Masih ada juga guru yang tidak memahami bahwa jawaban mereka pada pertanyaan berikut ini adalah salah.
“Seandainya siswa diminta untuk membaca buku, kira-kira mereka akan memilih buku yang tipis atau yang tebal?” Ketika mereka menjawab, “Yang tipis…” tentu saja ini jawaban yang salah. Jawaban yang benar adalah ‘Yang menarik…’
Ada beberapa orang yang protes dan bilang bahwa pertanyaannya menjebak karena pilihannya adalah antara ‘tipis’atau ‘tebal’ tapi ternyata jawabannya adalah ‘yang menarik’ yang bukan merupakan opsi jawaban. Mereka menyalahkan saya karena telah menjebak mereka. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya mereka sudah terjebak dalam jawaban tersebut sejak lama, dan bahkan seumur hidup mereka. 😞
Hal ini menunjukkan bahwa para guru kita ini memang sudah terjebak dalam pola pembelajaran yang dikotomis ‘benar dan salah’, ‘jika tidak a maka b’, ‘jika tidak putih maka itu hitam’, ‘hanya ada satu jawaban yang benar’, ‘pilihlah jawaban yang sudah tersedia’, dst.
Coba pikir…
Mengapa mereka menjawab bahwa siswa akan memilih buku yang tipis jika diminta untuk membaca buku? Hampir semua kelompok guru dan kepala sekolah yang saya tanyai selalu menjawab dengan serentak dan spontan ‘yang tipis’ tanpa mau memikirkan sejenak pertanyaannya. Mereka begitu yaqueen seyaqueen-yaqueennya bahwa siswa PASTI akan memilih buku yang tipis.
Itu hanya berarti satu bahwa para guru sudah mengasumsikan, menilai, menghakimi, bahkan meyakini bahwa siswa mereka TIDAK SUKA MEMBACA. Mereka meyakini bahwa membaca adalah sebuah tugas atau pekerjaan yang tidak menyenangkan dan membebani mereka sehingga mereka yakin bahwa para siswa mereka pasti akan berusaha menghindari pekerjaan membaca dengan memilih buku yang tipis agar mereka segera selesai dengan tugas atau beban tersebut. Moco iku mbencekno… 🙄
Hal ini berarti bahwa para guru memang menganggap bahwa membaca adalah tugas, membaca adalah beban, membaca adalah pekerjaan yang membosankan, membaca bukanlah sesuatu yang bisa menyenangkan, menghibur, dan membuat ketagihan. Itu adalah persepsi yang tertanam dalam pikiran mereka karena begitulah pengalaman hidup mereka sendiri. Jadi kalau mereka diminta untuk membaca buku maka mereka akan memilih buku yang paling tipis agar tugas membaca yang membebani dan tidak menyenangkan itu segera berlalu.
Persepsi itu tentu tidak datang begitu saja. Penilaian tersebut tertanam sudah cukup lama dan dalam di benak mereka sehingga mereka bisa begitu kompak dan spontan untuk memilih ‘yang tipis’. Kemungkinan sangat besar adalah bahwa mereka sendiri TIDAK PERNAH mengalami masa-masa yang menyenangkan dan menghibur dengan kegiatan membaca selama mereka bersekolah dulu. 😞
Mengapa mereka tidak pernah mengalami masa-masa indah bergumul dengan buku-buku yang menarik, menyenangkan, menghibur, dan mencerdaskan ketika mereka bersekolah dulu? Ya karena mereka memang tidak pernah diperkenalkan dengan nikmat dan nyamannya membaca oleh guru-guru mereka. Besar kemungkinan bahwa di sekolah mereka dulu tidak pernah ada buku-buku yang bisa membuat mereka merasakan ekstasi ketika membacanya. Selama mereka bersekolah mereka tidak pernah diajak untuk berkenalan dan menikmati buku-buku bacaan yang bisa membuat mereka mabuk kepayang dan tidak mau melepaskannya. Mereka selama hidup dan bersekolah hanya berkenalan dengan buku-buku teks yang tentu saja membebani, membosankan, membuat kepala pening dan stress. Actually it’s not their fault if they never enjoy reading any books. Jadi ini kesalahan yang sudah turun temurun.
Lalu salah siapa dong kalau situasinya menjadi begini suram?
Kalau ada yang perlu disalahkan maka saya mengusulkan agar kita menyalahkan pemerintah. (That’s what government is for. To be blamed for any mistakes or failures). 😎 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah gagal membuat para guru kita untuk memiliki minat dan kebiasaan membaca. Kemendikbudlah yang telah membuat para guru kita justru ‘memusuhi’ kegiatan membaca. Kemendikbudlah yang memasukkan ide ke dalam benak para guru bahwa jika siswa diminta untuk memilih membaca buku maka siswa tersebut akan memilih yang tipis, sebagaimana mereka juga akan memilih yang tipis. Itu karena Kemendikbud TIDAK PERNAH memasukkan kurikulum membaca yang akan mengenalkan mereka pada buku-buku bacaan yang menarik, bermutu, dan bergizi. Pemerintah TIDAK PERNAH memasukkan buku-buku bacaan yang menarik dan membangkitkan minat baca siswa di sekolah. Pemerintah hanya mencekoki mereka dengan buku-buku berjudul “Beternak Lele”, “Menanam Jagung di Lahan Sempit”, “Tugas dan Peran Lurah dan Camat”, “Daftar Nama Tarian dan Lagu dari berbagai Propinsi”, dlsb.
Got it now…?! 😎
Surabaya, 9 Januari 2020