Mohon maaf… saya tidak sedang mengumpat atau mengata-ngatai apa pun dan siapa pun dengan judul di atas. Saya hanya hendak menulis tentang anjing.
Apa saya seorang pemelihara anjing? Tidak. Sebenarnya hubungan saya dengan anjing tidak pernah akrab, apalagi mesra. Saya bahkan pernah traumatik karena pernah dikejar anjing waktu masih kecil. Sejak itu saya selalu waspada dan jantung saya berdebar lebih kencang kalau melewati anjing. Lagipula saya dibesarkan dalam lingkungan budaya agama yang tidak simpatik pada anjing meski sering dikatakan bahwa anjing adalah ‘man’s best friend’.
Anjing adalah binatang yang tidak patut saya jadikan teman karenanya dan saya butuh waktu cukup lama untuk mengalahkan rasa takut saya pada anjing. Saya sudah tidak terlalu takut lagi pada anjing setelah berhasil mengalahkan rasa takut saya secara ‘self-hypnosis’. Meski demikian saya masih sering tegang jika melewati seekor anjing yang berukuran besar. Apalagi anjing tersebut sedang berombongan dengan rekan-rekan sejawatnya! Satu saja bikin repot, apalagi kalau dengan konco-konconya. Repotnya saya pernah membaca bahwa anjing itu bisa membaui rasa takut kita dengan mencium keringat yang keluar dari tubuh kita. Kalau anjing itu tahu kita takut maka ia akan semakin terprovokasi untuk menyerang kita. Bayangkan…! Maksud saya, bayangkan betapa tersiksanya saya dengan ‘pengetahuan’ saya tentang anjing tsb. Saya tidak tahu benar apakah hal itu benar atau tidak tapi mengetahui itu sudah cukup membuat saya harus ekstra keras untuk tidak berkeringat ketika melewati anjing, terutama kalau anjing itu memandangi saya. Oh ya…!
Saya juga pernah membaca bahwa anjing TIDAK SUKA ditatap langsung matanya karena itu dianggap sebagai tantangan! (nantangin anjing…?! Udah gila apa…?!) I’m no dog expert of course jadi saya tidak pernah tahu apakah seekor anjing sedang merasa jagoan dan tidak ingin ditantang oleh manusia yang santun seperti saya atau tidak. Yang penting saya tidak mau cari gara-gara dengan anjing tapi kalau anjing mau menggigit saya ya apa boleh buat! Jelas saya tidak akan menggigit balik sebagai balasannya tapi saya akan melawan tentu saja. Berkelahi dengan anjing jelas bukan perbuatan yang terpuji tapi akan saya lakukan kalau ada anjing yang mau coba-coba menakut-nakuti saya. I’m no chicken (and no cat either). So I’ll fight as a man, terpaksaly.
Tapi bukan soal berkelahi dengan anjing yang akan saya ceritakan. Jangan sampailah dalam hidup saya yang fana ini saya terpaksa harus berkelahi dengan anjing. Kalau pun terjadi maka saya tidak akan ceritakan pada Anda. Nothing heroic on it. It’s even embarrassing I guess. Saya akan ceritakan hal lain tentang seekor anjing. Saya beri sedikit bocoran : Namanya Blacky. Keren kan…?! (anjriiit…! Anjing kok rata-rata punya nama keren ya)
Pagi ini ketika saya keluar dari rumah adik saya di Jakarta tiba-tiba saya disambut oleh seekor anjing yang duduk dengan tegaknya di depan pagar rumah. Ia duduk dengan menghadap langsung ke pagar rumah seolah sedang menunggu pembagian zakat yang akan segera dibagikan. Kami langsung bertatapan mata tentu saja.
Meski doktrin bahwa anjing merasa ditantang kalau ditatap langsung ke matanya tapi saat itu saya melihat dengan jelas bahwa mata sang anjing bukanlah termasuk mata yang sok jagoan apalagi jenis yang mata keranjang. Saya melihat tatapan mata yang sedih dan mengibakan. Dan saya paling sensitif dengan tatapan mata seperti itu, meski dari seekor anjing (anjing memang bukan manusia tapi ia kan juga mahluk Tuhan. Begitchu loh…!).
Begitu melihat saya hendak keluar dari pintu pagar anjing tersebut langsung bangkit dan pergi menjauh. Ia jelas tidak ingin cari perkara dengan saya dan saya menghargai sikap santunnya tersebut. Jadi jelas bahwa matanya itu mata yang iba dan bukan mata yang haus tantangan. Tanpa terasa mata saya mengikutinya pergi menjauh.
Itu bukan pertemuan pertama saya dengan anjing tersebut karena ia memang sudah tinggal lama di lingkungan perumahan di mana adik saya tinggal. Meski demikian statusnya adalah gelandangan karena tak ada yang bersedia memungutnya sebagai peliharaan (apalagi gendakan, tentu saja). Entah ia dari mana dan bagaimana sejarahnya tahu-tahu saja ia sudah tinggal di lingkungan perumahan situ dan tempat nongkrongnya adalah persis di depan rumah adik saya. Oleh adik saya ia kemudian diangkat sebagai penjaga rumah (tanpa SK, upacara, dan gaji tentunya) dan untuk tugas yang tidak dikomunikasikan secara jelas itu sang anjing seringkali diberi ‘honor’ berupa makanan sisa oleh adik saya dan anak-anaknya. Setahu saya sang anjing tak pernah protes apalagi melakukan mogok makan. Oh ya, sang anjing kemudian diberi nama ‘Blacky’ karena kulitnya yang berwarna hitam dengan beberapa bercak putih. Blacky senang-senang saja diberi nama keren dan kebarat-baratan seperti itu mengingat statusnya yang gelandangan tak berpendidikan tersebut.
Sudah untung ia tidak dipanggil dengan sekedar ‘Njing’ belaka dan ia segera datang jika dipanggil dengan nama ‘Blacky’ tersebut.
Karena tahu bahwa saya yang keluar dan bukan anggota penghuni rumah yang biasa memberinya makan maka Blacky kemudian menyingkir. Tapi tatapan matanya itu lho! Kok ya ada anjing dengan tatapan mata seiba itu dan kok ya pas bertatapan dengan saya pagi itu. Jelas ia belum makan se pagi itu (saya sudah sarapan enak sebelumnya) dan nampaknya ia mengharap ada seseorang dari kami yang sudi kiranya melemparkan sisa-sisa makanan padanya pada pagi yang kudus ini.
Saya berjalan ke luar rumah dengan merasa terganggu oleh pikiran-pikiran saya sendiri. Kenapa saya harus perduli dengan hidup Blacky pagi itu? Saya bukan apa-apanya, sebelum dan sesudah ini, jadi kenapa saya harus terganggu oleh tatapan matanya tersebut? Bukankah ia bisa bertahan hidup dan happy-happy saja selama ini meski saya tidak mengacuhkannya. Tapi saya tidak tahan. Mata ibanya itu mengirimkan pesan yang jelas ke hati saya dan saya sungguh terganggu karenanya. Tiba-tiba saya merasa bertanggungjawab pada urusan perut Blacky pagi itu.
Saya segera mendatangi kios rokok di depan rumah dan bertanya pada ibu penjualnya apa biasanya yang dimakan oleh Blacky (ia yang memberitahu saya nama anjing tersebut) dan dijawab bahwa Blacky makan apa saja yang diberikan padanya. ‘Bahkan roti.’ Katanya.
Karena kebetulan ia menjual roti dalam plastik maka saya ambil sebuah dan saya panggillah sang anjing dengan nama Blackynya dan ternyata ia menoleh dan berbalik. Roti saya buka dari plastiknya dan saya letakkan di tanah. Meski saya tahu bahwa Blacky fine-fine saja saya tetap tidak mau ambil resiko untuk memberinya makan langsung dari tangan saya. Blacky langsung menjilat roti tersebut tapi kemudian berhenti seolah tidak berminat.
“Pura-pura aja tuh! Entar juga dimakan.” Kata si penjual rokok yakin. Ternyata ia benar. tak lama kemudian Blacky melahap roti tersebut. Jelas bahwa roti bukan makanan favoritnya tapi pagi ini menu itu yang tersedia dan Blacky bukanlah anjing yang tinggi hati.
Saya segera mengambil lagi sebuah roti karena merasa sebuah roti tentu tidak cukup untuk Blacky. Tapi oleh si penjual rokok diberitahu agar jangan yang coklat karena Blacky tidak suka yang rasa coklat. Rupanya Blacky adalah salah satu konsumen yang cukup dikenal seleranya oleh penjual rokok tersebut.
Ketika tahu bahwa Blacky melahap roti yang saya berikan saya kemudian melangkah berangkat ke halte busway dengan perasaan terbebas dari rasa bersalah. Sungguh menyenangkan bisa terbebas dari rasa bersalah! (Emang lu bersalah ama anjing…?! Kata hati saya menggoda tapi tidak saya jawab. Besar kepala ia kalau saya ladeni). Tapi setelah itu pikiran saya melayang pada sebuah cerita yang cukup fenomenal dan sering saya jadikan contoh dalam berbagai kesempatan. Ceritanya adalah tentang seorangpelacur yang suatu ketika hampir mati kehausan diperjalanan. Ketika ia berhasil mengambil air dari sumur yang cukup dalam dengan susah payah ternyata ia melihat seekor anjing yang juga hampir mati kehausan. Ia segera memberikan air yang sangat dibutuhkannya dan diperolehnya dengan setengah mati tersebut kepada sang anjing lebih dahulu. Rasa kasihnya pada anjing ini ternyata membuat Tuhan mengampuni semua dosa-dosanya dan sang pelacur akhirnya happy-ending dengan masuk sorga. Saya sangat suka dengan cerita ini karena pesannya tentang kasih sayang sangat menyentuh saya.
Sambil berjalan menuju halte busway saya ‘berdialog’ dengan Tuhan dalam imajinasi saya. ‘Ya Allah, saya tahu bahwa apa yang saya lakukan tadi tidak heroik-heroik amat dan saya cuma keluar 2 rebu perak untuk memberi sarapan Blacky. Tapi jika Engkau yang Maha Pengasih dan Penyayang itu bersedia mengganjar saya dengan surgaMu tentu saja saya akan sangat menghargainya.”
Dan saya pun tersipu malu-malu membayangkan Tuhan bersedia mengabulkan permohonan saya tersebut.
Jakarta, 24 September 2010
Satria Dharma
what a nice writing! sy yg sampe detik ini masih anti-anjing jd merasa bersalah tlh mendiskriminasikan mereka para anjing… mungkin mereka emang keliatan sangar, tp mereka juga makhul tuhan; u’re rite 🙂
salut dengan artikel atau jajaran artikel yang pak satria paparkan..mulai dari sekolah untuk anak miskin sampai dengan artikel tentang anjing..kurikulum kita tampaknya harus menghitung fenokmena tersebut..bahwa masyarakat sekolah di Indonesia merupakan gambaran dari kondisi yang pak gambarkan. artinya pemerintah harus selalu belajar dan melihat fakta tersebut..lho..kok seperti redaksi metrro…ikut-ikutan nyalahin pemerintah…tapi gimna ya…kan kan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup hajat orang banyak kan pemerintah…begitu bervariasi dan beragammnya masyarakat indonesia…namun dengan KTSP yang saat ini diterapkan di sekolah belum sepenuhnya membantu individu-individu tersebut..maklum bangsa indonesia masih membangun jati dirinya…dengan kondisi saat ini mudah2an ke depan akan mampu membangun tercapainya tujuan pendidikan…tampaknya kita harus mengisi sejarah ini dengan untaian karya yang lebih dinamis guna mengantisipasi beragam perbedaan ini pak..