuk keluarga kami. Waktu itu saya masih SD kelas 2 dan baru pindah dari Makassar (sekitar tahun 1965 ā 1966).
Salah satu penghuni hotel prodeo tersebut (kayaknya memang prodeo karena kami tidak menyewa alias gratis) adalah seorang tentara bersama keluarganya. Zaman tersebut tentara sedang galak-galaknya. Jangankan menyenggol bahunya, lha wong menatap mata seorang tentara agak lama sedikit saja bisa dianggap menantang. Bisa babak belur kita kalau kita berurusan dengan mereka. Mereka itu kalah menang nyirik. Saya pernah melihat bagaimana seorang tentara menghajar seorang laki-laki hanya karena dianggap laki-laki tersebut menggoda istrinya. Apakah benar laki-laki tersebut menggoda istri tentara tersebut tidaklah penting. Yang jelas si Tentara menduga dia menggoda istrinya. Dan itu sebuah alasan yang cukup valid bagi si Tentara untuk menghajarnya. Lha wong bagi negara saja saya berani mati, apalagi demi istri tak iye⦠Demikian kira-kira kata Pak Tentara ini. Benar-benar habis laki-laki tersebut dihajarnya. Mukanya sampai tidak berbentuk dan saya yakin bahkan ibunya sendiri tidak akan mengenalinya dalam keadaan demikian. 😞
Nah, tentara yang rumahnya (kamar hotelnya) di depan kami ini setali tiga uang. Galaknya bukan main dan juga suka berlagak. Badannya tegap, kulitnya hitam, suaranya keras, galaknya minta ampun. Dia selalu membawa senjata ke hotel dan dengan demonstratif menunjuk-nunjukkan berbagai macam senjata yang bisa ia bawa ke rumah. Saya menduga dia di bagian perlengkapan senjata dan amunisi karena dia bisa membawa senjata Bren ke rumahnya. Bren ini adalah jenis senjata laras panjang berat yang ada penopangnya dan digunakan sambil tiarap. Pak Tentara ini setiap pagi dengan demonstratif menggosok-gosok membersihkan berbagai jenis pistol dan Bren yang ia bawa pulang dan setelah itu memajang Brennya di depan rumah dan ditinggal begitu saja. Jadi kami semua bisa memegang senjata Bren tersebut sambil tiarap dan berlagak seolah sedang berperang dan membayangkan menghabisi musuh dengan senjata tersebut. Senjata ini pelurunya banyak dan otomatis jadi sekali tembak bisa menghabisi banyak nyawa sekaligus.
Siapa yang tidak takut dengan tentara sangar yang punya Bren tsb? Lha wong dengan tentara yang tidak bawa senjata saja sudah ngeri. Apalagi dengan tentara yang punya senjata Bren yang larasnya diarahkan ke pintu kamar kami. Saya pikir ayah saya yang wajahnya tampan, sejuk, kurus lencir, berstatus mahasiswa tugas belajar, pastilah takut pada Pak Tentara ini. Blas gak imbang atau kagak level kalau kata anak sekarang. 😀
Tapi ternyata tidak. Ayah saya bukan hanya tidak takut pada pak Tentara ini tapi bahkan berani melabrak rumahnya dan menantangnya berkelahi. Edhiaaanā¦! 😳
Saya tidak tahu apa sebabnya dan saya tidak pernah berani bertanya bahkan sampai sekarang apa sebabnya. Yang jelas suatu hari tiba-tiba ayah saya sangat marah dan tiwikrama jadi raksasa. Ayah saya melabrak Pak Tentara, menggedor-gedor pintu rumahnya, menantangnya keluar untuk berkelahi sambil berseru, āKeluar kamuā¦! Ayo berkelahi sama sayaā¦! Bawa semua senjatamu. Tembak saya kalau beraniā¦! Saya tidak takutā¦!ā Ayah saya hanya membawa badik ākeramatā peninggalan leluhur yang bertahun-tahun kemudian dibuang oleh ayah saya setelah beliau ābertobatā. Beliau tidak mau jadi syirik karena badik tersebut, kata beliau menjelaskan. Jadi ini mahasiswa tingkat sarjana melawan tentara, badik pendek lawan beberapa pistol dan Bren. Benar-benar gak level⦠😞
Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah Pak Tentara keluar dari rumahnya yang digedor oleh ayah saya tersebut sambil membawa senjata-senjatanya? Apakah ia kemudian menempelkan pistolnya ke pelipis ayah saya dan memintanya berlutut seperti yang ada di dalam film-film? Tidak, saudara-saudara. Ternyata Pak Tentara jadi ciut nyalinya. Benar sekaliā¦! Pak Tentara yang garang dengan kumisnya yang mbaplang itu gentar melawan seorang mahasiswa UNAIR Fakultas Ekonomi tugas belajar yang bertubuh kecil, berkulit putih bersih, dan berwajah tampan tersebut. Dia tidak berani keluar dari kamarnya meski ayah saya terus menggedor pintunya dan menungguinya beberapa saat.
Sebetulnya bukan hanya Pak Tentara yang takut. Semua tetangga tidak berani keluar. Saya sendiri benar-benar ketakutan saat itu. Yok opo sih bapakku ikiā¦?! Tentara kerenge koyok Rambo (eh, Rambo belum ada ding waktu itu) kok dilawan. 🙄 Paling didorong sekali saja ayah saya sudah terjungkal. Iya kalau cuma didorong atau dipukuli. Lha kalau didor sama pistolnya atau dibrondong peluru dengan Brennya lak dadhi ayakan awake bapakku? Bapakku iki wis gendeng opo yok opo sih? Demikian kata saya dalam hati dengan ketakutan. Saya benar-benar terpaku, terhenyak, bahkan tak mampu menggerakkan tubuh saking ketakutannya melihat situasi yang sangat genting tersebut. 😳
Alhamdulillah Pak Tentara tidak keluar kamar membawa senjata. Saya husnudzon bahwa Pak Tentara ini kasihan sama ayah saya dan tidak mau meladeninya. Mahasiswa gendeng kok diladeni oleh seorang tentara professional. Kan gak level. Kalah menang tetap isin. Njarno ae bengok-bengok. Nanti kan capek sendiri dan balik ke kamarnya. 😎
Betul juga⦠Ayah saya akhirnya capek jadi raksasa dan kembali jadi Arjuna Sasrabahu trus kluntrung-kluntrung balik ke rumah. Bukan main senangnya kami semua melihat ayah kami kembali dalam keadaan selamat seperti itu. God saved him. 🙏😀
Apa yang terjadi kemudianā¦?! Tak lama kemudian Pak Tentara ini pindah dan keluar dari Hotel Carlton. Jadi tidak ada Bentrok Part 2. Saya menduga Tuhan sangat senang atas kesabaran Pak Tentara menghadapi ayah saya yang brangasan itu. Oleh sebab itu Tuhan kemudian memberinya award berupa kenaikan pangkat dan perumahan yang jauh lebih baik ketimbang di Hotel Carlton bertetangga dengan ayah saya yang cilik brangasan itu. Sabar membawa berkah, demikian saya berhusnudzon. 😀
Apakah itu peristiwa terakhir ayah saya bentrok dengan tetangga? Tidak. Bentrok dengan tetangga itu kayak hobi saja bagi ayah saya. Beberapa waktu kemudian ayah saya bentrok lagi dengan tetangga sebelah kamar. Kali ini tetangga saya sok-sokan berani keluar meladeni ayah saya dengan ngomel-ngomel. Dia ini tetangga baru yang belum tahu peristiwa ayah saya melabrak tentara. Mungkin dia pikir halaahā¦! badan lawan saya kurus kecil aja kok! Habislah perabotan rumahnya diangkat dan dilempar-lemparkan oleh ayah saya. Untungnya tetangga saya yang ini begitu tahu betapa sangarnya ayah saya kalau marah langsung sembunyi di kamarnya dan tidak keluar juga. Jadi kalau ada peristiwa kongres di mana pesertanya saling lempar kursi saya langsung teringat ayah saya. Ayah saya dulu juga seorang pelempar kursi. Wakakakā¦! 😂
Alhamdulillah saya tidak pernah bentrok dengan tetangga di mana pun saya tinggal. Never want to. Itās beyond my imagination. Dasarnya saya memang penakut dan tidak berani berkelahi fisik. Saya mah mending ngalah saja daripada berkelahi. Apaā¦? Melawan tentaraā¦?! 😳 Lha wong melawan tetangganya tentara saja saya tidak berani. Nanti dia pasti ngajak tetangganya yang tentara untuk melawan saya. Emohā¦! Saya mengikuti jiwa ibu saya yang sabar, pengalah, egaliter, selalu ramah pada siapa pun. Bukan hanya jiwanya tapi juga fisiknya. Makanya saya tidak tampan, berkulit putih, dan miyayeni seperti ayah saya. Saya berkulit sawo matang, berwajah simpatik, egaliter rodok ngaypang, tongkrongannya keren dan punya banyak uang. Itu saja. 😂
Surabaya, 17 Pebruari 2020