“…Jadi intinya, bukan tidak boleh Ahok jadi Gubernur, tapi Al Quran melarang ummat Islam yang mengaku beriman memilih pemimpin non muslim selama calon muslim yang bagus tersedia. Ayatnya jelas bunyinya, bisa kita renungkan. Ada tafsiran, kita berhak menafsirkan…”
Ini adalah potongan pendapat dari diskusi dengan seorang teman, Kang Satria Iman Pribadi. Beliau itu teman sejak di Balikpapan dulu dan kami sama-sama bergerak di bidang pendidikan. Meski saya lebih senior daripadanya tapi bukan berarti dia yunior saya. Lha wong dia alumnus ITB sedangkan saya dari IKIP Surabaya (UNESA). Lebih senior di sini maksudnya saya lebih tua daripadanya. Itu saja.
Kami berbeda pendapat soal penafsiran ayat Al-Maidah 51 – 57. Menurutnya Alquran MELARANG umat Islam yang mengaku beriman memilih pemimpin non-muslim selama calon muslim yang bagus tersedia. Dan itu ia dasarkan pada teks ayat Alquran yang jelas bunyinya seperti itu.
“…Larangan memilih awliya non muslim jika ada calon lainnya muslim yang adil ada banyak ayat yang dijadikan landasan, salah satunya Al maidah 51-57. Saya bukan ahli tafsir, Jika sekilas dibaca, kita menafsirkan begitu… Perintahnya sangat mudah dipahami bahwa jangan kamu jadikan pertemanan dengan non muslim itu sampai ke tingkat jadi wali. Mungkin cukup sampai persahabatan bisnis atau tetangga baik saja. Nah pemimpin yang punya peran besar menantukan nasib kita dan BISA DIPILIH, itu bisa masuk level awliya.”
Apakah ayat Al-Maidah 51 – 57 itu memang berisi LARANGAN TUHAN bagi umat Islam untuk MEMILIH calon pemimpin seperti gubernur, walikota, menteri, rektor, manajer, kepala kantor, ketua kelas, atau apa pun jabatan yang berstatus sebagai pemimpin bagi sekelompok umat Islam? Jika ini benar maka seorang presiden muslim tentunya tidak akan boleh memilih menteri, direktur, kepala lembaga, atau apa pun dari kalangan non-muslim yang nantinya akan menjadikannya sebagai pemimpin bagi umat Islam di bawahnya. Ini tentunya juga akan berdampak pada jajaran di bawahnya. Para menteri muslim tentunya juga tidak boleh memilih dirjen, kepala bagian, kadiv dan kasi yang non-muslim. Semua level pimpinan haruslah beragama Islam.
Ingat bahwa ini statusnya adalah larangan Tuhan. Implikasinya adalah bahwa seorang muslim tidak boleh memilih atau menunjuk pimpinan yang non-muslim. Jadi jika selama ini Negara Indonesia memiliki pemimpin yang non-muslim maka itu jelas merupakan bukti pelanggaran larangan Tuhan oleh umat Islam. Bukankah para presiden Indonesia itu semuanya muslim dan larangan Tuhan ini sudah disampaikan sejak 14 abad yang lalu?
Saya punya pendapat yang berbeda dalam memahami ayat-ayat tersebut. Menurut saya ayat-ayat tersebut bercerita tentang situasi dan kondisi atau peristiwa yang terjadi di masa perjuangan Rasulullah dalam menegakkan agama Islam. Jika kita baca asbabun nuzulnya dan sejarah perkembangan Islam pada saat itu, konteksnya adalah pada jaman konflik antara umat Islam dan kaum kafir di masa itu. Pada jaman itu setiap kelompok memiliki sekutu atau pelindung kelompoknya masing-masing, di antaranya adalah kaum Nasrani dan Yahudi (yang kebetulan memusuhi umat Islam yang sedang bangkit). Jadi ayat ini memiliki konteks situasi tertentu dan spesifik. Kisah yang diceritakan dalam Surat Al-Maidah tersebut menjelaskan tentang situasi umat Islam yang masih goyah dan terlibat peperangan dengan kaum kafir sehingga beberapa di antara suku atau individu mencoba mencari perlindungan atau persekutuan dengan kaum Yahudi atau Nasrani agar terhindar dari serangan musuh. Ini namanya pengkhianatan terhadap kesatuan sebagai umat Islam. Sudah selayaknya bagi semua umat Islam dari berbagai keluarga atau kabilah tetap bersatu dalam barisan Islam ketika menghadapi musuh yang mengancam. Dalam konteks inilah larangan Tuhan tersebut berlaku.
Al-Maidah 51-57 itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemilihan pemimpin seperti yang kita kenal sekarang. Jadi kalau mau dihubung-hubungkan dengan pilkada, pilpres, atau pilgub di jaman sekarang, khususnya di Indonesia, maka itu jauh sekali konteksnya. Jika kita memahami melalui konteks sejarah dan politik maka kita akan paham pada jaman Rasulullah di Arab Saudi sejak dulu sampai sekarang memang TIDAK ADA pemilihan pemimpin seperti yang kita kenal dengan pemilu seperti di Indonesia ini. Tidak pernah ada pemilihan khalifah, apalagi pemimpin dinasti atau kesultanan, yang melibatkan umat Islam untuk memilih. Raja Salman itu menjadi kepala negara Arab Saudi tanpa pemilihan. Dinasti Saud itu mendapatkan kedudukan bukan karena pemilihan umum tapi karena hasil dari perebutan kekuasaan melalui peperangan. Jadi menafsirkan Al-Maidah 51-57 sebagai larangan untuk memilih pemimpin non-muslim adalah ‘out of context’.
Jika dihubungkan dengan jaman sekarang apakah ini berarti umat Islam tidak boleh bersahabat atau berteman dekat dengan umat Yahudi atau Nasrani? Tentu tidak. Jaman dahulu pun ketika tidak terjadi konflik dan perang maka umat Islam berteman baik dengan siapa saja. Bahkan ada ayat yang menyatakan bahwa umat Nasrani adalah umat yang paling dekat persahabatannya dengan umat Islam ((QS Al Maidah 5: 82). Tentu saja ayat ini ada konteksnya juga. Sila baca tulisan saya di https://satriadharma.com2016/10/24/teman-setia-saja-tidak-boleh-apalagi/
“Apakah itu berarti, konflik itu hanya akan terjadi pada masa itu? Tak akan terjadi lagi di situasi yang lain? Apakah Almaidah 51 hanya berlaku untuk masa itu? Apakah artinya ayat ini sudah tidak perlu dianggap apa apa lagi karena penafsiran teman setia, pelindung atau pemimpin semuanya sudah tak kontekstual? Berarti Al-Qur’an tidak universal dan berlaku sampai akhir jaman dong…! Padahal katanya Alquran berlaku dari zaman dulu sampai akhir….” Mungkin Anda akan bertanya begini.
Jika ingin mendapatkan jawabannya sila baca tulisan saya di https://satriadharma.com2016/12/26/kontekstualitas-ayat-al-quran/
Intinya, Al-Maidah 51-57, Al-Maidah 82, An-Nisa, dan ayat-ayat lain itu punya konteks sendiri-sendiri dan bukan berarti bisa diterjemahkan dan dijadikan hukum universal MELARANG umat Islam untuk memilih pemimpin non-muslim atau berteman baik dengan non-muslim dulu, sekarang, atau pun di masa yang akan datang.
Jika Anda percaya bahwa Islam itu agama yang ‘rahmatan lil alamin’ maka tentunya Anda percaya bahwa ajaran Islam itu tentulah adil dan penuh dengan kasih dan sayang. Allah itu Maha Adil, Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang tentulah tidak akan menurunkan agama Islam yang mengajarkan segregasi, ketidakadilan, apalagi permusuhan yang abadi pada umat lain.
Wallahu a’lam bissawab.
Surabaya, 17 Maret 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com