Apa yang akan Anda lakukan jika Anda melihat sesuatu hal yang buruk dan salah yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar kita? Jika Anda berupaya untuk menghentikan dan mengubahnya maka Anda adalah seseorang yang berjiwa reformis atau kalau pakai istilah agama Anda melakukan amar maâruf nahi mungkar.
Amar maâruf nahi mungkar ini nyaman diucapkan tapi sangat sulit dilakukan. Kebanyakan kita cuma sampai di teori tapi begitu harus melangkah lantas âawang-awangenâ takut berhadapan dengan resiko. Itu sebabnya sangat sedikit di antara kita yang layak disebut sebagai reformis.
Salah satu sosok yang berani beramar maâruf nahi mungkar adalah John Ndolu. 12 Desember 2011 lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, memberinya gelar Anugerah Peduli Pendidikan. Ini adalah anugrah bagi tokoh yang dinilai memiliki kepedulian yang tinggi pada pendidikan. Johanes Barnabas Ndolu, kepala suku Leo Kunak di Pulau Rote Ndao, NTT, ini telah berhasil melakukan sebuah terobosan penting di dunia pendidikan di pulau tersebut. Ia berhasil mengubah sebuah tradisi dalam sukunya yang dianggapnya buruk dan merugikan menjadi sebuah tradisi yang baik dan menguntungkan. Tradisi yang dirombaknya adalah tradisi Tuâu, yaitu tradisi pesta berhari-hari ketika ada yang menikah atau ada yang meninggal dunia. Pesta ini selalu diselenggarakan besar-besaran dan bisa menghabiskan dana mencapai ratusan juta rupiah untuk membeli beberapa kerbau/sapi yang akan dihidangkan selama berhari-hari. Meskipun sangat mahal, masyarakat Pulau Rote rela menjual harta bendanya untuk menggelar pesta akbar itu demi menjaga nama keluarga besarnya. Hampir semua yang menyelenggarakan pesta Tuâu ini kemudian jatuh miskin dan menanggung hutang sampai bertahun-tahun. Anehnya, untuk pendidikan anak mereka bisa sangat abai. akibatnya, 50 persen penduduk Pulau Rote tidak bersekolah dan 11 persen dari seluruh penduduk Pulau Rote buta huruf. Mengenaskan memang.
John Ndolu kemudian berpikir bahwa apa yang dilakukan orang di Pulau Rote itu harus diubah. Adat-istiadat jangan dibuang begitu saja namun sebaiknya tidak membelenggu dan merugikan masyarakatnya. John Ndolu merasa miris melihat orang-orang berjuang sekuat tenaga untuk menggelar pesta namun berat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Jika ini berlanjut maka jelas akan melanggengkan kebodohan dan kemiskinan masyarakat Pulau Rote. Di sinilah John Ndolu tergerak hatinya untuk mulai melakukan amar maâruf nahi mungkar dengan mengubah masalah menjadi solusi.
Kesempatan untuk mengubah adat istiadat yang merugikan ini ia peroleh ketika ia dipilih menjadi Kepala Suku. Tapi ia tidak gegabah. Sebelum melakukan perubahan John Ndolu mengajak para tokoh NTT terkenal tingkat nasional berdiskusi. Di antaranya adalah Herman Johannes, mantan rektor UGM; dan E.C.W. Nelu, mantan bos Bank Mandiri. Akhirnya John mendapatkan kesimpulan bahwa jika anak-anak Pulau Rote ingin berkembang dan berhasil maka mereka harus keluar dari Pulau Rote untuk kuliah.
Pelan-pelan dengan pendekatan persuasif bermodal kepercayaan masyarakat yang mengangkatnya sebagai kepala suku, John meminta komitmen warga untuk mengubah tradisi Tu’u, hanya mengubah, bukan menghilangkan. Dia sadar bahwa menghilangkan budaya lokal tidaklah bijaksana. Yang hendak diubah adalah sifat foya-foya dari tradisi ini. Segala pengeluaran selama upacara dikurangi. Hewan sesembelihan yang sebelumnya bisa mencapai puluhan, bahkan lebih dari seratus, dipangkas tinggal satu ekor saja. Dengan demikian biaya pesta yang sebelumnya mencapai ratusan juta rupiah kini menjadi hanya maksimal 10 juta rupiah. Masyarakat juga tidak sampai menjual harta benda demi menggelar upacara adat tersebut. Selain itu, penduduk yang diundang juga tidak terbebani dengan utang amplop. Sebab, biaya adat Tu’u sudah bisa ditangung orang yang menggelar hajatan. Sebelum ini mereka mendapat sumbangan dari masyarakat tetapi dianggap utang yang mesti dibayar. Dan utang ini bisa membelenggu keluarga mereka sampai miskin. Hal inilah yang kemudian diubah oleh John Ndolu. Sesuatu yang semula membelenggu dibuka dan masyarakat langsung merasa terbebaskan dari sesuatu yang membebani mereka selama beberapa generasi. Inilah tindakan seorang reformis sejati, mengubah masalah menjadi solusiâŠ!
Setelah menyederhanakan upacara Tu’u, John lantas membuat Tu’u baru, yaitu Tuâu Kuliah. Tuâu ini khusus untuk membantu masyarakat yang kesulitan membiayai anaknya kuliah. Jadi ini adalah Tuâu patungan untuk membiayai kuliah seorang anak. Upacara tersebut rata-rata ramai diadakan pada bulan Juli atau Juni. Dalam sebulan, bisa sampai 20 kali upacara Tu’u Kuliah. Mekanismenya, setiap ada keluarga yang benar-benar tidak mampu membiayai kuliah anaknya bisa melapor ke John. Selanjutnya, dirancang upacara Tu’u khusus untuk kuliah.
Pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan Tu’u untuk mengenang orang meninggal atau Tu’u pernikahan. Yaitu, setiap undangan wajib membawa amplop untuk pemilik hajat yang kesusahan membayar uang kuliah. Pada kali lain dia juga wajib mengembalikan amplop jika ada warga lain yang di kemudian hari menggelar upacara Tuâu serupa.
Dalam setiap digelar upacara Tu’u kuliah, bisa terkumpul uang hingga Rp 30 juta. Dana sebesar ini diperkirakan bisa membiayai hingga proses wisuda. Untuk menekan pengeluaran saat upacara Tu’u atau arisan kuliah tadi, John memutuskan tidak boleh menyuguhkan hidangan yang berlebihan, cukup kue saja. Dengan populasi sekitar 130 ribuan jiwa, warga cukup iuran Rp 25 ribu per keluarga untuk menyumbang pemilik hajatan Tu’u kuliah. Ikatan kekeluargaan yang cukup erat membuat . Setiap ada kabar penyelenggaraan Tu’u kuliah langsung terdengar hingga di kampung sebelah. Kemudian, warga lintas kampung itu berduyun-duyun hadir dan memberikan sumbangan Tu’u kuliah sebesar Rp 25 ribu.
Selama upacara Tu’u kuliah dijalankan, sudah ada 50 mahasiswa yang dibantu. Para mahasiswa itu kebanyakan kuliah di kampus-kampus ternama di Pulau Jawa. Selain itu, ada yang kuliah di NTT. Sebagian di antara mahasiswa itu sudah diwisuda. Lalu, sebagian lagi masih kuliah. Dia menjelaskan, rata-rata para sarjana pulang ke kampung halaman.
Para sarjana inikemudian bekerja di instansi pemerintahan. Bahkan, ada yang menjadi lurah. Ada juga yang menjadi pendeta atau guru. John memperkirakan, kelompok tersebut memiliki ikatan batin dengan tetangga yang sudah membantu biaya kuliah. Sebagian lagi ada yang mengadu nasib sebagai pekerja kantoran hingga di ibu kota DKI Jakarta. John Ndoluberharap akan bermunculan tokoh-tokoh intelektual dari bumi Pulau Rote, pulau yang letaknya di wilayah paling selatan republik ini.
Berkat reformasi ketentuan adat yang dilakukan John Ndolu masyarakat Pulau Rote kini terbebaskan oleh perbuatan foya-foya yang mengakibatkan utang. Selain itu anak-anak Pulau Rote juga bisa mengecap pendidikan yang lebih baik.
John Ndolu berhasil mengubah sebuah masalah menjadi sebuah solusi.
Oh ya, kisah ini saya baca pada buku âHidden Heroesâ juga.
Surabaya, 15 September 2014
John Ndolu Pendidikan Pulau Rote
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com