Kadang-kadang Tuhan mengabulkan doa kita seketika. Itu yang kita namakan doa cespleng. Beberapa kali Tuhan mengabulkan doa saya seketika dan saya merasa takjub sekaligus agak ‘ngeri’. I must be very careful with what I ask to God.
Pada tahun 1992 saya naik haji. Waktu itu saya sedang bekerja di PT Badak Bontang, Masih bujangan tapi sudah mapan secara finansial. Saya menjadi pengurus Remaja Masjid dan spirit keagamaan saya sedang tinggi-tingginya. Meski demikian saya merasa sedikit gundah. Usia saya sudah merangkak 34 tahun dan saya belum mendapatkan jodoh. Bukan karena saya tidak laku dan kurang bergaul. Saya pernah punya beberapa pacar tapi gagal berlanjut. Bahkan sebenarnya waktu itu ada beberapa wanita yang serius mengejar saya. Tapi hati saya tidak sreg dengan mereka. Keluarga saya juga ikut mencarikan calon istri. Saya bahkan sempat mendatangi keluarga yang mau dijodohkan dengan saya tersebut. Meski gadis yang mau dijodohkan dengan saya ini cukup cantik, berpendidikan, dari keluarga yang baik dan sangat ramah tapi hati saya tidak tergerak. “Not for you.” Demikian kata hati saya. “Baiklah, Kakak,” demikian jawab saya dengan patuh.
Sebetulnya saat itu saya sedang berhubungan dengan seorang mantan siswa saya yang sudah bekerja di sebuah hotel di Surabaya. Nothing special karena dia sudah punya pacar dan saya sendiri memang masih terus berkomunikasi dengan dengan beberapa mantan siswa saya. Saya cukup popular sebagai guru baik di sekolah di mana saya pernah mengajar atau pun di bimbingan belajar di mana saya nyambi. Mantan siswa ini dulunya murid saya di bimbingan belajar yang saya dirikan. Begitu lulus ia langsung bekerja. Ketika mengetahui alamat saya di Bontang ia lalu menghubungi saya via surat dan juga telpon. Saya tentu senang bisa berhubungan kembali dengan mantan siswa saya. Kadang-kadang ia bertugas di bagian operator telpon sehingga ia bisa dengan mudah menghubungi saya via telpon ke sekolah di mana saya mengajar di Bontang. Tapi saya lebih suka kalau ia menyurat daripada menelpon karena saya bukan orang yang bisa berbasa-basi di telpon dan hanya berbicara seperlunya. Tapi kalau di surat bukan main lincahnya saya bermain di kata-kata. Saya bisa menyurat berlembar-lembar dengan berbagai cerita. Tapi kalau di telpon saya hanya akan bilang, “Oh ya…?! Hmmm… Hehehe…”
Ketika naik haji tiba-tiba saya ingat bahwa katanya kalau kita berdoa di Multazam, dan Hijir Ismail maka doa kita akan mustajab. Itu saat ketika ‘proposal’ doa kita langsung diterima oleh Tuhan tanpa melalui ‘birokrasi’ yang bermacam-macam. It goes right to God Himself. Jadi saya pun berdoa. Saya sampaikan pada Tuhan bahwa saya sudah bosan membujang dan sudilah kiranya Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang memberi saya seorang istri yang benar-benar sesuai dengan diri saya. “You surely know better what kind of woman I need in my life than I do, God.” Saya berdoa sungguh-sungguh dan tiba-tiba berkelebat sebuah ilham atau semacam perasaan dan keyakinan bahwa ‘proposal’ doa saya langsung diterima oleh Tuhan. Berkas doa saya diterima dan distempel ‘Proceed Soonest’. Wow…! Thanks God…! Saya pulang ke pondokan haji yang lumayan jauh dari Masjidil Haram dengan perasaan sangat gembira dan bersemangat sesudahnya. I will have a wife… I will have a wife…! Kata hati saya.
Ketika rombongan haji kami tur mengunjungi Jabal Rahmah (sebuah bukit yang katanya tempat pertemuan kembali antara Nabi Adam dan Siti Hawa setelah berpisah puluhan tahun) kami diberitahu bahwa bukit ini adalah bukit yang makbul untuk dipakai berdoa agar dapat jodoh. Jadi kalau belum dapat jodoh sebaiknya berdoa di Jabal Rahmah ini. Tentu saja saya dijadikan sasaran oleh teman-teman haji karena mereka tahu hanya saya yang masih bujangan. “Ayo, Pak Haji Satria. Berdoalah di sini supaya segera dapat jodoh,” seru mereka beramai-ramai. “Oh, Gak perlu,”jawab saya. “Saya kemarin sudah berdoa minta jodoh di Multazam dan Hijir Ismail. Permohonan saya sudah diterima dan jodoh akan segera saya terima di Indonesia.” demikian jawab saya. Mereka tentu saja mengira saya bergurau tapi waktu itu saya merasa yakin benar dengan perasaan saya.
Ketika pulang ke Bontang saya berusaha mencari-cari tanda dari Tuhan. Saya benar-benar yakin bahwa Tuhan akan segera memberi saya seorang calon istri seperti yang Ia janjikan pada hati saya. But nothing happened yet. I waited…
Tiba-tiba tak lama kemudian mantan siswa saya yang bekerja di hotel tersebut menyurat dan mengabarkan dengan sedih bahwa ia putus dengan pacarnya. Padahal sebenarnya masing-masing pihak keluarga sudah sepakat untuk meningkatkan hubungan mereka ke pernikahan. Dalam surat ia menceritakan betapa saat ini ia benar-benar merasa sedih, etc…etc… Entah mengapa tiba-tiba saya merasa bahwa inilah petunjuk atau tanda-tanda dari Tuhan yang saya tunggu. Jreng…jreng…! Eng…ing…eng…! Gak persis seperti ini sih bunyinya. Tapi ada semacam musik di hati saya waktu itu. Tiba-tiba saya merasa yakin sekali bahwa ini adalah “God Sign” dan ia adalah wanita yang dijanjikan bagi saya. Darimana saya kok begitu yakin dengan perasaan saya? Jangan tanya saya karena ini kehendak Tuhan. Saya yang dhaif ini hanya menjalankan perintahNya saja.
Surat saya balas dan saya katakan agar ia menerima dengan tabah karena itu adalah cobaan Tuhan, dsb…dsb… Ungkapan-ungkapan standarlah. Silakan kalau mau menghubungi saya setiap saat jika butuh teman untuk ngobrol, dst….dst… Tapi pada surat berikutnya saya tidak mau berbasa-basi lagi, saya langsung melamarnya…! (Ini perintah Tuhan, kata hati saya). Musik…!No…no…no…! Not Dangdut. This is special. Irama Gurun Sahara, please…!
Jadi saya melamarnya hanya via surat. Saya lupa redaksinya seperti apa karena sudah hampir 25 tahun tapi yang jelas surat saya pasti membuatnya klepek-klepek. Surat itu sudah mengandung suwuk wak kaji Satria. Saya sengaja tidak melamarnya via telpon karena there would be an awkward situation during the conversation. Saya tidak punya nyali ngomong begitu di telpon. Kalau pakai surat kan aman. Dia akan punya waktu untuk membacanya berkali-kali dan kalau mau menolaknya dia bisa menyusun kata-kata sebaik-baiknya.
Singkat kata, singkat cerita, ia menerima lamaran tembak langsung saya tersebut. Quite surprised, of course. Saya pulang ke Surabaya, datang ke kos-kosannya, dan mengajaknya pulang ke rumah orang tuanya di Madiun. Saya langsung mengajukan lamaran langsung pada kedua orang tuanya. Saya sampaikan kalau bisa jangan lama-lama mikirnya. I’m getting older and I don’t want to spend another year waiting. Bapaknya kaget melihat kesungguhan saya (maksudnya kok kesusu men toh Le! Sik talah. Golek dino sing apik sik. Wis talah Pak, kabeh dino iku apik, jawab saya dalam hati, opo maneh dino pas aku rabi karo anakmu. Itu adalah hari paling bahagia bagi kami).
Kami menikah tidak lama kemudian. Ia berhenti dari pekerjaannya dan ikut saya ke Bontang. Sampai saat ini ia ikut saya terus ke mana-mana. Saya pindah ke Balikpapan ia ikut. Saya pindah ke Surabaya ia juga ikut. Saya presentasi literasi ke mana-mana ia juga ikut. Kemarin saya mendatangi acara mantu seorang teman SMA dan ia juga ikut. Ini sudah hampir 25 tahun ia terus ikut saya.
Oh, ya, saya lupa mengenalkan namanya. Namanya Ika Padmasari. Mungkin ada yang kenal dengannya.
Surabaya, 11 April 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com