Selain berani berkelahi melawan tentara, ayah saya juga punya keberanian lain. Salah satunya adalah berani punya anak banyak. Eit…! Jangan ketawa. Iki serius rek…!
Berani punya anak banyak itu termasuk keberanian yang sangat langka sekarang ini. Kalau dulu sih banyak orang yang punya anak banyak. Tapi punya anak sebelas zaman dulu pun tetaplah sebuah jenis pencapaian yang spektakuler. Kalau tidak percaya coba cari keluarga teman dan tetanggamu yang punya anak di atas sepuluh. Pasti hanya bisa dihitung dengan jari tangan sebelah. Kami ini sebelas anaknya tak satu pun yang berani punya anak banyak. Paling banter ya cuma punya anak empat. Itu bahkan belum separonya dari anaknya ayah saya. Ini agak aneh soalnya kami itu tahu betul betapa enaknya punya banyak saudara. Punya banyak saudara itu sumprit wuenak pol…! Kami itu selalu bersyukur bahwa kami punya banyak saudara. Kami itu kalau sudah berkumpul, masya Allah ributnya. Kami bisa bergurau berjam-jam lupa waktu sambil menghabiskan hidangan yang ada di atas meja. Kalau sate ayam lima puluh tusuk aja udah kayak sulap David Copperfiled. Tiba-tiba aja menghilang…
Punya anak sebelas itu jelaz (pakai akhiran ‘z’) sebuah prestasi yang tidak main-main. Tapi selain prestasi ini juga sebuah tantangan dan cobaan yang berat yang tidak berani kami tanggungkan. Akhirnya paling tinggi kami hanya berhenti di angka 4 dan yang terbanyak ya 3. Tak ada yang berani lebih. Tidak ada yang berani mewarisi keberanian ayah kami tersebut. Dulu pun kami sering merasa malu karena disindiri tetangga kanan kiri kok orang tua kami anaknya banyak sekali. Iku manak opo mencret…?! Ya terpaksa mereka saya pisuhi dengan cara yang selegan-elegannya. Tentu saja yang tidak punya anak merasa iri karena mereka tidak diberi Tuhan meski satu anak pun. Aduh…! Enak ya bisa punya banyak anak, kata mereka. Saya diam saja tidak berkomentar. Tapi dalam hati saya menjawab, “Iyo, awakmu gak ngrasakno.” 😞
Saya tidak tahu apakah ayah dan ibu saya dulu belum mengenal KB tapi jelas sekali bahwa hubungan mereka berdua SANGAT mesra dan romantis. Anak sewelas gak mesra dan romantis ndasmu kono…! 🙄 Lha wong sekarang ini punya anak lima saja katanya saking cintanya sampai gak sempat rekreasi travelling kek, bungy jumping kek, mountain climbing kek… Punya anak lima sekarang ini sudah dianggap berani. Minimal berani repot dan berani ngopeni.. 😀
Jika punya anak 5 saat ini sudah dianggap berani, punya anak 6 jelas lebih berani, punya anak 7 berarti sangat berani. Lha punya anak 8, 9,10 kalian sebut apa? Amat sangat sangat sangat berani..?! Lha anaknya ayah saya 11, Bro. Anak sebelas itu artinya kalau pas perlombaan 17 Agustusan sudah bisa ikut semua lomba beregu. Dengan anak sebelas main sepakbola sudah satu tim sendiri. Main volley bisa tim sendiri plus 5 cadangan. Main bola basket bisa dua tim plus satu cadangan. Kalau pertandingan kartu Domino ya bisa lima tim dan satu pengawas. Bahkan kalau mau kami bisa bikin turnamen sendiri. Itu sebabnya kalau ada perayaan 17 Agustus di RT maka keluarga kami hampir selalu bisa menyabet Juara Umum. Kecuali kalau kami dicurangi dengan memasukkan pemain asing professional agar kami tidak bisa menang. 😎
Karena saya anak kedua maka berarti saya punya satu kakak dan sembilan adik. Waktu kami genap sepuluh orang dengan lahirnya anak yang ke sepuluh saya berpikir pastilah ibu saya sudah capek tambah anak lagi. Tapi ternyata eh! tambah lagi… OMG…! Waktu ibu saya melahirkan adik saya yang terakhir saya gondok banget. Punya anak sepuluh masih kurang tah…?! demikian kata hati saya dengan jengkel. Saya sudah kelas 3 SMA dan masih punya adik bayi. Just imagine… Saya bertekad mau menunjukkan kedongkolan saya pada ibu saya dan protes atas lahirnya anak yang ke sebelas itu. Berangkat ke RS saya sudah pasang muka masam dan saya tidak akan tunjukkan wajah gembira pada ibu saya. Tidak…! Saya mau protes keras.
Tapi ternyata protes saya tidak berlangsung lama. Begitu melihat wajah mungil sang bayi adik saya yang tanpa dosa itu perasaan marah dan jengkel saya langsung lumer. Saya langsung jatuh cinta padanya dan muka saya langsung berseri-seri. Bahagia rasanya punya adik bayi lagi. Gak apa-apa deh. Kalau ibu saya mau punya adik lagi setelah ini biar saja. Toh yang mengandung beliau sendiri dan bukan saya. Kok rewel amat sih…! Mungkin itu sebabnya banyak yang bilang kalau adik saya terakhir itu wajahnya mirip saya. Bedanya cuma saya Honda dan dia Jialing. Wakakak…! 😂
Mungkin kalian tidak bisa membayangkan bagaimana repotnya punya anak sebelas yang rata-rata selalu kelaparan dan butuh perbaikan gizi. Kalau kalian bisa matematika sedikit saja tentu akan tahu bahwa kalau punya anak sebelas berarti harus menyediakan 33 (tiga puluh tiga) porsi makan setiap hari. Tiga puluh tiga porsi sehari berarti seminggu ada 231 porsi. Sebulan berarti 6.930 porsi. Bayangkan, Bro…! Kalau sebulan sekian ribu porsi lalu berapa karung beras, gula, mie, telor, teh, minyak goreng, tahu, tempe, ikan asin, pete (eh, pete nggak ding) yang harus disediakan oleh orang tua kami agar kami bisa tidur nyenyak dengan perut terisi? Saya tidak berani menghitung sampai setahun karena angka-angka ini terlalu mengerikan jika diuraikan. Itu kalau makan tiga kali sehari lho. Tapi kami kan tidak bisa menyediakan frekuensi makan yang standar macam itu. Kami ini makan kalau di meja makan sedang ada makanan. Kalau tidak ada ya ngalas, Bro. Goleko dewe panguripan embuh piye caramu… 😂
Kapan hari anak saya Yubi dan Tara besama sepupunya ngajak makan di mall. Okelah… Kan jarang-jarang juga kami bisa makan bareng mereka. Sesampainya di Galaxy Mall mereka mengajak makan ke Resto ‘Iwak lan Sohibe’ (Fish & Co) dan diberi buku menu. Begitu lihat harga-harganya saya langsung kliyengan. Lha wong satu porsi saja semuanya di atas 100 ribu plus tax and servicenya. Minumnya juga begitu. Akhirnya saya putuskan gak ikut makan. Aku makan penyetan aja nanti di dekat rumah, kata saya dalam hati. Begitu selesai makan, seperti yang kuduga, tagihan untuk tiga porsi saja hampir setengah juta. Kirik tenan…! Itu baru tiga anak dan sekali makan lho ya… Jadi bayangkan betapa jungkir baliknya ayah dan ibu saya harus berakrobat menyediakan makan bagi sebelas anaknya yang rata-rata rodok nggragas itu. Dan itu harus dilakukan setiap hari selama bertahun-tahun sampai kami bisa cari makan sendiri. Karena saya tahu betapa sulitnya kehidupan dulu itu maka saya bisa hidup prihatin (ya bisalah, Bro, lha wong setiap hari dilakoni). Tapi tidak demikian dengan anak-anak kami. Mereka lahir dengan piring sudah berisi makanan, meski bukan piring emas. Tentu saja kami sekarang tidak berniat hidup prihatin lagi. Wis cukup, rek! Kami ya hidup dengan agak mewah sekarang ini. Kami sepuluh bersaudara ini kalau ketemuan selalu cari makan di resto-resto yang favorit dan tidak gentar lagi menghadapi Mr. Bill. Kan kami bisa lempar-lemparan siapa yang mesti membayarnya. Wakakak…! 😂
Tentu saja kalau kita punya anak banyak maka kita juga harus ekstra keras bekerja untuk menghidupi mereka. Begitu juga ayah saya. Lintang pukang dan pontang panting beliau mencari nafkah utuk menghidupi sebelas anaknya, ya memberi makan ya menyekolahkan. Istilahnya : Endas digawe sikil, sikil digawe endas. Akrobat tah…?! 😀 Di situlah saya benar-benar kagum pada ayah saya. Ayah saya ini benar-benar orang yang bertanggung jawab pada keluarga. Beliau benar-benar bepergian kesana kemari tanpa kenal lelah demi nguripi sebelas anaknya. Kecintaan dan tanggung jawab beliau pada keluarga itu benar-benar menginspirasi kami semua anaknya yang sebelas. Sementara itu kami yang bersebelas itu kok ya suka sekali bergurau dan guyon-guyon seolah tidak merasakan susahnya orang tua kami nguripi dan ngopeni anak sebelas. Kami kadang guyon dan berolok-olok bahwa kami ini Keluarga Bobo yang madongok-dongok. Tidak usah tanya apa artinya. Biarlah itu menjadi guyonan kami saja. 😎
Surabaya, 18 Februari 2020