Pagi ini saya dan istri memulai lagi program olahraga pagi dengan berjalan di lapangan Rungkut. Sebelumnya kami sempat menjalaninya beberapa hari dan kemudian tertabrak urusan pekerjaan dan lain-lain sehingga terhenti. Tapi pagi ini kami sudah berjanji untuk memulainya lagi. Subuh tadi saya sudah melintas di lapangan ini dan melihat betapa kotornya lapangan Rungkut ini. Saya sudah berniat untuk membawa kantongan plastik besar dan memunguti sampah-sampah yang berserakan sambil berjalan nanti. Tapi ternyata saya lupa membawanya…
Ketika kami masuk ke lapangan kami melihat banyak orang yang juga melakukan olahraga pagi seperti kami. Lapangan Rungkut ini memang punya jogging track yang sebetulnya terlalu kecil dan tidak membedakan antara yang mau jogging dan yang mau sekedar jalan kaki seperti kami. Selain para olahragawan pagi lapangan juga didatangi oleh serombongan siswa-siswa SDN Rungkut yang akan melakukan pelajaran olahraga pada pagi itu. Saya melihat mereka bergerombol di sana-sini sambil bermain sendiri-sendiri. Ada yang bermain ayunan, sepakbola, bergurau, dan bahkan belanja makanan kecil dan minuman teh plastik. Lapangan ini memang terbuka dan pedagang makanan bisa masuk dengan bebas. Dan itu yang menjadi sumber masalah kebersihan lapangan ini.
Sambil mengayunkan langkah mengelilingi lapangan saya berpikir, ‘Alangkah berat dan banyaknya masalah bangsa kita…’. Masalah kebersihan jelas belum bisa diselesaikan oleh bangsa kita sampai pada usia kemerdekaannya yang lebih dari 65 tahun. Siswa-siswa yang katanya telah belajar tentang Olahraga dan Kesehatan, Agama, Budi Pekerti, Pembentukan Karakter, dll bahkan belum bisa mempraktekkan bagaimana membuang sampah dengan benar. Akibatnya sampah-sampah bekas makanan dan minuman mereka berserakan di mana-mana padahal ada beberapa bak sampah di setiap sudut lapangan. Tapi toh anak-anak dan para penjual mamin dengan entengnya melempar sampahnya di mana saja mereka mau. Dan nampaknya selokan adalah tempat favorit untuk membuang sampah.
Saya terpaksa menghentikan langkah saya ketika melihat seorang anak dengan enaknya membuang plastik bekas minumnya ke selokan. Saya pegang tangannya dan memintanya untuk memungut dan membuangnya ke tempat sampah. Untungnya ia mau menurut dan tidak menggerutu. Percayalah, seandainya saya tidak melakukan hal tersebut maka mungkin tidak akan ada orang lain yang akan ‘resek’ mengingatkan anak itu untuk membuang sampah ke tempatnya. Kita seolah sudah tidak perduli dan apatis dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat dan anak-anak kita sendiri. Kita menganggap anak SD yang membuang sampah sembarangan tersebut adalah anak orang lain dan kita merasa tidak punya hak, apalagi kewajiban, untuk mengingatkan mereka untuk berprilaku benar. Paling banter kita akan mengeluh dalam hati.
Itu artinya kita memasuki jaman kegelapan….
Kita memasuki jaman kegelapan karena kita telah kehilangan SEBAGIAN DARI IMAN kita. Bukankah kebersihan adalah sebagian dari iman, dan jika kita berprilaku kotor maka sebenarnya kita telah kehilangan sebagian dari iman kita…?! Iman kita tidak pernah utuh karena kita membuang sebagiannya ke selokan.
Mengapa bangsa kita gagal untuk menanamkan budaya bersih, tertib, dan disiplin pada para siswa? Apa yang kurang dari sistem pendidikan kita? Kita punya sekolah, kita punya guru, kita punya kurikulum, kita punya buku, kita punya masyarakat, kita punya dana, kita punya peraturan, …. Lantas mengapa sekedar menanamkan budaya bersih saja kita gagal…?! I feel gloomy this morning.
Selain masalah kebersihan, saya juga sedih melihat anak-anak yang berolahraga tersebut. Ketika mereka tiba guru olahraganya belum datang sehingga mereka juga bermain sendiri dan berbelanja makan dan minum. Semestinya guru olahraganya harus datang lebih awal dari siswa.
Ketika gurunya datang siswa juga tidak langsung berkumpul. Dengan sikap kurang berwibawa guru olahraganya kemudian meminta siswanya untuk berbaris. Sebagian siswa tidak perduli dan tetap bermain dan mengerubungi penjual mamin. Ingin rasanya saya menggantikan guru olahraga tersebut untuk memimpin anak-anak berolahraga. Jelas sekali bahwa ini masalah besar yang juga dialami oleh hampir semua sektor kehidupan bangsa kita, yaitu hilangnya kepemimpinan. Guru memang ada, kepala sekolah ada, kepala kantor ada, direktur ada, kepala bagian ada, ketua jurusan ada, dekan ada, tapi TIDAK ADA KEPEMIMPINAN. We lost leadership everywhere. Kita bergerak liar sendiri-sendiri tanpa ada visi dan target yang jelas karena pemimpin yang ditunjuk tidak punya visi dan juga tidak punya wibawa dalam memimpin.
Ambil contoh guru olahraga tersebut. Jelas sekali bahwa ia tidak punya visi yang jelas tentang apa yang ia kerjakan. Meski sepanjang karirnya ia adalah guru olahraga, ia mungkin tidak paham apa pentingnya peran dan fungsi olahraga dalam kehidupan sehingga ia tidak merasa perlu bersikap serius dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Ia mungkin tahu apa peran dan fungsi olahraga tapi ia jelas tidak meyakininya. Ia TIDAK MENGIMANI apa yang ia lakukan sehingga ia melakukannya dengan asal-asalan dan tanpa penghayatan. Seperti anak yang membuang sampah di selokan tadi, ia mungkin tahu apa pentingnya olahraga bagi kehidupan dan masa depan siswanya tapi ia tidak mengimaninya sehingga ia tidak melakukannya dengan serius dan bahkan mungkin akan melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip dari pelajaran olahraga yang ia harus ajarkan. Ini seperti orang yang sholat tapi lalai. Banyak orang yang sholat tapi tidak paham apa gunanya sholat dan mengapa harus dilakukan secara rutin dan penuh penghayatan. Jadi semua dilakukan dengan bermalas-malasan tanpa adanya dedikasi dan kesungguhan pada tugas. Lantas siswa macam apa yang kita harapkan akan bisa dididik melalui pelajaran olahraga yang diembannya jika ia sendiri tidak ‘mengimani‘ pekerjaannya?
Kemarin saya jalan-jalan ke kampus yang punya moto ‘Growing with Character’ dan dengan sedih melihat betapa tidak disiplin dan tertibnya para mahasiswa. Dengan santainya mereka memarkir motor mereka persis di bawah papan tanda lalu lintas ‘Dilarang Parkir’ di kantin. Bayangkan….! Sampai di pergurun tinggi pun kita masih belum bisa memahami arti dari tanda larangan ‘Dilarang Parkir’….! Jika hal seremeh ini pun kita masih belum juga bisa melaksanakannya maka pekerjaan berat dan besar apa yang mungkin bisa kita lakukan SEBAGAI BANGSA….?! Lantas apa arti slogan ‘Growing with Character’ tersebut…?! Kita kembali melakukan sesuatu tapi tanpa mengimaninya.
Jelas sekali bahwa kesadaran untuk tertib dan disiplin belum tumbuh di lingkungan kampus tersebut. Dan yang lebih parah lagi adalah TIDAK ADANYA upaya untuk menegakkan aturan yang ditetapkan. Apa sulitnya menegakkan aturan ‘Dilarang Parkir’ di kampus yang merupakan pencetak intelektual penerus bangsa ini? Ini adalah bukti nyata hilangnya kepemimpinan di masyarakat kita, bahkan di kampus yang merupakan tempat pencetak para akademisi dan intelektual! Ada dosen, dekan, rektor, satpam, dll tapi karena kepemimpinan hilang maka tak ada yang tahu siapa yang bertanggungjawab untuk menegakkan peraturan. Ini juga bukti bahwa kita tidak bisa mengharapkan KESADARAN melalui himbauan untuk menegakkan aturan, meski di lingkungan kampus yang dianggap sebagai lambang intelektualitas. Mahasiswa ini berprilaku sama dengan siswa SD yang dengan entengnya membuang sampah di selokan. Jadi bertambahnya pendidikan pada masyarakat tidak menjamin berubahnya prilaku.
Sesak napas saya memikirkan ini sambil berolahraga pagi.
Are we losing the battle…?!
Surabaya, 3 Oktober 2012
Salam Pak Haji Satria,
Postingnya sangat menginspirasi sekali…
Saya jadi teringat ketika suatu saat di tahun 2007, saya diberi kesempatan mengisi pelatihan motivasi kepada guru-guru dan siswa di SMA Negeri 42 Jakarta. Kata banyak orang termasuk salah satu SMA favorit yang berlokasi di Bandara Halim Perdana Kusuma.
Sama seperti Pak Haji Satria ketika sampai di lapangan Rungkut, saya juga kaget ketika pertama kali menginjakkan kaki di halaman sekolah ini. Tapi bukan karena kekotorannya, justru sebaliknya, sekolah ini sangat-sangat buuuersih sekali …. Waktu masuk gerbang satpam, mobil saya diberhentikan petuga jaga, dengan senyum dia menyapa sopan,”Maaf, bapak dari mana, ada yang bisa dibantu mau bertemu dengan siapa?” Satpam itu bertanya sambil tangannya diangkat menghormati saya dengan gaya khas militer, namun tetap saja senyumnya membuat saya nyaman memasuki sekolah ini.
“Saya Arief dari Edu, ingin bertemu dengan Pak Haji Sultoni, Bapak Kepala Sekolah…”
“Ooo..Silakan Bapak isi buku tamu ini dulu, sudah tahu tempatnya khan Pak, silakan nanti temui Guru Piketnya agar bisa diantarkan ke Ruang Bapak Kepala Sekolah, kebetuan saat ini sedang ada tamu juga,… Bapak sudah ada janji?”
“Sudah… tapi setengah jam lagi, saya datang kepagian nih Pak…” Sambil saya memperhatikan jam di dinding Pos Satpam yang tepat menunjukkan pukul 08.00 pagi.
“Silakan tunggu saja, nanti di dekat taman ada ruang tunggu untuk tamu, Pak Arief…”
Saya baru pertama kali ke sini, jadi lokasinya masih agak asing. Saya agak kaget dengan situasi dan lingkungan SMA ini, sepertinya ada yang aneh. Apa ya? setelah saya amat-amati, dari banyak sekolah di Jakarta yang sudah saya sambangi, sekolah ini memang ada sedikit berbeda. Gerbangnya sama, bentuk bangunannya mirip mungkin karena dibangun oleh Kontraktor yang sama dengan Dana Pemerintah, anak-anaknya sama, guru-gurunya juga ga ada yang aneh … Tapi ya itu tadi, sekolah ini sangat-sangat buerrsiih sekali …. Hampir tidak ada daun kering, plastik, kertas, atau sampah sekecil apapun di pekarangan sekolah. Semua tanaman dan bunga-bunga juga tertata rapi dan dirawat dengan baik, hijau subur, sangat indh dipandang.
Ketika memasuki lorong sekolah, lantainya pun licin sekali, sampai sinar matahari pagi jadi semakin cerah, karena memantul dengan kemilaunya di lantai sekolah. Ketika melihat lapangan basket pun sama, warna cat merahnya jelas terasa tegasnya, bersih, ditingkahi anak-anak yang sedang oleh raga, rasanya jadi ingin balik sekolah SMA lagi ….
Karena waktu saya ketemu Kepala Sekolah masih lama, saya gunakan kesempatan ini untuk jalan-jalan ke seluruh sudut sekolah, ke kantin, ke sekitar ruang guru, sambil basa-basi sedikit dengan mereka tentunya. Dan tidak ada satu ruangan pun yang mengecewakan … Dan benar saja, ketika pandangan saya tertumbuk pada sebuah prasasti di depan taman, jelas terpampang di situ “JUARA I NASIONAL KEBERSIHAN SEKOLAH”. Memang banyak sekali papan-papan slogan yang menonjok mata ketika menyusuri teras kelas dan sudut sekolah itu, mulai dari “Kebersihan adalah Sebagian dari Iman”, Kebersihan adalah Tanggung Jawab Kita Bersama”, “Buanglah Sampah pada Tempatnya”, bahkan di tong sampah yang warna-warni itu tertulis “Sampah Basah” dan “Sampah Kering” … Dan masih banyak lagi tulisan motivatif lainnya … seperti “Jauhi Narkoba”, “Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, dan “Tuntutlah Ilmu Sepanjang Hayat”…
Saya pun akhirnya penasaran, langsung saya sidak ke WC dan kamar mandinya, subhanallah baik yang untuk guru dan siswa, serasa masuk kamar mandi hotel bintang lima. Walaupun tetap khas kamar mandi sekolah, namun situasinya benar-benar lain, kering tidak ada air bercereran,dan wangi pengharum ruangan yang semerbak ketika pintu baru mulai dibuka.
Waktu habis, sekarang jam 08.30, staf Kepala Sekolah mengantarkan saya menuju ruang Pak Haji Sultoni. Pak Haji, begitu saya memanggil beliau, orangnya ramah, wajahnya kelihatan lebih muda dari usia sebenarnya saya kira, saya tebak kira-kira berusia 50an.
“Terima kasih, Pak Haji … air putih saja,” jawab saya ketika beliau menawarkan minuman apa yang ingin disuguhkan ke saya.
Sebagai pembuka, langsung saja saya utarakan kekaguman saya terhadap kebersihan sekolah ini.
“Wah, pastilah dibutuhkan seorang Kepala Sekolah yang hebat untuk mewujudkan semua ini ya Pak Haji…?”
“Ahh…ga juga Pak Arief, hanya sedikit strategi kecil saja, itu pun saya heran masih saja ada anak-anak yang buang sampah sembarangan, walaupun kita sudah tempel papan slogan di mana-mana Kebersihan adalah Tanggung Jawab Kita Bersama… Oh ya bagaimana persiapan pelatiahn hari ini, ini sudah jam 08.45 sebentar lagi mulai sesi Bapak, katanya Bapak mau cek sound system dan proyektornya … ayo saya antar …..”
Kami pun bergegas menuju ke ruang Multi Media, sudah ada 100an peserta guru dan siswa yang menunggu di ruang yang mewah kalau untuk ukuran SMA di Jakarta, saya kira. Lantainya bersih, mejanya diberi taplak meja batik indah, AC yang dingin, sound system dan proyektor yang benar-benar tajam, membuat siapapun presenter yang akan tampil jadi semakin percaya diri …
Alhamdulillah, acara berjalan lancar, dan sekali lagi alhamdulillah, berkah dari Allah, sampai saat ini setidaknya saya datang setahun dua kali untuk memberikan motivasi di sekolah ini. Sunggu suatu pengalaman yang menginspirasi sekali, sehingga setiap perjumpaan dengan sekolah lain, saya selalu menceritakan hal ini kepada mereka, karena saya lihat masih banyak sekolah yang belum bisa mencapai tingkatan ini …
Terima kasih, Pak Haji Satria inspirasi Lapangan Rungkutnya, salam hormat buat Bu Haji …
Semangat pagi! Semoga Berkah!
Salam,
Arief Edu
Duta KCB | Keluarga Cinta Buku
http://www.klikKCB.com
PS. Oh, ya ada yang kelupaan Pak Haji, pada saat selesai acara pelatihan, baru sempat saya baca beberapa papan kecil yang tadi terlewat karena banyaknya tulisan papan yang menonjok mata saya. Tulisan itu kecil jelas sebetulnya karena dituliskan dengan cat putih dengan warna dasar hijau sehingga kontras sekali. Ada yang ditaruh di atas pintu, ada yang juga yang ditancap di tanah. Tulisan itu adalah “Penanggung Jawab Kebersihan Kamar Mandi Lt.1 Putra: Warsono”, Penanggung Jawab Kebersihan Kamar Mandi Putri Lt.1: Dewi Lestari”, Penanggung Jawab Taman Belakang: Bambang”, Penanggung Jawab Kamar Putra Mandi Lt.2: Alex”, Penanggung Jawab Ruang Laboratorium Biologi: Indah Sari” …
Hhmm ini mungkin yang disebut hanya sedikit strategi kecil saja oleh Pak Haji Sultoni ketika awal berjumpa dengan beliau. Ya kalau kotor, khan tinggal panggil penaggungjawabnya saja, 1x, 2x, 3x masih kotor juga tinggal pecat saja karena dia makan gaji buta, cari orang lain saja, khan masih banyak orang cari kerja di negeri kita ini. Wallahu alam bishowab. Pastinya akan saya tanyakan ke Pak Haji Sultoni nanti … Insya Allah …