Oleh: Satria Dharma
Membaca buku karya pak Satria Dharma ini, secara tidak langsung mengajak kita untuk memahami pikiran padangan pak Satria Dharma terhadap beberapa issu yang berkembang 1-2 tahun terakhir ini, hususnya pada tiga issu pokok menurut saya, meski ada beberapa tema lain yang juga menarik untuk ditelaah oleh pembaca.
Buku ini, merupakan kumpulan tulisan di blog, dan media sosial dalam kurun waktu tahun 2016 – 2017, sehingga bagi pengikut (followers) ”madzhab” pemikiran pak Satria di Media Sosial (Facebook) seperti saya, secara garis besarnya bisa memahami konstruksi pemikiran dan pandangan pak Satria yang dikumpulkan kembali dalam buku ini. Tetapi, merespon permintaan ibu Furaidah, saya ingin mencoba “menceritrakan” secara singkat apa yang ingin ditampilkan oleh pak Satria dalam karyanya ini, tentu ini sifatnya pendapat saya, dan itu boleh, meski kemungkinan tepat atau tidak tepat bisa jadi karena namanya pendapat, dan saya yakin pak Satria akan bisa menerimanya, karena sebenarnya dia juga bersikap seperti itu saat mengkritisi pandangan Pak Rocky Gerung di ILC, yang menganggap ungkapan pak Jokowi: ”Jangan membaca “Jokowi Undercover” karena buku itu tidak ilmiah” adalah Hoax, karena mengutip penjelasan pak Tito (Kapolri), yang bukan akademis (Hal 225-230).
Saya mencoba menceritrakan isi buku ini tidak dengan menjelaskan secara runut pikiran-pikiran pak Satria dari halaman ke halaman, tetapi cenderung menceritrakannya dalam tema besar yang saya fahami sebagai postulat pemikiran beliau dalam buku ini. Untuk itu, mohon pencerahan dari salah satu suhu (guru) saya dalam membuat review buku, mas Handoko bisa meluruskannya.
Seperti yang saya singgung di awal, bahwa ada tiga tema penting yang ingin dipesankan oleh pak Satria dalam bukunya ini, yaitu:
Pertama, Tentang pentingnya program Literasi dalam arti luas. Program ini telah menjadi “tema besar” bahkan telah menjadi “identitas” bagi pak Satria Dharma itu sendiri. Kalau membaca cuplikan berita yang memuat aktifitas pak Satria terkait kegiatan mendorong Literasi untuk anak bangsa di nusantara, dari Aceh sampai Papua dia jalani tanpa merasa penat dan letih, hanya untuk mendorong gerakan literasi dengan berbagai bentuknya di sekolah bisa jalan dan bisa memberikan hasil yang bisa membanggakan, sekaligus merupakan dasar (pondasi) dari kemajuan suatu bangsa, karena hanya generasi yang rajin membaca yang memiliki wawasan dan pandangan yang luas, dan hanya mereka yang rajin membaca, memungkinkan untuk mengkonstruk ulang hasil bacaan dalam bentuk tulisan yang akan menjawab problema dan tantangan masa depan bangsa itu sendiri. Tulisan yang ada di buku ini, tentu tidak bisa mencover apa yang telah dilakukan oleh pak Satria dalam program literasi ini, tetapi buku ini cukup memberikan beberapa informasi apa dan bagaimana mendorong program literasi tersebut, baik dalam tingkat individu, di sekolah, di rumah tangga dan dalam masyarakat.
Tentang program Literasi ini, pak Satria sengaja menceritrakan sedikit perjalanan dia saat mengunjungi beberapa kota di Aceh, lalu ke Semarang, kemudian ke Kepulauan Selayar (Sulsel). Pesan yang saya tangkap, pak Satria ingin menegaskan bahwa Literasi itu penting, dan kita semua punya tanggungjawab untuk mendorong budaya literasi itu sendiri. Itu sebabnya, rihla literasi yang yang dijalani, tidak hanya menyasar sekolah, tetapi juga kepada stakeholder pengambil kebijakan, kepada pemerintah daerah, bahkan kepada masyarakat luas. (hal 73-88)
Kenapa itu dilakukan, dan siapa yang mensponsori…?
Pak Satria secara singkat menceritrakan kegundahannya melihat rendahnya minat baca anak bangsa ini, yang mulai muncul sekitar tahun 1990, dan ini yang membuat dia bertekad untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi anak bangsa. Dia memulai dengan membuat sebuah program yang dikenal dengan Gerakan Indonesia Membaca (GIM), meski dengan sponsor sendiri (biaya pribadi), dan kemudian menjadi booming dengan program literasi, yang suga telah diadopsi dan dipayunmgi oleh Kemendikbud saat kawan karibnya pak Anies Baswedan jadi Mendikbud. Pak Satria menegaskan dalam buku ini, bahwa jika dia ditanya mengapa dia getol mempromosikan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), maka dia menjawab singkat, “itu panggilan jiwa saya untuk bakti pada negara.” Tetapi, jawaban ini juga ingin menegaskan, bahwa dia telah selesai akan dirinya, dia tidak butuh yang lain, dia butuh bagaimana dirinya bisa memberi manfaat kepada bangsanya, dan sudah barang tentu juga agamanya. (Hal. 76-77)
Dalam bagian ini juga, pak Satria menceritrakan beberapa bentuk program literasi yang telah dilakukan, dan ini bisa menginspirasi sekolah, Institusi, lembaga pemerintah dan swasta, bahkan di level pemerintah daerah sampai pemerintah pusat, seperti:
Bagaimana mendorong dan meyakinkan daerah tentang pentingnya literasi. Dia mencontohkan keberhasilan ibu Tri Risma Harini, Walikota Surabaya yang berhasil menjadikan kotanya sebagai kota literasi. Pemerintah kota tidak hanya mendorong lembaga pendidikan formal untuk penguatan budaya baca di sekolah, tetapi juga mensupport masyarakat untuk peduli p[ada literasi. Saat ini di Surabaya sudah lebih 1500-an Taman Baca Masyarakat (TBM) yang bisa diakses oleh warga. Lokasi TBM ditempatkan di Balai-balai RW, Kelurahan, Kecamatan, Taman kota, rumah susun, puskesmas, sekolah, terminal dan panti sosial, serta ditunjang oleh layanan perpustakaan keliling di 64 lokasi. Banyak kebijakan yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya untuk mendukung program ini, seperti program Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Akseliterasi, Program Orang tua Peduli, Lomba kampung Literasi, Tantangan membaca 1000 halaman dalam lima bulan, dan yang lainnya, yang secara singkat ditulis dalam buku ini. (hal. 93-98)
Buku ini juga menyinggung tentang program SAGUSABU, milik Media Guru dan SAGUSAKU, program IGI (Satu Guru Satu Buku), yang dianggap sangat mendorong budaya baca dan budaya tulis dikalangan guru. (hal. 107) Kenapa itu penting…, tentu jawabannya sederhana menurut saya. Karena hanya guru yang telah membudayakan dan mewajibkan dirinya untuk selalu membaca (hanya guru yang membaca yang bisa menulis), yang dapat membimbing, menginspirasi dan mendorong minat baca siswa (murid)-nya. Guru yang tidak punya minat baca, jangan berharap besar untuk bisa membuat siswanya jadi rajin membaca.
Di bagian akhir buku ini, kembali pak Satria ingin menegaskan bahwa dirinya juga sangat intens membaca berbagai buku dengan berbagai topik. Meski dia hanya “melampirkan” beberapa hasil review buku yang dia baca, karena pada buku sebelumnya (buku-11 yang dia terbitkan bulan Mei 2017, “Book Review: Cara Menikmati Buku dan Mengikat Ilmu”, sebagai kumpulan resensi buku yang dia baca di tahun 2017. Namun pada buku ini dia juga kembali mempertegas, bahwa untuk bisa mendorong orang lain membaca, maka kita juga mesti mencontohkan (menteladankan) untuk rajin membaca. Kita tidak bisa meminta atau memerintahkan orang rajin membaca, sementara kita sendiri “malas” membaca.
Tema kedua dalam, buku ini adalah pandangan dan faham ke-Islaman yang dianut dan diyakini oleh pak Satria. Dalam pandangan saya, pak Satria adalah sosok yang telah MEMBACA (iqro’) ajaran Islam dengan baik, tidak sekedar “mengaji”, dalam arti membunyikan/melafalkan huruf, (tentang istilah ini silahkan baca tulisan dalam buku ini di halaman 108-112). Pak Satria menyun tema-tema dalam bagian kedua ini, dengan diawali dengan tulisan yang menggelitik, “Mana yang lebih penting: Imanmu atau Prilakumu?” tulisan ini menceritrakan interaksi pak Satria dengan beberapa orang (tetangga dan teman), ada yang Pendeta (non Muslim), ada dari suku yang selama ini dilabeli kasar, ada yang ‘muslim taat”, ada yang muslim KTP, dst…, dan kesimpulan yang ingin disampaikan bahwa orang-orang disekitar kita, pada prinsipnya tidak memerlukan agama dan keberimanan kita, tetapi mereka memerlukan sikap, perilaku dan tindakan kita yang menggambarkan sebagai orang berakhlaqul karimah, sebagai manifestasi dari keber-Islaman kita.
Pak Satria juga nampaknya mencoba merespon “diskusi panas” seputar pemaknaan kata “awliya’” dalam surat al-Maidah, ayat 51, yang oleh para politisi pengusung “politik identitas”, memaksakan maknanya hanya satu (tunggal), yakni pemimpin, dan pak Satria menempatkan dirinya sebagai pengikut para mufassir besar dinegeri ini, semacar Prof. Quraish Shihab dan para ulama kredible lainnya, yang memahami bahwa kata “awliya’” dalam ayat tersebut tidak bia diterjemahkan dengan satu makna saja, juga tidak bisa difahami tanpa membaca konteksnya. (hal. 128-132). Bahkan saat berbicara tentang konteks itu sendiri, pak Satri mencoba menjelaskan bahwa tidak semua ayat mesti dimaknai sesuai dengan konteks disaat ayat itu turun, seperti ayat tentang pembagian pampasann perang, di mana nabi berhak mendapatkan seperlima dari harta itu (al-Anfal: 41). Hal. 133
Dalam tulisan-tulisan selanjutnya, pak Satria mengkritisi sikap beragama yang cenderung formalistik, lalu mengabaikan subtansi, atau mereka yang beragama dengan memuja simbol dan mengenyampingkan makna yang sifatnya hakikat, atau beragama dengan memaknai teks sebagai hasil “ngaji”, dari pada hasil “iqro’”. Sebagai contoh adalah kritik dia terhadap mereka yang memaknai teks hadits Rasulullah Saw, tentang “menyerupai suatu kaum” secara serampangan dan asal kena, dia juga mengkritisi sikap dan pandangan Taufiq Ismail, yang menganggap lagu “Padamu Negeri”, itu bisa membawa umat kepada kesyirikan (mensekutukan Tuhan). Hal. 135-147. Demikian pula kritik dia terhadap sikap dan pandangan masyarakat yang lebih getol menyebarkan kebencian, ketimbang menebarkann kedamaian, dan beberapa issu lain yang diangkat…, tetapi pada hakikatnya dia ingin mempertegas bahwa hakikat keber-Islaman itu adalah kasih-sayang pada semua makhluk (rahmatan lil-alamin), yang dbuktikan dalam ucapan, pikiran, pandangan, sikap dan perilaku yang baik yang berakhlaqul karimah, yang tidak hanya dalam hubungannya antara sesama penganut agama (Islam), tetapi kepada semua manusia, bahkan kepada semua makhluk Tuhan di muka bumi. Dengan demikian, mereka yang mengaku membela Islam, semestinya menampakkan wajah Islam yang damai dan sejuk tersebut, bukan justru mereka yang memperlihatkan wajah Islam yang garang, marah, dendam, tidak bersahabat.
Bagian Ketiga dari pembacaan saya dari buku ini adalah terkait issu politik, khususnya dalam menyikapi Pilkada DKI Jakarta, dan terkait dengan konsep negara khilafah yang diusung oleh HTI. Terkait dengan pelaksanaan Pilkada Jakarta, saya ingin mengingatkan kembali apa yang saya singgung dibagian terdahulu, bahwa antara pak Satria dan pak Anies, adalah dua sahabat karib, yang dahulu bergerak bersama dalam upaya mencerdaskan anak bangsa, pak Satria dengan Gerakan Indonesia Membaca (GIM), dan pak Anies dengan Program Indonesia Mengajar. Ini penting, agar jelas mengalamatkan sikap pak Satria dalam menyikapi Pilkada Jakarta kemarin. Pak Satria sebagai warga Surabaya, tidak memiliki hak pilih di Pilkada DKI, dia juga tidak memiliki hubungan khusus dengan pak Ahok maupun pak Djarot, bahkan dia sangat dekat secara personal dengan pak Anies. Dengan demikian, kita bisa memahami, bahwa kritik yang dilakukan pak Satria seputar pelaksanaan Pilkada DKI, bukan kritik dia terhadap calon tertentu, tetapi kritik dia terhadap cara-cara orang memenangkan dukungannya. Yang dikritik pak Satria dalam buku ini, adalah mereka yang “menjual agama”, untuk memenuhi hasrat dan ambisi politiknya. Bagian ini tidak bisa dipisahkan dengan sikap dan pandangan keberagamaan yang dianut dan diyakini pak Satria, seperti disinggung di atas. Masalah kepemimpinan, adalah hal yang memungkinkan diberi kepada siapa saja yang dianggap mampu dan bisa mensejahterakan rakyat, tanpa melihat suku, bangsas dan agama seseorang, karena secara konstitusi negara kita telah memberi ruang yang sama bagi semua anak bangsa yang telah menjadi warga negara Indonesia. Bagi pak Satria, tiga Paslon yang maju waktu itu, adalah orang-orang terbaik, luar biasa dan bisa menjadi Gubernur dan Wagub yang hebat. (hal. 243). Yang keliru, adalah mencaci-maki, memfitnah, dan menolak seseorang hanya karena alasan suku (China), karena alasan agama (Kristen), bahkan mengental istilah pribumi dan non-pribumi, dst…, yang justru berpeluang meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di satu pihak, dan dipihak lain bertentangan dengan keyakinan Islam yang rahmatan lil-alamin tersebut.
Dan yang juga banyak diulas pada bagian ini adalah sikap dan pandangan pak Satria tentang gagasan sistem pemerintahan “khilafah” yang diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bagi pak Satria, HTI itu (berdasarkan penjelasan dalam website mereka), adalah organisasi (partai) politik, yang menjadikan Islam sebagai Jargon mereka, bahkan cenderung menarik makna luas Islam, menjadi hanya sebatas HTI saja. Itulah sebabnya, saat Polisi, Ansor (NU), Mendagri, Menkumham, Menkopolhukan (pemerintah) menolak HTI, mereka menganggap mereka itu menolak Islam, pada hal Islam itu bukan HTI. Menolak HTI, tidaklah berarti menolak Islam, menolak HTI, sama saja dengan menolak PKI sebagai sebuah partai yang dilarang hidup dan mengembangkan idiologi mereka di Indonesia. (Hal 287-293)
Pak Satria mengajukan sebuah pertanyaan, dan dia jawab sendiri, “Mengapa HTI itu berbahaya bagi Bangsa, Negara dan Agama?”. Dengan mengutip strategi tentara Korea Utara dalam menghacurkan mental dan semangat hidup tahanan mereka, dia menyebutkan bahwa taktik HTI mirip dengan apa yang dilakukan oleh tentara Korea. Pertama, mereka mendorong agar sesama warga muslim untuk saling bermusuhan, danmenuduh pemerintahan yang ada sebagai pemerintahann yang “thagut” (kafir). Kedua, membuat umat Islam yang ada di Indonesia ditanamkan rasa bersalah, karena tidak terlibat dalam perjuangan menegakkan khilafah, dan matinya akan mati jahiliyah. Ketiga, menghilangkan kepatuhan dan ketaatan pada pemerintah, yang dianggap pemerintahan “thagut” (kafir), serta diajak untuk melakukan pembangkangan (makar). Keempat, mereka terus-menerus mendiskreditkan pemerintah, dengan memberitakan hal-hal yang buruk (hasil rekayasa atau pelintiran), sebagai upaya menjelaskan kesalahan pilihan sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa ini, sehingga mesti diganti dengansistem syari’at. Kelima (tambahan), bahwa yang paling buruk adalah karena mereka menggunakan kedok dakwah dan agama yang mereka selewengkan untuk menipu umat yang tidak sadar akan keburukan mereka (Hal. 308-309). Saking intensnya pak Satria terhadap tema ini, dia menulis dalam buku ini 8 topik yang membahas khusus tentang HTI dan “kesesatan”-nya.
Dibagian awal tulisan ini, sebenarnya juga kaya akan pesan moral yang ingin disampaikan oleh pak Satria, yang diberi tema “Serba-Serbi”. Tetapi masih sealur dengan pikiran dan pandangan yang kami catat di atas. Tulisan pada bagian ini merupakan respon dan catatan dia atas beberapa peristiwa, baik yang dia lihat, dia dengar, maupun yang dia rasakan langsung. Dia bercerita tentang apa itu HOAX, tentang bagaimana menghargai dan mengapresiasi keberbedaan budaya, kebiasaan, perasaan dan pandangan masyarakat, pentingnya membangun kepedulian antar sesama secara tulus, serta bagaimana memperbaiki mindset kita dalam melihat suatu masalah.
Ada juga beberapa tulisan yang sifatnya menggelitik, seperti tulisan dibagian pertama dari buku ini “Legacy”, yang sebenarnya menggelitik kita, bahwa diusia kita sekarang, apa yang telah kita siapkan untuk tinggalkan (wariskan) kepada generasi kita. Pak Satria, tanpa maksud menyombongkan diri, dia menyebutkan beberapa warisan yang telah dia siapkan untuk generasinya, tentu dengan maksud untuk “menggelitik” dan sekaligus memotivasi pembaca. Pak Satria menyebut yang pertama, adalah upaya yang lagi digarap saat ini secara serius, yakni mendorong tetap tumbuhnya minat dan budaya literasi bagi anak-anak bangsa, yang kedua, dia telah mendirikan beberapa yayasan pendidikan dan sekolah-sekolah untuk generasi bangsa, di Balikpapan, Samarinda, Bali maupun Bandung. Dan yang ketiga, adalah, dia telah mewariskan sebuah organisasi guru yang dia bentuk, Ikatan Guru Indonesia (IGI) bersama kawan-kawannya (Hal. 3-6). Saya juga ingin menambahkan, bahwa warisan lain yang tidak kalah, adalah dia telah meninggalkan (sampai saat ini) 12 buku yang telah diterbitkan, untuk bisa dibaca, bisa menyegarkan akal dan pikiran generasinya.
Sebagai penutup catatan saya, saya ingin mengucapkan Selamat ulang tahun ke-60 bagi pak Satria Dharma. Buku ini sengaja ditulis dan diterbitkan untuk mengingatkan dirinya dan pembaca, bahwa kita tidak bisa melawan waktu, kita tidak bisa memutar balik jam untuk memudahkan kita kembali, tetapi kita bisa memaknai perjalanan umur kita, hari-hari kehidupan kita dengan sesuatu yang lebih bermakna, sehingga wajah, rambut dan hal-hal yang sifatnya fisikal lainnya bisa berumur. Tetapi semangat, keyakinan dan tekad kita akan selalu segar dan muda. Dalam pandangan saya, pak Satria, putra Bugis yang lahir dan besar di luar Sulawesi, justru masih sangat segar dan menyegarkan, karena hidupnya dimanfaatkan untuk memberi makna dan menyebarkan kebermanfaatan bagi sekeliling dia. Banyak hal, saya berguru pada dia, tanpa mesti didaftar sebagai siswanya, termasuk bagaimana merawat cinta-kasih dengan keluarga, sehingga hidup penuh dengan ketulusan, kejujuran, kasih-sayang dan kebahagiaan.
Makassar, 8 Januari 2018