Selama beberapa waktu ini saya berkeliling untuk kampanye Gerakan Literasi Sekolah. Saya merasa bahwa kampanye untuk GLS ini semakin lama semakin penting dan saya harus mengerahkan energi lebih besar untuk itu. Mengapa? Karena berdasarkan statistik UNESCO pada 2012 indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Sedangkan UNDP merilis angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen, sementara Malaysia sudah mencapai 86,4 persen. (sumber) Minat baca bangsa kita terendah di ASEAN. Sungguh ngeri-ngeri tak sedap.
Budayawan sekaligus sastrawan Taufiq Ismail menyatakan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini telah terjadi sejak Indonesia merdeka. Hal ini telah ia sampaikan sekitar 20 tahun lalu kepada hampir setiap Menteri Pendidikan namun tak ada respons. Berulang kali pergantian menteri pendidikan tak ada yang mampu juga mendorong minat baca masyarakat. Menurut Taufik Ismail harus ada pemaksaan kepada masyarakat, terutama anak usia dini untuk mulai membaca. “Di luar negeri, terutama Rusia, satu orang siswa paling sedikit membaca 14 buku setahun. Di Indonesia, ada anak yang hanya membaca satu buku setahun,” ungkapnya. Untuk menulis lebih parah lagi. Kata Taufiq ada anak yang tidak bisa membuat karangan selama sekolah. Kalau pun ada, jelasnya, paling hanya cerita pendek, seperti cita-citaku, berlibur ke rumah nenek, dan lainnya. Hal ini tentu berbeda dengan kebijakan di negara seperti India, umpamanya. Pemerintah India bahkan bekerjasama dengan penerbit asing untuk mencetak buku terbitan asing agar dapat dicetak di India sehingga harga buku lebih murah untuk meningkatkan minat membaca di kalangan masyarakat. Pemerintah India melalui National Book Trust atau pusat perbukuan nasional di India memiliki intervensi yang kuat di bidang perbukuan. Jadi mereka melakukan program semacam mencetak buku-buku bacaan seperti program Buku Sekolah Elektronik (BSE) sehingga jadi benar-benar murah. Saya bahkan punya beberapa koleksi buku-buku bacaan klasik berbahasa Inggris untuk anak-anak terbita India yang dijual dengan sangat murah. Saya sampai heran bagaimana ide sederhana seperti ini kok tidak bisa diadopsi oleh negara kita. Is this idea too sophisticated for us? Mestinya mbotenlah!
Itulah sebabnya saya kemudian menawarkan program Gerakan Literasi Sekolah melalui milis-milis dan saya tawarkan presentasi tentang gerakan ini secara gratis. Artinya sekolah atau daerah yang mengundang saya tidak perlu membiayai saya baik transportasi, akomodasi, konsumsi, apalagi memberi honor. (aku wis sugih Le! ) Asal mau menyelenggarakan semacam seminar tentang literasi saja maka saya akan datang sendiri dengan biaya saya sendiri.
Saya sudah mendekati Pak Ikhsan, Kadisdik Kota Surabaya, dan Bu Arini, Kepala Perpustakaan untuk menyampaikan apa yang saya harapkan dari mereka dan juga sudah menawarkan diri saya untuk ikut dalam upaya menggerakkan dan menumbuhkan budaya literasi membaca dan menulis di Surabaya.
Surabaya sendiri adalah kota yang sangat peduli dengan budaya membaca dan itu adalah berkat dua pejabat luar biasa tersebut. Surabaya adalah satu-satunya kota di Indonesia yang mempekerjakan lebih dari 400 karyawan honorer yang dipilih secara ketat untuk menjadi petugas perpustakaan di sekolah-sekolah SD Negeri di Surabaya. (Jumlah SD di Surabaya adalah 940 sekolah dengan SD negeri sebanyak 515 sekolah). Dengan ratusan petugas perpustakaan yang diberi pelatihan khusus itu maka perpustakaan sekolah SD negeri di Surabaya menjadi hidup, berkembang, dan bahkan menjadi tempat yang paling menyenangkan bagi anak-anak di sekolah mereka. Sekarang ini anak-anak SD menjadi keranjingan untuk membaca karena petugas perpustakaan mampu membuat berbagai kegiatan yang menyenangkan di perpustakaan yang mereka kelola. Ini baru Kota Literasi! Tak ada kota lain yang punya visi tentang literasi yang begitu jelas dan terarah seperti Surabaya. Saya pun tergerak untuk menjadikan Surabaya sebagai Kota Model bagi Pengembangan Gerakan Literasi Sekolah. Sekedar info, Kota Surabaya adalah kota yang mendapatkan penghargaan sebagai kota dengan Perpustakaan Terbaik Nasional selama 3 (tiga) tahun berturut-turut! http://www.surabaya.go.id/profilkota/index.php?id=26 .
Perpustakaan di Surabaya punya keunggulan yang seng ada lawan yaitu jumlahnya yang sangat banyak mencapai sekitar 970 titik layanan dengan sekitar 475 tenaga honorer khusus untuk mengelolanya. Lokasi perpustakaan dan taman baca tersebar di balai-balai RW, kelurahan, kecamatan, taman kota, rumah susun, puskesmas, sekolah, terminal, dan panti sosial. Ini masih ditambah dengan layanan mobil perpustakaan keliling di 64 lokasi. Tidak salah jika Surabaya meraih banyak penghargaan tingkat nasionalseperti Anugerah Nugra Jasadarma Pustaloka. Sementara untuk kategori pendidikan, Walikota Surabaya melakukan program “Pengembangan Layanan Perpustakaan Umum”. Dalam program ini dilakukan sinergi pelayanan perpustakaan umum dengan Kecamatan, RW, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Rumah Susun, Dinas Perhubungan, RSUD, serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Program dilakukan untuk Pengelolaan Layanan Baca di seluruh Kota Surabaya meliputi Layanan Baca di Perpustakaan Daerah, Layanan Bis Keliling di Sekolah dan Area Publik, Layanan Paket, Layanan Taman Bacaan Masyarakat (TBM), Revitalisasi TBM dan Perpustakaan Sekolah Dasar Negeri di sejumlah 970 titik layanan.
Dengan modal ini saya ingin agar pengalaman kota Surabaya bisa dilihat, dipelajari dan diadopsi oleh kota-kota lain agar visi mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai. Terus terang saya patah hati dengan Kurikulum 2013 karena ternyata kurikulum ini samasekali tidak punya visi yang jelas mengenai pengembangan kemampuan literasi siswa. Saya sungguh berharap bahwa ada penekanan yang jelas dalam pengembangan kemampuan dan ketrampilan membaca dan menulis bagi siswa dan ada slot waktu khusus dalam kurikulum bagi dua kegiatan tersebut. Tapi baiklah! Kalau Kurikulum 2013 tidak mengakomodasinya maka saya akan bergerilya untuk mempengaruhi sebanyak-banyaknya sekolah dan komunitas untuk peduli pada soal membaca dan menulis ini. Gerakan Literasi Sekolah harus bisa masuk ke sekolah. One way or another. I wanna getcha…getcha… Kata lagu One Direction
Bersama Bu Arini saya kemudian runtang-runtung jalan ke mana-mana. Saya dikenalkan dengan semua stafnya yang enerjik dan haus prestasi tersebut. Saya diajak melihat perpustakaan di jalan Pemuda yang sangat nyaman dan ramai dikunjungi oleh anak-anak sekolah tersebut. Sungguh menyenangkan melihat situasinya. It’s like an oasis. Saya dikenalkan dan sempat memberi beberapa kali presentasi pada 400 lebih pegawai perpustakaan Surabaya. Saya bahkan mengajak teman-teman Unesa untuk memberi pelatihan menulis bagi mereka dengan harapan agar mereka bisa membuat sebuah buku pengalaman selama mereka menjadi petugas perpustakaan. Dengan buku tersebut tentu akan lebih mudah bagi saya untuk mempromosikan apa saja upaya pengembangan budaya membaca di Surabaya ke berbagai daerah di seluruh Indonesia. Saya juga diajak ke SMAN 21 yang berada di jalan Argopuro. Bu Laila, Kepala Sekolahnya punya inisiatif yang brilian untuk meningkatkan minat siswa untuk membaca yaitu dengan mengadakan Lomba Pojok Baca Kelas. Jadi setiap kelas didorong untuk punya perpustakaan kelas dengan mengumpulkan buku-buku dari siswa sendiri yang nantinya akan diletakkan di sudut kelas di atas meja dan ditata dengan menarik oleh siswa sendiri. Ada kelas yang sangat serius dalam lomba ini dan berhasil mengumpulkan sebanyak 217 buah buku dari pengumpulan buku-buku mereka sendiri! Tentu saja jenis buku dan koleksinya masih sederhana dan bahkan banyak yang berisi komik-komik Naruto dan sejenisnya. Tapi bagaimana pun itu adalah sebuah upaya untuk meningkatkan minat siswa untuk membaca. Saya sangat mengapresiasi ide brilian ini.
Dengan akses dari Bu Arini saya juga mendekati Pak Mujib Afan, Kepala Perpustakaan Propinsi Surabaya, agar bisa ikut membantu dalam upaya menggerakkan gairah literasi di Jawa Timur. Sekedar informasi, minat baca masyarakat di Jawa Timur (Jatim) sangat rendah. Dari hasil survei Universitas Brawijaya (UB) Malang yang baru-baru ini dirilis menyebutkan jika minat baca masyarakat di propinsi ini hanya 42 persen. Jadi saya minta kepada Pak Afan untuk bisa datang pada rakor para kepala perpustakaan se Jatim di Batam baru-baru ini dan minta waktu untuk memberi presentasi tentang pentingnya Gerakan Literasi Sekolah. Sebenarnya acara rakornya sudah padat tapi saya berhasil meyakinkan beliau dan bahkan saya bilang bahwa saya akan datang dengan biaya dan akomodasi sendiri. Akhirnya saya dapat berpresentasi sekitar 45 menit. Saya sendiri menganggap kedatangan saya kesana adalah sekaligus rekreasi sama istri. Lha wong saya punya voucher menginap gratis di Goodway Hotel Batam.
Dari presentasi tersebut ternyata ada yang tertarik, yaitu Pak Ali Murtadi, Kaperpus Kabupaten Tulungagung. Beliau lalu mengundang saya untuk berbicara pada guru-guru perguruan Muhammadiyah dan guru-guru di yayasan Al-Azhar yang ternyata milik Ustad Imam Mawardi, seorang teman lama yang juga alumni Unesa. Alhamdulillah, nampaknya presentasi saya hari Jum’at kemarin cukup menggerakkan mereka untuk lebih meningkatkan gerakan literasi di sekolah mereka. Mereka juga berjanji untuk mulai melakukan aktivitas membaca setiap hari sebagai upaya untuk melaksanakan perintah Tuhan. Isn’t it sweet…?!
Besoknya (Sabtu, 16 Maret 2014) saya datang ke undangan seminar Gerakan Literasi Sekolah yang diadakan oleh sekolah SD Roushon Fikr di Jombang. Berkat upaya Ibu Imilda Umar dan Ibu Yuli Puji, kaseknya, mereka berhasil mengumpulkan sekitar seratusan guru dari berbagai sekolah untuk hadir pada acara tersebut. Acaranya sendiri sangat mengesankan dan mereka nampak sangat antusias untuk melakukan perubahan di lingkungan sekolah dan keluarga masing-masing. Meski saya menolak tapi mereka bersikeras untuk membawakan saya oleh-oleh makanan khas Jombang dan buah-buahan. Saya sampai terharu. They really did not need to do it. But they insisted. Jadi saya terima dengan senang hati. Saya sungguh tidak ingin memberatkan siapa saja yang mengundang saya. Kan saya sudah niat untuk menggratiskan semuanya. Mereka mau mendengarkan saya saja sudah luar biasa bagi saya.
Begitulah pengalaman saya selama beberapa waktu ini dalam berkampanye Gerakan Literasi Sekolah. Saya sudah menerima dua undangan lagi untuk hari-hari berikutnya, yaitu dari IKAPI untuk berpresentasi di rakor mereka Jakarta dan Mei nanti bicara di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Adalah Pak Panji Irfan yang berupaya keras untuk menggerakkan acara ke Kabupaten Seruyan ini. Bagi saya ini sebuah kesempatan yang luar biasa untuk bisa datang dan melihat sendiri Kabupaten Seruyan di Kalteng. Ini adalah sebuah kesempatan berwisata sekaligus kesempatan untuk promosi tentang Gerakan Literasi Sekolah.
Saya masih menunggu undangan dari mana saja untuk saya. Silakan kalau ada daerah atau sekolah yang mau mengundang saya. Mumpung kesehatan saya masih prima dan uang saya masih kenceng. Wakwakwak…!
Tapi besok ini saya mau jalan-jalan dulu ke Vietnam dan Kamboja sama istri. Anggap saja ini sebagai gabungan antara bersenang-senang dan berhepi ria. Hehehe…!
Surabaya, 16 Maret 2014