
Pagi ini saya terbenam dalam bacaan saya berjudul “Burung-burung Cakrawala”. Buku ini adalah kisah pengalaman hidup seorang iintelektual terkenal Indonesia yg ditulis begitu indah sehingga sulit rasanya utk melepaskannya dari tangan. Nama penulisnya adalah Mochtar Pabottingi. Saya sering membaca tulisan-tulisannya yg berbobot akademik. Tapi saya tidak tahu bahwa beliau juga bisa menulis kisah ala novel dengan begitu dahsyat. Saya membeli buku ini karena memang terkesan dengan integritas penulisnya. Saya pikir saya akan membaca tulisan serius dan berat dari seorang intelektual terkemuka kesukaan saya. Ternyata buku ini lebih daripada itu.
Saya lantas ingat Mas Nanang. Saya yakin ia akan menikmati juga buku autobiografi ini. Sebuah buku yg bisa membuat seorang Karlina Supelli tergelak, menangis, berpikir, dan berkontemplasi.
Bahkan seorang Seno Gumira Ajidarma menulis bahwa sudah lama ia tidak membaca dalam pengertian yg sebenarnya, yakni tenggelam dalam bacaan seperti yg saya alami ketika membaca kisah ini.
Kisah yg ditulis adalah kisah tentang Indonesia dan keindonesiaan yg ditulis dengan penuh cinta dan kerinduan. Sesuatu yg sudah lama tidak kita rasakan. Sesuatu yg selalu ingin kita ciptakan dalam angan-angan kita. Sesuatu yg selalu ingin kita perjuangkan dengan segala pengorbanan kita.
Ini adalah jenis buku yg ingin saya hadiahkan pada orang-orang yg memiliki kecintaan dan gairah pada tanah air kita, Indonesia.
Salam hormat saya utk Mochtar Pabottingi, seorang intelektual yg saya kagumi walau tak pernah saya jumpai.
Surabaya, 19 Januari 2013
Saya menyelesaikan membaca “Burung-burung Cakrawala”nya Mochtar Pabottingi pagi ini. Luar biasa memukaunya….! Sama memukaunya dengan “Antara Tawa dan Bahaya”nya Seno Gumira Ajidarma yg juga sudah saya selesaikan kemarin. Tapi “Burung-burung Cakrawala” ini ditulis dengan benar-benar memikat dan tidak membuat lelah benak saya dalam membacanya. Can’t stop reading it. Dengan halus saya tolak keinginan istri saya bermalming (keluar untuk malam mingguan) karena sudah lelah seharian mengantarnya mengurus ini dan itu dan berbelanja ini dan itu. Saya ingin menikmati buku
“Burung-burung Cakrawala”nya Mochtar Pabottingi di kamarku yg nyaman ini.
“Antara Tawa dan Bahaya” dengan tebal 400 halaman lebih ditulis dengan sangat menarik karena bicara ttg kartun dalam politik humor. Kartun-kartun yg dibahas sendiri saja sudah menarik. Saya menikmati kartun-kartun dan pesan yg dibawakannya dari sejak jaman kemerdekaan. Pandangan Seno GA sungguh mencerahkan meski pada beberapa paparannya sulit utk saya cerna (who do you think you are to easily understand what scholars learn so many years?).
Paparan Mochtar Pabottingi pada beberapa topik juga rumit dan menunjukkan betapa tinggi tingkat intelektual penulisnya. Tapi ia mampu menuliskannya dengan begitu indah bak puisi yg seringkali sulit utk kita pahami maknanya tapi meninggalkan kesan yg mendalam di hati kita.
Jika dalam membaca buku “Antara Tawa dan Bahaya”nya Seno Gumira Ajidarma saya mesti sering-sering berhenti membaca sejenak utk mengistirahatkan benak saya yg lelah berupaya memahaminya, “Burung-burung Cakrawala” Mochtar Pabottingi ini membetot saya utk terus membacanya sampai habis. Saya bahkan tidak percaya bahwa buku setebal kurang dari 400 halaman ini sudah benar-benar habis….! Saya masih berusaha utk mencari halaman-halaman tersisa yg mungkin terlewatkan. Saya merasa masih ingin mereguk kenikmatan dan kepuasan jiwa dan intelektual dalam membacanya.
Pengalaman hidup dan studinya di Indonesia dan Amerika membuat cakrawala pemikiran Mochtar Pabottingi membubung tinggi melintasi samudra sehingga mampu membuatnya dengan mudah menganalisis pemikiran-pemikiran para intelektual dan pemikir kelas dunia. Lebih daripada itu Mochtar Pabottingi bahkan mampu mensintesakan dan mengevaluasi pemikiran para raksasa intelektual dunia dengan wawasan sastranya. Ia mampu membuat teori yg merupakan perpaduan dr tesis klasik Karl Marx dan Max Weber plus Clifford Geertz. Kemudian pemikiran klasik ini dipertandingkannya dengan posisi-posisi Edward Said, Michael Foucault, dan Thomas Kuhn (h.303).
Tapi yg menarik adalah penjelasannya atas sikapnya yg memilih utk kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi (meski dengan mudah sebenarnya ia bisa menetap di AS jika mau). Ada kerinduan pada kampung Indonesia yg selalu menarik-nariknya utk pulang. Meski ada ‘celoteh Gollum’ seperti dalam Lord of the Ring yg berupaya membuatnya ragu utk kembali ke tanah air tapi tanpa ragu ia memutuskan utk kembali. Karena ‘Hidup pada akhirnya adalah panggilan cinta dan perjuangan. Dan, jika kita percaya, di mana-mana rahmat Allah senantiasa melimpah!’ demikian katanya. (h.361).
I never knew you could write so clever yet beautiful, Pak Mochtar Pabottingi…! Thanks for writing this.
Saya berharap bisa memberikan buku ini sebagai hadiah utk dibaca bagi teman-teman yg berprofesi sebagai akademisi yang suka membaca dan menikmati karya sastra. Lebih-lebih kepada teman yg pernah menikmati hidup dan studi di mancanegara. Buku ini bisa membukakan cakrawala pemikirannya.
Tiba-tiba saya ingat Tiwik yg sedang menempun program PhD di Australia. Tiwik adalah seorang akademisi yg sangat cerdas dan mampu menulis dengan sangat memikat juga.
Saya berharap ia juga bisa membuat sebuah buku memoar yg tak kalah indahnya kelak. Semoga…!
Surabaya, 20 Januari 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Wahhh kayaknya perlu dibaca nih .. mohtar pabottingi seorang cendikia yg perlu dikenali melalui karyanya 😉
Mohtar Pabottingi.. saya malah baru tahu namanya dari blog bpk.
Salam kenal pak..
Saya pernah mendengar nama Mohtar Pabotinggi dari senior2 teater saya dulu sewaktu masih kuliah di UGM. Menurut cerita di thn 70an, sewaktu msh kuliah, Mohtar Pabotinggi termasuk anggota teater Gadjah Mada, UGM, yg cukup aktif dan berkualitas. Dengan bukunya “Burung-Burung Cakrawala” ini saya yakin bahwa dunia teaternya sewaktu masih kuliah mempunyai peranan yang kuat dalam menempa kepekaan hidupnya kemudian mampu melahirkannya dalam bahasa yang indah dan syarat dengan makna.