Pesawat AirAsia yang kami tumpangi mengudara tepat pada pukul 12:00. Jika menurut jadwal kami akan berada di udara melintas dari Jakarta membelah udara di atas Kalimantan Barat dan Brunei selama 3 jam 45 menit. Tapi rupanya pesawat kami ngebut dan kami mendarat 15 menit lebih awal. Alhamdulillah…!
Apa yang saya lakukan selama 3,5 jam di udara tanpa membawa buku bacaan? Pertama, pesan makanan untuk lunch on the sky alias makan di pesawat. Saya pesan lasagna, air mineral, dan kopi. Ketika menyebutkan harga yang harus dibayar saya jadi kaget. Haah…! 270 ribu untuk seporsi Lasagna, kopi, dan air putih? Tapi saya langsung sadar bahwa pramugarinya memakai kurs Peso, mata uang Filipina. Ketika saya bilang mau bayar dalam rupiah ia dengan cekatan memencet-mencet kalkulator dan ternyata hanya 92 ribu rupiah. Satu Peso Filipina nilainya sekitar 260 rupiah. Untunglah…! 😄
Selesai makan kami mendengarkan musik via headset. Satu di telinga saya dan satunya di telinga istri saya sambil berdendang mengikuti lagu-lagu Deep Purple ‘Soldier of Fortune’ dan ‘Smoke on the Water’. Lagu ini selalu asyik didengarkan. 😊 Setelah capek dengar lagu kami salat sambil duduk. Kami tidak yakin punya waktu salat setibanya nanti. Belum tentu ada mushalla di bandara nanti. Setelah itu saya tidur di atas pangkuan seorang wanita cantik.😄 Kebetulan pesawat tidak penuh dan kami pindah ke belakang agar bisa memanfaatkan kursi kosong untuk tidur. Saya memang perlu tidur karena kena flu dan perlu banyak istirahat (di pangkuan wanita cantik). 😎
Jam 16:45 waktu Filipina pesawat mendarat di bandara Nino Aquino International Airport (NAIA)…
Filipina merupakan sebuah negara kepulauan yang terletak di Lingkar Pasifik Barat. Negara kepulauan ini terdiri dari 7.641 pulau besar dan kecil (Indonesia punya lebih dari 13 ribu pulau). Bahasa lokalnya cukup banyak tapi yang paling umum adalah bahasa Tagalog. Kamusta ka artinya Apa Kabar. Kalau mau bilang ‘Terima kasih’ ucapkan ‘Salamat’. Ada banyak bahasa Tagalog yang mirip dengan bahasa Jawa.
Penduduk Filipina cukup banyak, yaitu 106 juta lebih dan termasuk peringkat 12 negara terpadat di dunia dan kedua di ASEAN.
Agama mayoritas penduduk adalah 80% Katholik, 12% Kristen Protestan, dan ada Islam 6% yang mayoritas berada di Pulau Mindanao (ada yang bilang 11%). Di daerah Filipina Selatan inilah para muslim separatis bercokol dan mereka telah memberontak selama puluhan tahun meski pun telah diberi status Daerah Otonom. Untunglah masalah Aceh telah selesai di Indonesia dengan status otonomnya tersebut. Sungguh melelahkan peperangan tersebut. 😟
Sebagai negara yang termasuk bekas jajahan Amerika Serikat, Bahasa Inggris menjadi bahasa utama di Filipina dengan tujuan memudahkan pelajar dan warga Filipina untuk bersaing dengan warga dari negara lain di tingkat global. Katanya banyak siswa yang datang dari Korea ke Filipina untuk belajar bahasa Inggris selama 6 bulan atau lebih, baru kemudian transfer ke luar negeri untuk belajar ke Australia, Amerika Serikat, atau negara lain. Jadi semacam kursus singkat sebelum kuliah di negara berbahasa Inggris. Meski demikian bahasa Inggris Filipino ini terasa aneh di telinga saya. Mungkin karena saya lebih terbiasa mendengarkan bahasa Inggris dialek Singapore atau India. 😄
Begitu mendarat hal pertama yang kami lakukan adalah tukar uang Peso, mata uang Filipina. Dengan US$ 100 kami dapat 5130 PHP atau Philippines Peso. Kami tidak bisa tukar Peso dengan Rupiah karena mereka tidak jual rupiah. Mereka justru mau beli Baht Thailand.
Setelah punya uang Peso kami lalu beli SIM CARD lokal. Dengan harga 599 Peso saya dapat kartu khusus untuk internet sebesar 4 Giga. Cukup banyak untuk dipakai selama 3 hari di Manila. Dengan kartu lokal ini maka kami akan bisa tetap terhubung dengan dunia kami di Indonesia. Tapi yang paling penting adalah kami bisa pesan taxi Grab kemana-mana. Repot juga kalau tidak bisa konek ke internet. 😊
Dari NAIA kami langsung naik Grab ke Manila Manor Hotel yang telah saya pesan semalam via Traveloka. Setelah sampai di hotel dan diantar ke kamar barulah kami sadar bahwa kami salah pilih hotel murah ini. Meski berada di tengah kota tapi kamarnya di bawah standar hotel yang biasa kami pesan. Karpetnya sudah bulukan (mungkin tidak pernah diganti sejak berdiri puluhan tahun yang lalu) dan tidak ada sandal hotelnya. Yang lebih parah adalah air panasnya tidak jalan (saya perlu mandi air hangat karena masih flu) dan colokan listriknya tidak bisa dipakai. Padahal kami perlu mengisi baterei HP kami. 😢 Untunglah saya masih bawa powerbank yang isinya masih setengah. 😊
Manila Manor Hotel ini adalah sebuah hotel tua yang terletak di distrik Bocobo Street yang dipenuhi dengan bar-bar, massage, dan hiburan malam lain. Begitu malam turun para wanita berpakaian minim dan sexy pada berjejer di depan bar tempat mereka bekerja masing-masing. Sungguh seronok…! 😀 Kebetulan juga kamar kami bersebelahan dengan bar yang musiknya berdentam-dentam. Kami lalu saling berpandangan dan tertawa. “Wah, bakal sulit tidur nih nanti malam.” 😄
Betul juga. Sampai Subuh jam 5 pagi baru mereka menghentikan musik mereka yang berdentam-dentam tersebut. Jam 3 saya terbangun dan tidak bisa meneruskan tidur lagi. Rasakno kon yo…! 😄
Saya segera buka aplikasi hotel di Traveloka untuk pindah hotel. Padahal baru saja saya memperpanjang satu malam lagi. Tapi biarlah saya rugi satu malam ketimbang gak nyaman tidur di hotel ribut ini.
Karena kuatir dapat hotel yang tidak nyaman lagi akhirnya saya pilih hotel dengan rate jauh lebih tinggi, yaitu di Citystate Tower Hotel di daerah Ermita Metro Manila. Mahal yo ben. Sing penting bisa nebus tidur yang terganggu semalam. 😄
Malam ini acara kami cuma jalan ke Mall of Asia, mall terbesar di Manila yang kira-kira besarnya seperti Grand Indonesia Mall di Jakarta. Pengunjungnya lebih ramai daripada di Indonesia. Mungkin karena lokasinya persis di depan terminal pusat kota Manila. Kami langsung menuju sebuah toko bernama “Kultura” yang menjual berbagai macam souvenir asli Filipina. Semua pesanan souvenir dari anak dan keluarga tuntas terbeli di satu toko ini saja. One mission accomplished. 😄