Apakah pemerintah perlu dikritik? Tentu saja. Saya SELALU melakukannya sejak 40 tahun yang lalu. Saya melakukan kritik dengan berbagai cara.
Ketika pemerintah (Depdikbud) bertindak sewenang-wenang dengan memaksa para guru harus masuk Golkar pada tahun 80-an, saya menentang. Akibatnya saya tidak boleh mengajar dan akhirnya keluar dari PNS. Sila baca kisah saya pada tautan yang saya sertakan di bawah.
Pada tahun 2003 saya tinggal di Balikpapan dan melihat bahwa pendidikan Indonesia memerlukan adanya āEducation and School Councilā (Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah). Waktu itu dunia pendidikan kita belum mengenalnya dan saya juga tahu karena membaca tentang pendidikan di negara lain. Jadi saya menulis tentang hal ini berkali-kali di media massa Kaltim Post. Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah secara legal oleh Depdiknas akhirnya dilakukan di seluruh Indonesia. Semua kota dan kabupaten harus membentuk Dewan Pendidikannya masing-masing dengan mengadopsi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Karena saya sudah bicara lebih dahulu tentang hal ini di Balikpapan maka Pemkot Balikpapan dengan mudahnya menunjuk saya sebagai Ketua Dewan Pendidikan Kota Balikpapan periode 2003 ā 2006. Saya sempat menulis tentang DPK dan KS ini di Kompas. Tapi saya tidak menyimpan dokumennya. Kritik keras saya bahkan ditanggapi oleh Mas Indra Djati Sidi yang waktu itu menjabat sebagai Dirjen di Depdiknas dan kami belum pernah ketemu.
Sebagai Ketua DPK Balikpapan saya menjadi mudah menyampaikan usulan dan kritikan saya. Saya melihat bahwa biaya pendidikan semakin mahal padahal semestinya pendidikan itu harus gratis. Oleh sebab itu saya menulis di berbagai media tentang pentingnya Sekolah Gratis. Tulisan saya tentang Sekolah Gratis menghiasi koran-koran lokal dan mailing list-mailing list pendidikan. Ide sekolah gratis ini jelas ditentang oleh Dinas Pendidikan dan para kasek. Sikap ini membuat saya sempat ādimusuhiā oleh para pejabat pendidikan, kasek dan guru di Balikpapan. Tapi pada akhirnya usulan saya mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Sekolah Gratis menjadi wacana paling populer di masyarakat pada waktu itu dan akhirnya semua kota dan kabupaten di Kalimantan Timur mengadopsinya. Untuk meyakinkan para pejabat Disdik dan anggota DPRD mereka saya ajak studi banding ke Kabupaten Jimbaran yang telah lebih dahulu melaksanakan program Sekolah Gratis ini. Kami diterima dengan sangat baik oleh Bupati Jimbaran Prof. Dr. drg. I Gede Winasa. Jika mau tahu apa argumen saya tentang sekolah Gratis ini sila baca artikel yang saya sertakan di bawah.
Untuk menyalurkan kritik dan aspirasi mengenai pendidikan, khususnya kondisi mutu guru di Indonesia, kami rutin mengadakan diskusi di mailing list āCentre for The Betterment of Education (CfBE)ā yang dibuat oleh sobat ambyar saya Hadratus Syeh Ir. Ahmad āNanangā Rizali. Kami kemudian menggagas pembentukan Indonesian Teachers Club atau Klub Guru Indonesia (KGI). Pada 21 Juni 2006, Klub Guru digagas sebagai wadah bagi guru untuk meningkatkan mutu dirinya sendiri melalui berbagai kegiatan pelatihan. Di sini, guru-guru juga berbagi ilmu antarmereka sendiri. Klub Guru kami harapkan menjadi wadah bangkitnya reformasi pendidikan. Para selebriti Klub Guru waktu itu antara lain: Prof.Dr.Muchlas Samani, Ir.Ahmad Rizali,MSc.,Dr.Indra Djati Sidi, Dr. Gatot HAri Priowirjanto, Prof.Dr.Amat Mukhadis, Dra.Sirikit Syah,MA., Bambang Sumintono.PhD.,Dr.Shofwan,MSi dan lain-lain. Pada 29 Agustus 2006, KGI dideklarasikan. Sopyan Maulana Kosasih, guru SMP Madaniah, Parung, Bogor, saat itu dipercaya menjadi motor penggeraknya. Cak Nanang dan saya kemudian mengajak Sampoerna Foundation dan Provisi Education untuk menyelenggarakan āKonferensi Guru Indonesia 2006ā pada bulan November 2006. Mendiknas Dr. Bambang Sudibyo yang membuka dan sekaligus menjadi Keynote Speaker pada acara tersebut sangat terkesan dengan KGI 2006 ini, dan berharap agar kegiatan ini menjadi kegiatan rutin tahunan. Untuk kisah ini sila baca tautan di bawah.
Klub Guru inilah yang kemudian bermetamorfose menjadi Ikatan Guru Indonesia pada tahun 2009. Bagaimana kisahnya bisa dibaca pada catatan Cak Nanang yang menuliskannya dengan santuy di tautan di bawah. Di sini kita bisa lihat peran para pendiri Klub Guru dan IGI seperti Mas Ihsan, Sirikit, Dhitta Puti, Cak Habe, Mas Yasin, Mas Bambang Sumintono, Bu Yuli, Bu Dedeh, Cak Sururi Azis, Pito Sujatmiko, dan bagaimana kami berupaya untuk menggandeng petinggi Kemendiknas, yaitu Pak Bagiono Sumbogo, Mas Indra Djati Sidi dan Mas Gatot Hari Priowirjanto.
Untuk melancarkan āseranganā kritik kami ke pemerintah secara āmassif terstruktur dan sistematisā maka kami sepakat untuk menulis buku. Buku yang berhasil kami tulis adalah : Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional. Yang menulis Cak Nanang, Pak Indra Djati Sidi, dan saya sendiri. Berbagai kritik kami tulis di sini a.l : Mutu dan Kompetensi Guru, Anggaran Pendidikan, Citra Sekolah Kejuruan, Paradigma dan Revolusi Pendidikan, Sertifikasi Guru, Sekolah Gratis, Ujian Nasional, Pendidikan Anti Korupsi, Perpustakaan Sekolah dan Budaya Membaca, Sekolah Bertaraf Internasional dan Kelas Internasional, dll.
Saya sendiri sangat kritis pada tiga hal dalam pendidikan waktu itu, yaitu tentang Ujian Nasional, Sekolah Bertaraf Internasional, dan Budaya Membaca.
Saya banyak menulis kritik yang sangat tajam tentang Ujian Nasional. Salah satunya bisa dilihat di tautan di bawah. Dalam usaha untuk menghapus Ujian Nasional kami juga menulis buku dengan judul `ā Buku Hitam Ujian Nasionalā diterbitkan oleh Resist Book di tahun 2012. Yang ikut menulis adalah : Ahmad Rizali, Doni Koesoema, Heru Widiatmo, Elin Driana, Iwan Pranoto, Ahmad Muchlis, Darmaningtyas, Prof Soedijarto, Satria Dharma, HB Arifin, Utomo Dananjaya, Dhitta Puti Sarasvati, Suparman, Daniel M. Rosyid.
Buku ini begitu diterbitkan langsung saya serahkan sendiri kepada Pak Muhammad Nuh, Mendiknas waktu itu. Pak Nuh ketawa-ketawa saja meski tahu buku itu kritik keras pada kebijakan Kemendiknas. Lha Pak Nuh itu satu jamaah dengan saya di masjid Rungkut di mana kami tinggal se kompleks.
Meski kami terus menerus menggempur Ujian Nasional tapi gagal terus. Nadiem Makarim yang semula menggebu-gebu juga ternyata menjanjikan untuk menghapusnya nanti pada tahun 2021. Lha kok ndilalah Cak Kopit Songolas datang dan menghancur leburkan Ujian Nasional terakhir. Saya tidak tahu apakah kami harus berterima kasih pada pandemi ini karena sepuluh tahun kami berusaha keras menggugat Unas ini tapi gagal terbentur oleh Pak JK terus. Cak Kopit Songolas datang-datang tanpa ba bi bu langsung menghapus UNAS. Jadi pingin ngakak juga membayangkannya.
Saya juga mengritik keras soal Sekolah Bertaraf Internasional. Begitu kerasnya sehingga saya dimusuhi oleh para kasek sekolah RSBI se Indonesia. Pak Indra Djati Sidi sampai harus mengupayakan agar saya bisa bertemu dengan mereka dalam sebuah acara dialog (dan saya diberi honor). Asemā¦! Diterima kagok gak diterima eman. Ditampani aelahā¦! Tulisan saya tentang RSBI ini bisa dibaca di website saya.
Saya juga menggugat rendahnya kemampuan baca siswa kita. Literasi bangsa kita lemah sekali dan harus ada upaya untuk meningkatkannya. Saya beruntung berkenalan dengan Mas Anies Baswedan waktu masih jadi Rektor Paramadina. Jadi begitu beliau jadi Mendikbud saya bisa mengusulkan program saya Gerakan Literasi Sekolah (GLS) menjadi program resmi Kemendikbud. Sila baca kisahnya di bawah juga.
Jadi pemerintah itu memang perlu dikritik. Pemerintah tanpa kritik itu apalah artinya. Sungguh sepi dunia ini. Syukur-syukur kalau kritikan kita itu bisa kita turunkan menjadi sebuah aksi yang benar-benar bisa mengubah keadaan. Jadi kita tidak hanya omdo atau kakehan teori tapi ndak pernah turun ke lapangan dan melakukan sesuatu secara kongkrit. Selain itu tolong bedakan apa itu kritik dan apa itu hujatan. Kadang-kadang kita mengira hujatan, caci maki, dan ungkapan kemarahan dan kata-kata kasar kita sebagai kritik. Tidak. Itu sama sekali berbeda.
Saya selalu mendorong para guru untuk MEMBACA DAN MENULIS karena jika guru membaca maka wawasannya akan meluas dan jika menulis maka pemikiran dan aspirasinya tersalurkan. Jangan hanya puas menulis komentar-komentar pendek di media massa karena itu tidak akan mengembangkan kemampuan kita berargumentasi dengan baik. Salah-salah malah hanya ungkapan kemarahan dan kebencian yang keluar dulu. Ide yang mau disampaikan malah macet.
Sekian dulu poro sederek. Tanpa terasa kita sudah memasuki hari puasa ke 14. Saya bahkan sudah lupa sejak kapan saya Stay at Home dan tidak ke mana-mana. Semoga Allah selalu melindungi kita dan melimpahkan kasih dan sayangNya pada kita semua. Amin!
Surabaya, 7 Mei 2020
TAUTAN :