(Bagian 2)
Siswa-siswa Rusia mengenal karya-karya luhur sastrawan negeri mereka sejak SMA (Leo Tolstoy, Pastovsky and Simonov) dan mereka sangat menikmati pencerahan dan kecendekiaan sebagai generasi muda sebuah bangsa besar. HAL INI TIDAK TERJADI DI INDONESIA. Kurikulum Bahasa Indonesia telah memblokir karya-karya Hamzah Fansuri hingga Rendra dan Wisran Hadi. Kurikulum kita tidak PRO MEMBACA DAN MENULIS apalagi PRO SASTRA! Demikian gugat Taufik Ismail. 😯
MENGAPA PERLU BACA KARYA SASTRA?
Mengapa yang dipermasalahkan kewajiban membaca buku sastra? Mengapa bukan buku teks? Apa sih urgensi membaca karya sastra bagi dunia pendidikan kita, apalagi di zaman millenial ini? 🤔
Sastra itu berkaitan dengan semua segi tentang manusia dan dunia di dalam keseluruhannya. Setiap karya sastra berbicara tentang sebuah topik khusus, dan bahkan sering mengenai banyak hal dengan sangat intens. Buku sastra adalah karya sastrawan dengan keseluruhan totalitasnya. Sastrawan melakukan riset, merenungkan, menghayati, dan menuliskan buku sastranya sebagai sebuah karya seni. Bagai masakan, buku sastra adalah masakan yang dimasak secara cermat dan dengan citarasa yang tinggi.
Semakin banyak orang membaca karya sastra, maka semakin baiklah isi pengetahuan dan moral orang yang bersangkutan. Tidak mungkin rasanya orang yang berkecimpung dan menikmati sastra lalu menjadi orang yang suka melanggar aturan dan bejat moralnya. Sastra justru mengarahkan kita semua untuk menjadi semakin tertib dalam hidup, cerdas, lembut hati, dan penuh empati. Pembaca karya sastra akan mampu melihat kompleksitas hidup dengan pengertian yang lebih besar, wawasan yang lebih luas, dan bertoleransi dan empati yang lebih besar.
Sastra yang pada hakikatnya bersifat beragam akan memberi pengalaman moral bagi siswa pada berbagai kesempatan yang berkaitan dengan arus pengalamanyang hidupnya di masa depan. Ini akan memberi pemahaman siswa untuk siap mengambil peran, mengevaluasi dan membuat keputusan-keputusan mengenai rentangan permasalahan yang amat luas lingkupnya dalam hidupnya nanti. Semakin sedikit bacaan seseorang, semakin sempit wawasannya, dan juga akan semakin dangkal pengambilan keputusannya.
Satu hal lagi, sastra menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi dewasa. Siswa akan mampu menjadi pembelajar seumur hidupnya. Bukankah itu yang ingin kita tuju?
APA HAMBATAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH KITA?
Tiga faktor sebagai biang penyebabnya, yakni faktor guru, faktor siswa dan faktor sarana. Khusus mengenai faktor guru ada empat hal yang mungkin menjadi penyebabnya, yakni rendahnya minat baca guru terhadap karya sastra, kurangnya pengalaman guru belajar teori sastra, kurangnya pengalaman para guru mengapresiasi karya sastra, serta luasnya cakupan materi kurikulum yang harus disampaikan. Padahal porsi waktu yang tersedia untuk bahasan sastra sangat terbatas. Itu yang saya dengar dari para guru.
Selain itu ada keluhan soal faktor kurikulum. Pembelajaran sastra belum otonom atau berdiri sendiri karena hanya sekedar bagian dalam pengajaran bahasa dan masih diorientasikan bagi kepentingan pengajaran bahasa. Padahal otonomi pengajaran sastra tersebut merupakan salah satu rekomendasi keputusan Kongres Bahasa Indonesia VII pada tahun 1998 (dan tidak dilaksanakan karena tidak mungkin menyediakan guru sastranya). Bagaimana mungkin guru akan dapat memberikan pengjaran sastra yang sempuna kalau waktunya sangat sedikit dan sempit. Ada usulan agar pengajaran bahasa hanya diberikan 60% sedangkan pengajaran sastra diberikan waktu sebanyak 40% dari jumlah alokasi yang tersedia. Tapi itu kan hanya usulan…
Apakah ada hambatan lain? Oh ya, katanya sastra menjadi sangat tidak populer karena pendidikan kita memang lebih lebih ‘IPA-like’ alias hidup suburnya paradigma pengunggulan berlebih kepada jurusan eksakta. Akibat adanya pandangan semacam itu maka tidak heran jika sastra pada akhirnya hanya dipandang sebelah mata saja dalam konteks dunia pendidikan di negeri ini. Padahal jurusan IPA sebenarnya juga butuh menikmati dan mendapatkan manfaat dari karya sastra. 😊
FASILITAS
Buku-buku karya sastra yang disarankan untuk dibaca oleh para siswa yang dimiliki oleh perpustakaan sekolah jumlahnya masih sangat sedikit serta sangat tidak sebanding dengan jumlah siswa. Bahkan buku-buku karya sastra mutakhir, termasuk majalah sastra masa kini jelas merupakan barang langka. Sekolah pada umumnya belum memiliki fasilitas penunjang yang dapat dimanfaatkan oleh guru untuk melakukan pengajaran sastra secara lebih baik, misalnya kaset atau video yang berisi contoh pembacaan puisi atau cerpen dari para sastrawan serta pagelaran drama.
SISWA
Minat siswa terhadap sastra umumnya kurang begitu menggembirakan karena siswa menganggap pelajaran Bahasa Indonesia, termasuk sastranya merupakan pelajaran yang kurang begitu penting.
KEMAMPUAN GURU
Guru BI banyak yang kurang memiliki minat dan perhatian yang baik terhadap sastra, tidak memiliki pengetahuan dan juga tidak banyak membaca karya sastra.. Akibatnya, baik wawasan, pengetahuan maupun pengalaman apresiasi sastra serta keterampilan mereka dalam mengajarkan sastra kepada para siswa menjadi kurang begitu baik. Sangat sedikit guru yang berlatarbelakang disiplin ilmu bahasa dan sekaligus sastra Indonesia yang mumpuni
APA YANG BISA KITA LAKUKAN?
MELENGKAPI SARANA.
Lengkapi perpustakaan sekolah dengan buku-buku sastra, baik dalam hal jumlah maupun jenisnya serta hasil-hasil rekaman (kaset maupun video) pementasan sastra seperti pembacaan puisi, cerpen, drama, diskusi buku, dll. Koleksi buku-buku karya sastra yang dimiliki oleh perpustakaan-perpustakaan sekolah kita, baik dari segi jenis maupun jumlahnya pada umumnya masih sangat memprihatinkan. Pada umumnya koleksi buku sastra yang ada untuk masing-masing genre hanya berkisar 10-20 judul saja dengan rata-rata jumlah eksemplar merentang antara 10 hingga 50 eksempklar. Ini hasil penelitian di Jabar dan DKI yang pernah saya baca. Jumlah ini sangat kurang dan harus terus ditingkatkan dengan dana BOS yang dimiliki oleh sekolah. Buku itu jauh lebih penting daripada seragam. Lebih baik anak tidak bersepatu ke sekolah tapi membaca buku ketimbang bersepatu dan berkaos kaki rapi tapi tidak membaca buku.
Darimana buku bisa diperoleh? Selama ini penyediaan buku-buku karya tersebut sebagian besar hanya mengandalkan sumbangan dari siswa. Sedangkan buku-buku karya sastra yang berasal dari sumbangan pemerintah jumlahnya masih sangat sedikit. Dan lebih sedikit lagi buku-buku karya sastra yang pengupayaannya dilakukan lewat pembelian yang dilakukan oleh pihak sekolah melalui dana BOS yang ada. Sudah saatnya kepala sekolah menganggarkan dana lebih besar untuk pembelian buku-buku bacaan, termasuk karya sastra bermutu dalam dan luar negeri.
WAJIB BACA KARYA SASTRA
Cantumkan secara tegas buku-buku sastra yang seharusnya dibaca oleh para siswa, baik berdasarkan jenjang sekolah (SD, SLTP dan SLTA) maupun jenjang kelas masing-masing.
Tegaskan kapan mereka harus membacanya dan tugas apa yang harus mereka lakukan setelah menyelesaikan membaca karya sastra tersebut. Ini adalah pekerjaan guru bahasa Indonesia dan sastra dalam menyeleksi, menetapkan, dan menyediakan bukunya diperpustakaan.
TINGKATKAN MUTU GURU
Adakan diklat sastra secara terencana untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan serta keterampilan guru-guru pengajar sastra. Lakukan kerjasama dengan perti yang memiliki jurusan sastra agar dapat memberikan pelatihan khusus bagi guru sastra sekolah. Wajibkan para guru bahasa Indonesia untuk membaca sejumlah karya sastra dalam setahun. Jadikan mereka sebagai model membaca bagi siswa mereka.
HIDUPKAN SUASANA
Datangkan sastrawan ke sekolah-sekolah. Adakan kegiatan pembacaan puisi dan cerpen dengan mengundang sastrawan. Adakan lomba atau Pekan Baca Puisi dan Apresiasi Sastra di sekolah. Berikan hadiah kepada para siswa yang banyak membaca karya sastra dan nilai sastranya bagus. Intinya, galakkan kegiatan sastra, baik dalam kegiatan ekstrakurikuler maupun di masyarakat.
Sekian dulu usulan dari saya. Akan sangat indah jika Anda juga menyumbangkan pemikiran Anda. 🙏😊
Surabaya, 26 Juli 2019
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com