
Seorang teman punya rencana yang dahsyat ketika pensiun. Ketika pensiun ia mengambil semua uang pensiunnya dan pergi bersama WIL-nya. Tentu saja istri dan anaknya kebingungan dan sangat sedih mengetahui hal ini. Jelas bahwa ini adalah sebuah pukulan yang sangat berat bagi anak dan utamanya istrinya.
Ketika mendengar berita ini saya ikut merasa terpukul dan sedih. Jelas ini bukan sebuah kisah yang indah dari masa pensiun yang biasanya ditunggu-tunggu oleh keluarga. Ini sebuah tragedi…
Tapi saya tidak akan menghakimi teman saya tersebut. Saya tidak mendengar sendiri kisahnya dari si istri dan belum mendengar kisah dari versi sang suami. Dia juga bukan teman pertama yang memilih pergi dari istrinya dan hidup dengan wanita lain. Setiap orang punya kisah berdasarkan versinya masing-masing. Tapi kejadian ini jelas membuat saya berpikir berhari-hari. Bagaimana bisa seorang suami dan bapak bisa pergi begitu saja meninggalkan istri dan anak-anaknya demi seorang wanita lain? Begitu besarkah godaan wanita tersebut sehingga ia mau mengorbankan anak dan istrinya? demikian pikir saya.
Saya MUNGKIN tidak akan pernah bisa melakukan hal tersebut, kata saya dalam hati. Pergi dengan wanita lain dengan meninggalkan keluarga adalah hal yang unthinkable. Pertama, saya adalah ‘family man’, laki-laki yang sangat mencintai dan terikat dengan keluarga. Keluarga adalah ‘top priority’ saya. Semua yang saya lakukan rasanya adalah untuk keluarga. Secara psikologis mungkin saya lebih bergantung pada keluarga ketimbang sebaliknya. Saya selalu berbahagia berkumpul dengan anak dan istri saya. Bahkan salat berjamaah dengan keluarga di rumah setiap saat adalah kenikmatan yang selalu saya syukuri. Apalagi kalau bisa rekreasi bersama. Saya bahkan tidak bisa pergi bersenang-senang sendirian tanpa istri saya. Lha wong kalau ditinggal istri pergi beberapa hari maka saya klepek-klepek. Makan tak nyenyak tidur pun tak lahap. Begitu salah, begini salah.
Jika ada teman yang mengajak reunian ke luar kota tapi tanpa pasangan maka saya akan memilih tidak ikut. Mending saya bayar dobel ketimbang berangkat sendirian tanpa istri. Istri adalah sumber kebahagiaan saya. Saya tidak pernah butuh ‘me time’ karena kebutuhan psikologis saya selalu terpenuhi dengan ‘us time’. Berjalan berdua pun kami bergandengan dan menikmati pegangan tangan masing-masing. Bahkan di tempat tidur kami saling berpegangan tangan tanpa pernah merasa bosan. Istri adalah garwo saya, sigaring nyowo, separoh dari jiwa saya. Tanpanya maka hidup saya jelas tidak ada artinya. Anak dan istri saya adalah sorga saya. Bagaimana mungkin saya akan meninggalkan sorga saya? 🙏
Kedua, saya tidak akan mampu menanggung rasa sesal dan rasa bersalah jika saya melakukan hal tersebut. Jangankan dengan keluarga, melakukan kesalahan pada orang lain pun selalu saya sesali. Membuat seseorang kecewa pada tindakan saya saja bisa membuat saya merasa bersalah berkepanjangan. Dan itu sulit untuk saya lupakan. Saya akan berusaha keras untuk menebus rasa bersalah tersebut dengan satu dan lain cara. Bahkan kepada para wanita yang pernah hadir dalam hidup saya sebelum menikah saya menyimpan rasa bersalah. Saya pernah memberi mereka harapan dalam hati ketika bersama saya tapi harapan itu tak mampu saya wujudkan. Bagi saya itu cukup membuat saya merasa bersalah meski pun kami sepakat bahwa perpisahan adalah yang terbaik. Tapi perasaan bersalah saya tetap muncul. Apalagi jika saya tahu bahwa kehidupan para mantan pacar saya tersebut kurang berbahagia. It hurts me as well. Saya selalu berharap agar para mantan saya ini hidup jauh lebih berbahagia dengan pasangan masing-masing. Jadi bayangkan jika saya sampai membuat kecewa anak dan istri saya yang telah memberikan saya begitu banyak kebahagiaan dalam hidup saya. Tidak mungkin saya akan bisa menanggungkan rasa sesal dan bersalah dalam hidup saya jika saya melakukannya. I’d rather die… 🥴
Ketiga, saya tidak bisa seperti teman saya yang mengambil uang pensiunannya yang ratusan juta tersebut lalu pergi meninggalkan anak istri tanpa memberi mereka dana untuk hidup selanjutnya. Itu terlalu kejam bagi saya. Lebih baik saya yang hidup terlunta-lunta ketimbang anak dan istri. Bahkan semua harta sudah saya atas namakan istri agar dia tidak kerepotan jika saya meninggal lebih dulu. Saya selalu mengira bahwa saya akan meninggal lebih dulu. Kan saya memang jauh lebih tua ketimbang istri. Saya ingin agar anak dan istri saya tidak kekurangan suatu apa pun ketika saya tinggal suatu saat kelak. Menyediakan segala sesuatunya untuk anak dan istri bahkan ketika saya sudah tidak ada adalah cara saya berbahagia. 🙏
Keempat, saya tidak akan pernah mengambil uang pensiun dan kemudian pergi dengan wanita lain. Soalnya saya tidak pernah dapat uang pensiun dan tidak ada wanita lain yang akan saya ajak pergi untuk menikmati uang pensiun itu. Lupakan saja…. 😎
So, I cannot do that for sure… 😁
Surabaya, 15 Februari 2022
Satria Dharma