Kami mendarat di Bandara Mohammed V di Casablanca, Maroko pagi hari pada pukul sembilan pagi setelah perjalanan sepanjang 30-an jam dengan transit dan urusan imigrasi. Begitu keluar dari bandara kami langsung disambut dengan senyum manis Mas Alvian, mahasiswa S-3 Universitas Al-Karawiyin yang telah 8 tahun tinggal di Maroko. Dia dapat beasiswa dari PBNU yang bekerjasama dengan pemerintah Maroko. Ia tinggal di Rabat bersama istrinya yang baru saja menyelesaikan kuliah S2-nya dan seorang anak berusia setahun lebih. Mas Alvian telah menyewa sebuah van Hyundai dengan sopirnya Saeed yang ramah.
Maroko adalah negara yang terletak paling ujung barat di dunia Arab dan di utara Afrika. Jarak Maroko hanya sekitar 13 km dari Eropa, dengan melintasi Selat Gibraltar. Jika kita berdiri di pantai Maroko paling utara katanya kita bisa melihat mobil-mobil yang berjalan di sepanjang pantai Spanyol. Kota-kota di Maroko umumnya memiliki masjid-masjid dengan menara indah yang tanpa kubah, daerah pasar tradisional yang khas, benteng (kasbah) dan bangunan-bangunan abad pertengahan yang eksotis.
Maroko memiliki populasi hampir 34 juta jiwa dan luasnya 446.550 km2 (172.410 sq mi). Ibukotanya adalah Rabat. Kota terbesar adalah Casablanca. Kota-kota besar lainnya adalah Marrakesh, Tangier, Tetouan, Salé, Fes, Agadir, Meknes, Oujda, Kenitra, dan Nador. Maroko memiliki sejarah yang berbeda dengan negara-negara tetangganya karena kebudayaan Maroko merupakan campuran antara kebudayaan Arab, Eropa, dan Berber. Jadi semacam percampuran antara Lawrence of the Arabia dengan Conan the Barbarian.
Kalau Anda kesulitan membayangkannya ya bayangkan saja percampuran antara Joko Kendil dan Ken Arok. Gak nyambung sih. Tapi bagi orang yang punya imajinasi tinggi tidak ada masalah. Lha wong Mak Lampir dipadukan dengan Susanna saja bisa jadi Suster Ngesot kok! 😂
Maroko katanya adalah salah satu produsen ganja terbesar di dunia. Penanaman ganja memang legal karena bisa dipakai untuk obat. Salah satu sumber pendapatan pokok keluarga di wilayah Rif utara Maroko adalah menanam ganja. Faktanya istilah “reefer” (rokok ganja) berasal dari kata Rif. Ganja yang bahasa Arabnya terkenal dengan nama “kif”, kemudian diproses dan dijual dalam bentuk Hashish. Kalau nanti ada yang jual hashish secara legal saya mau beli untuk oleh-oleh. Saya mau ngajak Cak Nanang menikmati sore di FX Plaza sambil ngemil hashish nanti. 😁
Begitu sampai kami langsung meluncur ke Marrakes (Marrakech), ibu kota region Marrakesh-Asfi. Secara geografis, kota ini terletak di wilayah tengah Maroko, di antara Gurun Sahara dan Pegunungan Atlas yang selalu bersalju. Tapi kalau musim panas begini mungkin saljunya hanya ada di puncaknya saja. Marrakesh merupakan kota terbesar keempat di Maroko dengan jumlah penduduk kurang dari sejuta jiwa. Wilayah pusat kota ini dikelilingi oleh tembok batu berwarna kemerahan, yang dibangun sekitar abad ke-12, sehingga kota ini sering dijuluki sebagai “Red City” atau “Ochre City”. Setelah masuk ke Marrakes baru saya sadar mengapa disebut Kota Merah. Ternyata semua rumah dan bangunan temboknya memang hanya berwarna merah terrakota dan tidak ada warna lain. Jadi pemandangan kota Marrakesh ini benar-benar eksotik seolah kita berada di kota “Seribu Satu Malam”.
Marrakech merupakan kota besar di barat laut Maroko. Terletak di kaki pegunungan Atlas dan hanya beberapa jam dari gurun Sahara. Marrakech dihiasi oleh pedagang teadisional dan kios mereka yang berbatasan dengan lingkungan moderen, yang paling menonjol adalah Guéliz. Marrakech adalah salah satu kota tersibuk di Afrika dan berfungsi sebagai pusat ekonomi dan tujuan wisata. Marrakesh merupakan kota yang penuh dengan dinamika kehidupan dan perdagangan.
Area wisata di Marrakesh dibagi menjadi 2 bagian: Old Town Medina dan Modern District Gueliz. Landmark dan objek wisata utama di kota ini antara lain Djemaa el-Fna, Koutoubia Mosque, Majorelle Gardens, Bahia Palace, El Badi Palace, dan pasar-pasar tradisional khas Maroko yang disebut souk.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Djemaa el-Fna (Fna dalam bahasa Indonesia artinya ‘fana’). Tempat ini dulunya katanya tempat untuk menghukum mati para kriminal.
Kami makan siang di sini dengan menu makanan tradisional berbahan daging ayam, daging sapi, dan daging kambing. Masakan Maroko yang paling terkenal dari adalah couscous. Hidangan populer lainnya adalah pastilla, tajine, dan harira. Menunya yang besar membuat kami kesulitan menghabiskannya sehingga begitu buah dihidangkan kami sdh tak mampu menyantapnya dan akhirnya kami bungkus dan bawa ke hotel.
Setelah makan siang saya menuju ke ATM untuk ambil uang cash. Nilai 1 DRH (dirham) adalah sekitar Rp.1.500,- dan paling banyak kita hanya bisa tarik 2.000 DRH.
Lokasi rekreasi pertama yang kami datangi adalah Istana Bahia. Istana Al-Bahia dibangun sekitar akhir abad ke-19, yakni antara 1894 dan 1900, atas perintah Perdana Menteri Kesultanan Maroko saat itu, Moussa. Disebut Al-Bahia, karena istana ini diperuntukkan bagi salah seorang permaisuri Moussa yang bernama Bahia, yang hidup pada akhir abad ke-19. Moussa beristri empat orang dan dari keempat istrinya Bahia adalah yang paling disayang karena katanya Bahialah yang melahirkan anak laki-laki pertama. Rancangan bangunan istana Bahia ini berdiri di atas lahan seluas 8.000 meter persegi dan merupakan hasil karya seorang arsitek bernama Muhammad Al-Mekki yang asli orang Marrakech.
Bangunan istana ini memiliki 160 kamar yang keseluruhannya dihiasi mosaik warna-warni dari bahan plesteran, lukisan, pahatan kayunya diukir secara detail serta ubin keramiknya berwarna terang dan mengkilap. Semua elemen yang digunakan katanya diadaptasi dari arsitektur Istana Nasrid di Spanyol yang dilebur menjadi gaya arsitektur Maroko.
Lokasi berikutnya yang kami kunjungi adalah Jardine Majorelle atau Taman Majorel. Taman seluas 2,5 hektar ini dirancang oleh seorang arsitek asal Perancis, Jacques Majorelle. Taman ini mulai dibangun pada tahun sekitar tahun 1920-1930 dan baru pada tahun 1947. Jardin Majorelle dibuka untuk umum setelah dibeli oleh perancang kelas dunia ternama, Yves Saint Laurent, yang memang sangat mencintai Marrakes.
Yves Saint Laurent sengaja menjadikan Jardin Majorelle sebagai taman publik untuk meneruskan tradisi dan menghormati karya Jacques Majorelle. Saat ini taman yang kerap dikunjungi wisatawan asing, terutama dari kawasan Eropa, dikelola oleh yayasan yang sengaja didirikan oleh Yves Saint Laurent dan partnernya, Pierre Berge.
Di taman ini ada tugu memorial Yves Saint Laurent yang terletak di bagian tengah Jardin Majorelle. Tugunya dikelilingi pepohonan yang rindang dari berbagai macam negara, termasuk tanaman kaktus dan bambu. Bangunan yang mengelilingi taman ini sendiri sangat kuat bernuansa biru ditambah goresan keemasan.
Kami menginap di hotel Magador Geuliz yang terletak di tengah kota. Hotel yang sudah agak tua ini cukup nyaman meski pun tidak menyediakan air minum gratis di kamar dan kami harus beli.
Kami masih keluar malam hari ke komplek lapangan Djemaa el-Fna yang pada malam hari berubah menjadi pasar malam yang penuh sesak oleh turis dan warga yang mencari hiburan gratis. Ada berbagai pertunjukan musik dan tari lokal di lapangan tersebut yang dikerubuti oleh para penonton. Kami kesulitan untuk menerobos kepadatan penonton dan hanya bisa mendengar keriuhannya dari jauh. Ada juga pertunjukan tari ular kobra yang ketika saya foto si pawang minta uang sebagai imbalannya. Dia memang hidup dari sumbangan tips semacam itu.
Pulang dari Djemaa el-Fna saya salat Maghrib dan Isya sekaligus dan setelah itu merebahkan diri di kasur hotel yang terasa sungguh nikmat. Setelah mengalami perjalanan lebih dari 30 jam dari Tanah Air tanpa sempat merebahkan diri di kasur maka perjumpaan kami dengan kasur dengan sprei putih bersih ini sungguh terasa begitu penuh dengan kerinduan. Kami tidur mak bleg-sek dan tahu-tahu terbangun esok paginya di waktu Subuh.
Waktunya perjalanan berikutnya… 😁
Marrakech, 16 Juli 2018
Salam
Satria Dharma