Suatu kali saya pernah diajak seorang famili ke rumah temannya di Malang (belakangan saya baru tahu kalau itu pacarnya setelah mereka menikah). Temannya ini kuliah di Malang dan tinggal bersama pamannya yang pensiunan sebuah perusahaan asing di Kalimantan Timur. Kayaknya pamannya ini seorang duda karena mereka hanya tinggal bertiga bersama seorang pembantu. Rumahnya besar dengan taman depan yang luas di daerah perumahan elit. Perabotannya meski pun cukup mewah ruang tamunya praktis saja karena yang tinggal cuma mereka bertiga karena tidak ada nyonya rumah. Tipikal rumah bujangan yang sepi hiasan. Tipe rumah orang kaya sih tapi tidak mewah. Saya tidak tahu seberapa kaya Si Paman ini dan menduga-duga.
Saat makan siang Si Paman ini minta agar menu makan siangnya dibawa ke teras depan di mana ia duduk-duduk sambil baca koran. Apa menu makan siangnya? Ternyata seekor ikan goreng ukuran besar setelapak tangan. That’s all. Ikan itu ia makan begitu saja tanpa nasi atau pengiring lainnya. Digado, kata orang Jawa. Bagi saya menggado ikan sebesar itu tanpa nasi adalah sesuatu yang WOW sekali. Saat itulah saya baru sadar bahwa Si Paman ini benar-benar orang kaya. Makan ikan sebesar itu tanpa nasi adalah ciri orang yang kaya benar bagi saya.
Mengapa? Karena saya datang dari keluarga besar yang hidup pas-pasan (pas ada yang bisa dimakan ya dimakan kalau pas tidak ada yang dimakan ya tidak makan). Biasanya kalau pas ada lauk ikan di rumah maka ikan itu akan dipotong-potong dan setiap dari kami (saya bersaudara 11 orang) akan mendapat seiris untuk kami makan dengan nasi seberapa pun banyaknya. Nasi mungkin bisa tambah kalau pas ada berlebih tapi lauk ikan itu cukup langka dan mahal untuk keluarga kami. Jadi kalau dapat bagian seiris ya silakan dimakan sedikit demi sedikit sampai habis nasinya. Belakangan ketika ekonomi keluarga kami membaik potongan ikan yang kami dapatkan juga semakin lebar. Tapi tidak pernah kami makan ikan dengan potongan yang besar, apalagi sampai seekor sendirian. Itu hanya akan terjadi kalau kami nanti sudah benar-benar kaya, demikian kata saya dalam hati.
Lha ini tiba-tiba saya melihat Si Paman pensiunan makan ikan sebesar itu sendirian tanpa nasi samasekali. Hanya makan ikan saja. What a luxury…! Itu sungguh pemandangan yang sangat provokatif bagi saya waktu itu. Saat itu juga saya bertekad untuk bisa kaya agar bisa makan ikan saja satu ekor tanpa nasi. Saya harus bisa…! Demikian kata saya dalam hati.
Sekarang ini saya juga sudah pensiun. Alhamdulillah saya juga sudah punya rumah lumayan besar dengan perabotan ruang tamu yang cukup ramai. Kan saya punya istri yang suka menghias rumah.
Bagaimana dengan urusan makan seekor ikan besar tanpa nasi? Bukankah itu cita-cita saya ketika masih muda?
Alhamdulillah saya juga sudah bisa makan ikan seekor full dan tidak perlu saya bagi berdua dengan istri saya. Meski demikian ternyata saya masih belum bisa mengejar ‘standar kekayaan’ Si Paman tersebut. Mengapa? Ternyata saya masih belum bisa meninggalkan makan nasi meski sekarang ini saya selalu minta porsi nasi separoh kalau makan di luar. Jadi meski pun saya sudah bisa makan ikan bandeng rica seekor sendirian tanpa harus berbagi dengan siapa pun tapi masih tetap juga harus ditemani oleh nasi. Menggado ikan saja tanpa nasi itu terasa terlalu borjuis dan semugih. Ada sesuatu yang tidak rela di dalam hati saya. Dasare bekas wong prihatin yo rodok angel diajak sugih tenanan. Istri saya malah yang sudah lama tidak lagi makan nasi karena ikut diet Ketofastosis yang no carbo diet. Dia sih makan soto, sate, gule, kambing guling, apa saja sudah tanpa nasi. Digado begitu saja olehnya. Jadi istri saya sudah benar-benar kaya seperti standarnya Si Paman sedangkan saya baru bisa setengah kaya. Nasib…!
Tapi saya tetap bertekad suatu hari saya akan bisa mengejar standar kekayaan Si Paman Pensiunan tersebut. Tunggu saja saatnya…!
Surabaya, 28 Mei 2018
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com