Yang menyenangkan dari travelling (jokka-jokka bahasa Makassarnya) adalah menikmati kuliner sepanjang perjalanan. Pokoknya apa yang maknyus harus dicoba. 😁 Mengunjungi Makassar selalu menyenangkan karena kami selalu suka dengan menu ikan bakar, coto, dan pallubasanya. Kami punya langganan resto di dekat Somba Opu dan kami usahakan menginap di hotel dekat resto tersebut. Dari hotel tsb kami tinggal jalan kaki saja. Jadi waktu saya tanya istri saya apa nama hotelnya dan dijawab Whiz Prime Sudirman trus langsung saya pesan hotel di situ. Ternyata bukan Whiz Prime Sudirman yang kami maksud. Yang benar adalah Whiz Prime Hasanuddin yang dekat dengan Somba Opu. Makanya saya heran waktu sopir kami menuju ke hotel pesanan kami kok jalurnya beda. Ternyata kami yang salah pesan hotel. Akhirnya kami naik mobil ke Resto Ikan Bakar Segar yang kami tuju. Setelah sampai di tempat ternyata resto tsb tutup dan tampaknya sedang direnovasi. Sayang sekali…! 😔
Akhirnya kami lanjut ke resto Lae-Lae di dekat jl. Somba Opu juga. Ini sebenarnya juga langganan kami meski kami lebih suka di Resto Segar tadi.
Ketika ditunjuki koleksi ikan dan seafoodnya kami heran karena ikannya kecil-kecil tidak seperti biasanya. Ini sih ikan remaja dan belum layak santap kayaknya. 😁 Mereka masih perlu hidup di laut beberapa waktu lagi sebelum siap bakar. 😁
Kami pilih beberapa ekor ikan dan cumi untuk dibakar dan diberi bumbu sesuai selera. Semuanya enak terutama cuminya yang mendapat pujian dari Yubi dan Yufi. Alhamdulillah kerinduan kami untuk makan ikan bakar di Makassar akhirnya terpenuhi. Terima kasih Ikan Cepa dan Baronang santapan kami. Your body is really delicious. 👍😁
Kalau mau makan ikan dengan puas berkunjunglah ke Makassar. Ini promosi dari kami. Tapi siapkan dana lumayan kalau makan di Lae-Lae sekarang karena lebih mahal dari perkiraan kami. Kami makan berlima dengan sopir dan kena 700 rb lebih. Kata istri saya yang mengelola kayaknya bukan yang dulu. Wistalah ikannya juga bukan yang dulu kok…! 😂
Sepanjang perjalanan kami ke Toraja lewat Maros, Pangkep, Pare-pare, Pinrang kami selalu berupaya mencicipi kuliner khas yang ada di sepanjang perjalanan. Ada Roti Maros yang terkenal kami mampir beli beberapa untuk kami coba. Ini semacam roti sobek dengan isi srikaya gula merah. Bukan kue traditional tapi khas Maros. Meski demikian yang beli lumayan banyak dan belinya juga banyak.
Selain Roti Maros ada kue traditional yang khas Pangkep. Namanya Dange dan Surabeng. Surabeng adalah kue serabi dengan kuah gula merah. Dange sendiri Termasuk kue yang unik karena hanya ada di daerah Pangkep. Aromanya harum menggoda dengan rasa manis bikin saya ketagihan. Setiap kali lewat Pangkep saya selalu mampir untuk beli kue unik ini.
Kudapan manis ini hanya ada di daerah Pangkep, tepatnya di jalan poros Pangkep – Barru, Kecamatan Segeri. Ada puluhan kios penjual Dange berjejer di sepanjang jalan.
Kios-kios kecil penjual Dange yang ada di tempat ini katanya telah ada sejak tahun 1970-an. Mereka tetap bertahan di tengah gempuran kios jajanan modern yang makin menjamur di sepanjang jalan trans Sulawesi. Keunikan rasa dan penampilannya membuat kue tradisional ini tetap disukai. 👍😊
Pembuatan kue tradisional ini mudah dan sederhana. Bahan dasarnya tepung beras ketan hitam, gula merah dan parutan kelapa dicampur menjadi satu adonan. Setelah menyatu, adonan ini dimasukkan ke dalam cetakan yang terlebih dahulu dipanggang di atas bara api. Cetakannya ini terbuat dari tanah liat. Adonan dimasukkan ke dalamnya hingga matang. Dulunya Dange ini hanya ada satu rasa saja, yaitu manis gula merah. Seiring perkembangan zaman Dange inipun diolah dengan berbagai rasa, mulai dari rasa cokelat, susu hingga rasa keju. Varian rasa ini membuat penjualan dange ini semakin laris manis. Kalau dilihat, memang sederhana saja pembuatannya. Tapi katanya kalau sudah beda tangan pasti beda rasanya. Apalagi kalau tangan saya yang bikin. Ajur Jum…! 😁
Kami berhenti sebentar di Pare-pare karena ada janji bertemu dengan keluarganya Aisyah, anak angkat kami. Ada warkop yang sangat rame persis di sebelah Polres Pare-pare. Semua meja tampaknya terisi dan kami beruntung bisa dapat meja yang baru saja ditinggalkan pembeli lain.
Sebelum meninggalkan Pare-pare kami sempatkan berfoto di depan patung Habibie-Ainun yang legendaris itu. Kami nuwun sewu ya Pak Habibie dan Bu Ainun. 🙏😁
Kami makan siang di Pinrang pas Dhuhur. Saya dan Ika pesan ikan lagi (ikannya lebih besar ketimbang di Lae-Lae dan jelas jauh lebih murah) tapi Yubi dan Yufi pilih ayam kecap di warung depan. Mereka bukan penggemar ikan seperti kami. We are fanatikun. 😁 Anak-anak lanang kami adalah coffee fanatikun dan selalu cari warkop yang khas. Begitu tadi di Makassar masuk Somba Opu langsung menuju ke Kopi Ujung yang katanya recommended by sesama coffee lovers.
Ada yang lucu waktu makan di sini. Meski tidak pesan sop tapi kalau makan ikan di sini selalu diberi menu tambahan semangkok sop. Sopnya agak lain dari biasanya dan seperti kuah coto. Waktu saya tanya itu sop apa dijawab oleh pelayannya, “Sop Biasa.” Haah…! 😳 I think I should order extraordinary soup instead. 😁
Kami masih berhenti lagi di warung di daerah Enrekang yang punya pemandangan yang sangat indah. Kok kebetulan namanya Gunung Nona, lengkapnya Gunung Nona Bambapua. 😁 Bagaimana gak beautiful lha wong gunung nyonya yang masih muda aja indah apalagi yang masih nona (tolong jangan berpikir macam-macam ya. Satu macam saja). 😎
Ada cerita dibalik nama gunung ini tapi saya tidak ingin menceritakannya. You come here yourselflah. 😂 Pokoknya ceritanya agak tragislah. Intinya ada pesan moral dari bentuk gunung tersebut. Di mana manusia diingatkan jangan pernah melakukan hubungan seks di luar nikah karena dalam agama itu adalah dosa besar dan tentunya membuat azab datang dan itu pasti. 😎 Ini yang ngomong salah seorang tetua kampung yang namanya tidak akan saya sebutkan karena ini juga katanya…katanya…
Katanya juga mulai banyak orang yang mendaki gunung ini. Tapi saya yakin semakin jauh mereka mendaki maka yang akan mereka temui hanyalah gunung nenek. Kalau mau dapat nona ya mending cari di kota aja, bro. 🤣
Perjalanan dari Enrekang ke Toraja berkelok-kelok, terus naik, dan banyak yang rusak. Kendaraan harus jalan pelan-pelan apalagi kalau di belakang truck membawa material berat. Kita mesti menunggu sampai truck itu berhasil sampai puncak daripada beresiko. Kalau truknya gak kuat dan mundur kan blaen kita yang di belakangnya. 😁
Kami tiba di Sahid Toraja sebelum Maghrib. Tak lama kemudian datang Pak Akar Nimpa, Ketua IGI Toraja, ke hotel bersama tiga anak perempuannya yang cantik-cantik. Beliau cerita tentang aktivitas beliau di IGI yang penuh dinamika. Saya selalu senang bertemu dengan para guru anggota IGI di mana pun. Mereka adalah guru-guru pejuang di daerah masing-masing. Mendengarkan kisah mereka berjuang di daerah masing-masing rasanya selalu membangkitkan semangat juang saya. Apalagi ternyata beliau membawakan saya oleh-oleh lima bungkus kopi Toraja yang masyhur itu. Wow…! Bungkus, bro…! 😁
Cekap semanten piatur kulo.
Toraja, 13 September 2021
Satria Dharma
Foto dokumentasi



