
Sebuah posting dari Mas Syamsul ‘Hadir&Mengalir’ Hadi ke milis Surabaya Jujur kemarin (5/12/11) menarik perhatian diskusi. Posting itu menanggapi tentang adanya ‘Ikrar Siswa Jujur’ di Surabaya pada hari sebelumnya (4/12/11). Pertanyaan Mas Syamsul sendiri memang menggugah. Berikut ini postingnya dan diskusi yg berlanjut.
“Pagi ini harian Jawa Pos memuat berita tentang ikrar siswa jujur dalam ujian.
Ikrar tersebut dilakukan oleh 1.150 siswa SD dan MI se-surabaya barat, disela-sela tryout UASBN.
Ikrar tersebut dilanjutkan dg pembubuhan tandatangan diatas banner.
Pertanyaannya, mengapa perlu ada ikrar untuk anak2 SD ini?
Hadir&Mengalir
5 Des 2011
Posting ini kemudian saya timpali sbb :
“Gurunya ikut berikrar nggak? Itu yg penting. Lha kalau siswa itu kan opo jare gurune. Lha wong yg gak jujur itu sekolahnya kok…!
Aneh aja orang-orang ini. Selalu salah dalam melihat permasalahan.
Salam
Satria Dharma
Kemudian ditimpali oleh Mas Ihsan :
“Memberi teladan kejujuran emang sulit. Mengajak siswa berikrar, apalagi demonstratif agar bernilai berita, jauh lebih mudah. Nah, kalau sudah dikorankan kayak gini kan mudah laporannya ke atasan: Nih, gue sudah sukses melaksanakan program kejujuran UN.
Prakteknya? Embelgedes 🙁
/MI
Lalu dikomentari oleh Mas Isa Ansori sbb :
“ass…semestinya kita juga bijak melihat anak anak kita bertekad jujur….kalau bertekad saja sudah tidak diberi kepercayaan oleh para orang tuanya, anak anak ini tidak akan percaya diri lagi untuk bisa berbuat jujur, karena para orang tuanya sudah terlanjur tidak percaya…jangan salahkan lagi anak anak kita natinya bila mengatakan buat pa saya jujur, kalau kami mau berbuat jujur tidak dipercaya lagi…..kalau sudah begini siap yang akan bertanggung jawab”
wass
isa ansori
hotline pendidikan
Lalu saya timpali lagi :
“Hehehe…! Apa benar ikrar itu merupakan inisiatif para siswa?
Saya SAMA SEKALI tidak percaya.
Bagaimana mungkin tiba-tiba siswa berinisiatif utk berikrar Jujur Unas? Bukankah ini sama artinya bahwa siswa MENGAKUI bahwa mereka selama ini bertindak tidak jujur dalam Unas dan sekarang merasa berdosa dan bersalah dan ingin bertindak jujur?
Benarkah demikian…?!”
Salam
Satria Dharma
Mas Isa Ansori menimpali :
“ass…..menyedihkan sekali kalau semua tidak lagi ada yang percaya bahwa anak kita punya keinginan untuk jujur,memang kita sudah terlanjur tidk percaya pada sisitim pendidikan dan kepada sebagian guru guru kita disekolah,bukankah anak anak ini adalah manusia kecil yang punya keinginan, juga keinginan untuk berbuat jujur, bukankah juga para guru yang terlanjur tidak jujur tidak boleh dilarang untuk untuk berkeinginan jujur, kalau semua keinginan untuk jujur saja sudah diabaikan dan diragukan, mau dibawah kemana negeri ini ??????”
wass
isa ansori
hotline pendidikan
Saya jawab lagi :
“Saya justru sedih melihat bagaimana siswa direkayasa utk melakukan ‘demonstrasi kejujuran’ seperti ini. Ini justru sikap yg tidak jujur karena tidak genuine.”
Salam
Satria Dharma
Kembali ke Isa Ansori :
“ass…disinilah terletak masalahnya, kita selalu memandang apa yang dilakukan mereka yg terlanjur dikatakan tidak jujur denga cara pandang yang curiga,bukankah kita selalu dianjurkan untuk berpikir positif, mendorong untuk selalu positif, jadi saya justru melihatnya kalau toh itu sebuah rekayasa, kita perlu mengpresiasinya, supaya orang juga semakin tersadar bahwa apresiasi yg baik terhadap sebuah keterpaksaan akan mendorong orang untuk sadar dari rekayasa yg dilakukan selama ini menjadi sebuah yang alami.”
wass
isa ansori
Saya jawab pendek saja :
“Dengan senang hati saya akan berpikir positif jika ini adalah “Ikrar Guru Jujur”.
Sebuah tanggapan dari Pak Ediyus dari milis lain masuk.
“Ane rasa tidak ada salahnya untuk berbaik sangka terhadap murid-murid
yang berikrar jujur UNAS….. Kalau anda tidak mempercayai murid-murid
tsb silahkan anda tanyakan langsung pada murid-murid tsb…… Memangnya
ada salahnya jika secara implicit siswa-siswa tsb mengaku bahwa telah
berbuat tidak jujur pada UNAS terdahulu?
Saya segera menimpali :
“Secara implicit siswa-siswa tsb mengaku bahwa telah berbuat tidak jujur pada UNAS terdahulu…?! Gosh…! Emangnya ini siswa ikut UNAS setiap tahun? Kalau ada anak yg tidak jujur dalam UNAS maka tahun depan ia tidak perlu berikrar karena UNAS berikutnya masih tiga tahun lagi…!
Siswa yg berikrar utk jujur UNAS tentulah siswa yg AKAN mengikuti UNAS tahun depan. Jadi belum ikut UNAS. Bagaimana mungkin tiba-tiba siswa tersebut berikrar utk jujur UNAS seolah sebelumnya sudah pernah tidak jujur? Where’s the logic…?!
Kalau mau mendorong agar UNAS dilakukan secara jujur maka sebenarnya ikrarnya haruslah “IKRAR SEKOLAH JUJUR” agar semua pihak di sekolah ikut berikrar utk jujur pada UNAS mendatang. Sebetulnya (dan kita sebetulnya sudah sama-sama tahu kok) kalau guru dan kaseknya yg berikrar maka semuanya beres. Mana bisa siswa berlaku curang kalau diawasi oleh kasek dan guru yg telah berikrar utk jujur? Biar pun siswa sudah berikrar tapi kalau guru dan kaseknya yg tidak jujur mau apa…?!
Saya menduga bhw ikrar itu sifatnya memang utk ‘nyemoni’ guru dan kasek. Siswanya aja berikrar utk jujur lha mosok guru sama kaseknya malah membentuk ‘tim sukses’…! Biasalah kita ini. Tapi ini basa-basi yg benar-benar bisa basi nantinya. Ini namanya hitting around the bush. Untuk apa pakai ‘semon-semonan’ segala…?! Lha wong ini masalah prinsip kok malah pakai pendekatan budaya ‘semon-semonan’. Apalagi ini di Surabaya yg warganya sangat straight forward itu.”
Tanggapan dan perbedaan pendapat tentu masih akan berlanjut tapi dari sini kita bisa melihat perbedaan dalam melihat persoalan. Saya tidak melihat ini sebagai permasalahan siswa tapi permasalahan guru, kepala sekolah, dan birokrat pendidikan. Kesalahan melihat permasalahan tentu akan menghasilkan pemecahan yg keliru juga.
Pak Sigit, Kasek SMKTI Airlangga Samarinda, menelpon saya pagi ini. Katanya ia mau menulis di milis IGI tapi tak punya waktu sehingga sebaiknya ia sampaikan saja secara lisan pada saya. Rupanya ia tertarik soal posting “Ikrar Jujur Siswa” dan ingin menyampaikan ‘uneg-uneg’nya sebagai kepala sekolah.
Dan beliau pun berceritalah…
Sebagai kasek ia menerima ratusan siswa baru setiap tahun. Karena SMKTI Airlangga adalah sekolah swasta maka jelas yang masuk ke sana biasanya siswa yg tidak diterima di SMK/SMA favorit di Samarinda. Artinya mereka adalah siswa ‘second or third layer’.
Karena penasaran dengan mutu siswa barunya maka beliau membuat semacam tes utk mengetahui kompetensi siswa barunya khusus dalam Matematika dan bhs Inggris. Utk Matematika tesnya benar-benar kemampuan dasar seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pecahan, dan akar. Pokoknya kemampuan matematika dasar. Hasilnya…?! Ternyata dari hampir 300 siswa yg diberi tes hanya 1 orang yg nilainya di atas 4 (dari skala 10) baik di Matematika mau pun di bhs Inggris…! Hasil nilai UN di ijazah mereka benar-benar tidak bisa dipercaya.
Apakah hanya di sekolah swasta kondisi ini berlaku? Tidak. Di sebuah SMP Negeri di daerah Sempaja ternyata hasilnya juga sama saja. Kemampuan siswa dalam Matematika dan Bhs Inggris sangat parah. Dan menurut Pak Sigit itu disebabkan karena buruknya mutu guru yg mengajar.
Pak Sigit kemudian bercerita panjang tentang betapa rendahnya kemampuan, motivasi, dan dedikasi guru-guru yg magang di sekolahnya. Beliau ngeri membayangkan jika guru-guru seperti itu masuk ke kelas-kelas utk mengajar. Apa yg ia temui saat ini di kelas-kelas langsung adalah akibat dari rendahnya mutu guru-guru yg mengajari mereka. Sungguh tidak ada gunanya menguber-uber dan menakut-nakuti siswa dengan Unas jika masalahnya adalah di guru yg tidak bermutu, tambahnya.
Tiba-tiba saya teringat sebuah kata-kata bijak, entah milik siapa, yg mengatakan : Good teacher costs a lot but bad teacher costs more. Mencetak guru yg baik itu mahal biayanya tapi guru yg buruk akan lebih mahal ongkosnya. Ongkos mahalnya ya memperbaiki kerusakan yg dibuat oleh guru yg buruk tersebut. Setiap tahun jutaan anak menjadi korban oleh guru yg tidak kompeten.
Dan kita masih bersikeras bahwa Ujian Nasional yg akan memperbaiki itu…! 🙁
Surabaya, 8 Desember 2011
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Assalamualaikum, Pa Surya. Saya sebagai seorang guru setuju 100% terhadap pendapat anda mengenai mutu guru-guru kita sekarang. Tapi mengapa sekarang begitu mudah para guru itu memperoleh sertikat profesional dari PLPG ??
“Sungguh tidak ada gunanya menguber-uber dan menakut-nakuti siswa dengan Unas jika masalahnya adalah di guru yg tidak bermutu” Damn!! ini menohok saya sebagai seorang guru baru (2th) mengajar. Menurut saya memang masalahnya di guru. dan saya tidak mau menyadi salah satu guru “trouble maker” itu. Inilah sesungguhnya “trouble maker” itu.