Saya baru menyelesaikan membaca buku “Jurnal PhD Mama” pagi ini dan kembali merasa kagum pada para penulisnya. Alangkah berat perjuangan mereka untuk bisa bersekolah di luar negeri dengan tetap melaksanakan perannya sebagai seorang ibu. Saya sampai harus menahan napas berkali-kali membaca betapa sulitnya situasi yang mereka hadapi. Tapi itu tidak membuat mereka menyerah. Bayangkan jika Anda harus berkorban berangkat ke luar negeri dalam keadaan hamil tujuh bulan dengan berbagai resikonya demi untuk menuntut ilmu dan meraih gelar PhD. Karena keterbatasan finansial maka Anda harus melahirkan homebirth di rumah karena biaya rumah sakit tak terjangkau tanpa ditemani oleh keluarga. Jadi sambil membaca beberapa buku kuliah sekaligus Anda juga harus menyusui bayi Anda dan mengurusi dapur. Multitasking adalah keharusan bagi para ibu yang berani ambil resiko untuk melakukan studi ke luar negeri. Tak perlu nonton sirkus untuk mengagumi juggling apa yang bisa dilakukan oleh seorang ibu yang sedang mengambil PhD-nya di luar negeri. Cukup baca buku ini. Jelas saya tidak mungkin bisa melakukan apa yang mereka lakukan. Membayangkannya saja saya sudah merinding dan ndlahom. Lha wong menyelesaikan kuliah S-2 di dua tempat yang nyaman dan tentram tanpa diganggu oleh urusan domestik saja saya malas kok. Pantes saja kalau dua anak lanang saya lantas nurun kelakuan bapaknya. Tak satu pun di antara mereka yang menyelesaikan perkuliahan S1-nya. Mrotholi kabeh dan lebih memilih dodolan sego kuning ngemper ketimbang disuruh kuliah. Yungalah…! Karma kok ya cepat sekali turunnya pada saya.
Sebetulnya sudah lama saya menyadari bahwa para wanita itu sesungguhnya menyimpan banyak potensi yang luar biasa. Kalau cuma menyelesaikan PhD sambil nyambi ngurusi catering di dapur seadanya mah kecil. Kuliah S3 sambil ngopeni anak tiga di mana yang dua adalah bayi kembar…?! Halah…! Sini tak lakonane. Kuliah di negara yang bahasanya asing tur uangel tapi harus disambi kerja dan bonus ngopeni anak dan bojo…?! Rene tak untale…! Pokoknya tidak ada kesulitan hidup yang tidak bisa dilewati oleh para wanita. Dan sumprit saya tidak abang-abang lambe mau cari muka sama istri saya. Tidak…! Saya sering menemukan ibu-ibu yang langsung dapat gelar PhD (Pisah habis Dicerai) oleh suaminya dan terpaksa menggelandang keluar rumah dengan membawa dua atau tiga anaknya yang masih balita menyusuri jalan-jalan kehidupan. Sampai setua ini saya BELUM PERNAH bertemu dengan laki-laki atau suami yang terpaksa menggelandang keluar rumah sambil membawa dua atau tiga anak balitanyakarena diusir istrinya. Selalu para ibu yang harus menerima resiko akibat perceraian dengan meneruskan kisah perjuangannya membesarkan anak-anaknya dengan segala duka dan derita. Para bapak yang bercerai kebanyakan melepaskan bebannya dan melenggang begitu saja. Tidak lama kemudian hati dan tubuhnya sudah berlabuh ke wanita lain. Kelakuan…! Itu sebabnya para ibu melangkah ke mana-mana dengan sorga di bawah telapak kakinya. Lha wong hidupnya selalu dikorbankan untuk keluarga dan anak-anaknya. Makanya saya selalu hormat pada para ibu. Sungguh ndak brani saya macam-macam sama istri saya. Kalau pun saya harus nglirik wanita lain yang cantik dan semlohai selalu saya usahakan agar tidak didekat istri saya. Ini selalu saya tekankan pada Sute saya Cak Nanang, Ahmad Rizali. Make it as cool as possible. Jales Veva Jaya Mahe. Di laut Kita Jaya. Di darat cobalah agar tidak jadi buaya (kecuali terpaksa). Lak ngono toh Cak Nanang?
Sik talah…! Sakjane aku ini mau cerita apa sih tadi…
Begini…
Saya tertarik dengan apa yang ditulis oleh Mbak Novi Candra. Kalau mau meneliti sesuatu sebagai topik baik studi S2 atau S3 maka usahakan agar tema penelitian harus berangkat dari permasalahan lingkungan sekitar yang kita rasakan, cemaskan, prihatinkan, dan membutuhkan solusi secara intelektual dan akademis. Jangan sekedar mencari topic penelitian sekedar berdasarkan apa yang belum diteliti atau bahkan sekedar meneliti sesuatu yang sudah diteliti tapi kemudian sekedar dimodifikasi. Akhirnya disertasi dan penelitian yang dilakukan dengan susah payah selama bertahun-tahun begitu selesai langsung masuk rak buku dan tidak pernah menjadi bahan untuk memecahkan masalah lingkungan. Sudah cukup banyak orang bergelar Doktor dan PhD tapi tidak memberikan sumbangsih yang nyata dalam memecahkan masalah bangsa dan sekedar menggunakan gelarnya untuk mendapatkan tunjangan jabatan. Ojok ngonolah…!
Saya salut dengan Mbak Novi Candra bersama suaminya, Mas Muhammad Nur Rizal, yang tidak berhenti dengan sekedar mendapatkan gelar PhD-nya dan pulang berbangga diri dengan gelarnya. Mereka berdua meneruskan apa yang mereka teliti ketika kuliah dan begitu kembali ke tanah air lalu membangun sebuah gerakan membangun pendidikan yang lebih baik yang mereka beri nama Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Saat ini gerakan mereka terus bergerak dan mendapat sambutan yang luar biasa dari para kepala dinas dan kepala sekolah yang ingin membangun sekolah mereka menjadi lebih bermutu dan sekaligus menyenangkan. Pesan Mbak Novi di buku ini adalah (sebetulnya kata-kata Mas Nur Rizal), “Kita jangan hanya pulang membawa gelar, tapi kita harus pulang membawa cara pikir baru dan jejaring nasional dan internasional yang luas.” Hibahkan diri Anda bagi kemajuan bangsa dan negara. Setuju, Mbak Novi.
Membaca apa yang ditulis oleh Mbak Novi Candra memberi saya satu inspirasi kecil yang ingin saya lakukan entah pada satu atau dua sekolah, yaitu membuat kamar kecil sekolah menjadi bersih dan nyaman. Saya akan bantu satu atau dua sekolah untuk membuatkan kamar kecil sekolahnya menjadi jauh lebih baik. Bojoku pinter nek soal home and interior decorating. Katanya kamar kecil yang bersih, nyaman, dan harum akan membuat anak-anak lebih nyaman berada di sekolah. Saya mah percaya karena memang suka pada kamar kecil yang indah dan nyaman.
Apa hal yang kira-kira ingin Anda lakukan pada sekolah-sekolah di sekitar Anda (yang selama ini sekedar kita keluhkan)?
Oh, ya. Ada sedikit typo pada buku itu. Keterangan tentang penulis bagi Mbak Novi Candra keliru dan terisi oleh Lia (Septaliana Dewi Pranangtyas). Jadi profil Lia muncul dua kali dan Novi malah tidak ada. Mungkin kalau mau cetak ulang bisa diperbaiki.
Surabaya, 4 Mei 2019
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com