Sebuah posting menjadi hit lagi di milis keluarga Unesa. Judul posting tersebut adalah ‘HORMATILAH YANG TIDAK PUASA”. Pengirimnya juga kembali Cak Sha, yang kapan hari membuat posting tentang Ngaji Lakunya dengan pengungsi kaum Syiah. Tulisan selengkapnya bisa dilihat di : http://groups.yahoo.com/group/keluargaunesa/message/57110
Dalam tulisannya tersebut Cak Sha menggugat tuntutan untuk menghormati orang yang tengah berpuasa. “Memang apa masalahnya hingga harus ada pola penghormatan tertentu yang harus diberikan kepada para pemuasa? Apakah para pelaku puasa itu memang gila hormat dan mesti diistimewakan? “ demikian gugat Cak Sha. Ia menggugat keharusan bagi warung-warung atau restoran untuk menutupi tampilan luarnya sehingga seakan-akan tak ada aktivitas makan atau minum. Bukan hanya itu. Bahkan ada yang sangat berlebihan. Contohnya adalah pemerintah daerah di Banten. Tidak saja pemda Banten melarang warung buka secara “telanjang” pada pagi hingga sore hari, tetapi bahkan melarang sama sekali buka alias tidak boleh berjualan total. Dalam tayangan televisi bisa dilihat Satpol PP mengobrak dan menutup paksa warung yang kedapatan buka pada siang hari. “Beginikah cara menghormati warga negara yang sedang berpuasa? “ demikian gugat Cak Sha
Cak Sha menutup tulisannya dengan mengajak orang yang berpuasa juga menghormati yang tidak berpuasa dengan jalan tidak membatasi aktivitas makan/minum mereka. Inilah sebenarnya hakikat toleransi, baik bagi warga seagama maupun yang tidak seagama: saling membiarkan dan saling menghargai.
Oleh Mas Ihsan tulisan Cak Sha ini dikomentari dengan menyatakan bahwa para penjual tersebut memang selayaknya tidak berjualan di siang hari karena menjual makanan kepada orang yang seharusnya wajib berpuasa sehingga dia batal puasanya. Maka itu jelas berarti si penjual melakukan keharaman. Intinya, para penjual itu telah berdosa karena melakukan keharaman dengan membuat orang yang berpuasa menjadi batal puasanya.
Tentu saja saya tidak setuju dengan pendapat ini. Dan kami pun berdebat (seperti biasanya)….
Menurut saya melarang penjual makanan menjual di siang hari pada bulan Ramadhan adalah absurd dan tidak jelas alasannya. Alasan yang disampaikan oleh Mas Ihsan diatas jelas gebyah uyah.
Menurutnya Muslim dewasa semuanya wajib berpuasa, kecuali yang mempunyai udzur syar’iy (sakit, sedang bepergian, haidh/nifas, sudah lanjut usia). Menurut saya sih tidak. Perintah untuk berpuasa adalah KHUSUS bagi orang yang beriman. Orang kafir dan orang munafik TIDAK mendapat privilege puasa ini.
Oleh Allah puasa ini diwajibkan dengan panggilan ‘Ya ayyuhal ladzina amanu’ (Wahai orang-orang yang beriman)… Orang-orang yang tidak beriman tentu tidak terpanggil dengan panggilan ini dan Tuhan juga tidak memanggil orang-orang yang tidak beriman untuk berpuasa. Padahal kita tahu benar bahwa sangat banyak orang yang mengaku agamanya Islam tapi sebenarnya tidak mengenal dan apalagi mengimani agamanya. Mereka hanya mengaku beragama Islam karena setiap orang di Indonesia harus beragama dan mesti dicantumkan dalam setiap dokumen resmi seperti KTP, raport, dll. Tanpa mengaku beragama mereka akan kesulitan hidup di Indonesia. Jadi mereka mungkin MENGAKU beragama Islam tapi TIDAK MENJALANKAN perintah agama. Apakah ini boleh? Boleh saja. Lha wong mau kafir saja boleh kok sama Tuhan. Dalam teminologi agama Islam mereka disebut sebagai kaum munafik. Dan kaum munafik ini memang sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad sendiri. Apakah orang-orang munafik HARUS DIPAKSA oleh negara untuk menjalankan perintah agama, khususnya berpuasa yang oleh Tuhan hanya diwajibkan bagi mereka yang beriman? Tentu saja tidak. Tuhan saja tidak memanggil, apalagi memaksa, mereka kok! Puasa itu bukan macam pajak yang bisa dipaksakan kepada warganegara. “Puasa itu untukKu,” kata Allah,”Dan Aku sendiri yang akan membalas pahalanya.”
Jadi mengapa NEGARA (yang dalam hal ini pemerintah) harus MEMAKSA mereka untuk berpuasa dengan jalan melarang para penjual makanan dan minuman untuk berjualan di siang hari? Apa hubungannya? Mengaka para penjual itu yang dianggap berdosa kalau para munafikun itu tidak berpuasa? Saya samasekali tidak bisa melihat hubungannya.
Tapi tentu saja Mas Ihsan punya alasannya sendiri. Dan inilah dialog kami di milis Keluarga Unesa. MI adalah Muhammad Ihsan dan SD adalah saya.
MI : Memberi makan atau menjual makanan kepada orang yang seharusnya wajib berpuasa, dan karena makanan dari kita dia berbuka, maka kita ikut berdosa. Sebab, makan saat waktu puasa memang haram.
Al-wasiltu ila al-haram haramun… Segala sesuatu yang bisa mengantarkan kepada keharaman maka sesuatu hukumnya haram. Menjual makanan kepada orang yang seharusnya wajib berpuasa sehingga dia batal puasanya, maka jelas melakukan keharaman.
SD : Lha yg makan itu apa memang orang muslim yg wajib puasa semua? Kan banyak juga yang non-muslim, anak-anak, wanita yg berhalangan, para musafir, dll yg butuh cari makan.
Seandainya pun ada muslim mokong (banyak sih) yg mestinya puasa tapi tidak berpuasa, apa perlu dihalangi makan di warung? Emangnya kalau warungnya tutup muslim mokong ini akan berpuasa gitu? Mestinya kan yg ditertibkan itu yg makan dan bukan yg jualan.
Jadi apa sih sebenarnya tujuan dari menghalangi org berjualan makanan di bulan Ramadhan itu?
Kalau yg saya baca sampeyan MENGASUMSIKAN bahwa SEMUA penjual makanan di bulan puasa itu mengantarkan kepada keharaman pada SEMUA pembelinya sehingga HARUS dilarang. Padahal kan tidak semua pembeli itu diharamkan makan di bulan puasa.
Lha yg dilarang kok yg mengantarkan? Kok bukan yg melakukan keharaman yg dilarang dan dihalangi?
Cara berpikirnya kok aneh gitu lho…!
MI : Kan saya katakan, ikut menjadi wasilah atau penyebab yang mengantarkan keharaman saja ikut berdosa, apalagi yang melakukan keharaman, sudah jelas jauh lebih berdosa. Karena itulah perlu dilakukan pencegahan. Termasuk yang mau jualan ya jangan sampai melayani muslim yang wajib berpuasa. Kan saya katakan, ikut menjadi wasilah atau penyebab yang mengantarkan keharaman saja ikut berdosa, apalagi yang melakukan keharaman, sudah jelas jauh lebih berdosa. Karena itulah perlu dilakukan pencegahan. Termasuk yang mau jualan ya jangan sampai melayani muslim yang wajib berpuasa.
SD : Lha kenapa kok dilarang jualan..?! Itu pertanyaannya.
Kan bisa diatur agar mereka BISA tetap berjualan tapi tidak membuat orang puasa jadi mokel (rodok mekso sih)
Beri mereka selebaran dakwah ajakan utk menjaga agar tidak menjual makanan langsung dimakan di tempat bagi muslim/muslimah yg kena kewajiban berpuasa.
Jangan gebyah uyah dan membuat umat Islam yg berprofesi sebagai penjual makanan justru membenci bulan Ramadhan karena membuat mereka sengsara.
MI : Islam tidak mengajarkan kita menjadi egois, dan gak mau ngurus apa yang dilakukan orang lain, terserah dia puasa atau tidak. Kalau ada yang tidak berpuasa, maka kita dakwahi agar dia berpuasa, bukan malah kita ngambil untung dengan menjual makanan kepadanya…
Duitnya nggak seberapa, tapi dosanya itu lho rek…
Jadi, cara menghormati orang yang tidak berpuasa adalah dengan menyuruhnya berpuasa, dan bukan membiarkan mereka tetap tidak berpuasa…. Islam tidak mengajarkan kita menjadi egois, dan gak mau ngurus apa yang dilakukan orang lain, terserah dia puasa atau tidak. Kalau ada yang tidak berpuasa, maka kita dakwahi agar dia berpuasa, bukan malah kita ngambil untung dengan menjual makanan kepadanya…
SD : Salah asumsi yg terus menerus diulangi oleh Cak MI. 🙂
Mbok ya ditanyai semua orang-orang yg mokel itu APA SEBAB mereka mokel. Jangan pakai asumsi anak-anak bahwa mereka mokel karena ada orang jualan.
Apakah berdosa (atau haram) seandainya saya menjual makanan kepada orang yg tidak berpuasa?
Coba jawab pertanyaan tersebut dg ‘ Ya’ atau ‘tidak’.
Tolong jangan mbulet atau ngeles. Soalnya selak buko. Wakakak…!
MI : Apakah berdosa (atau haram) seandainya saya menjual makanan kepada orang yg tidak berpuasa?
+ kalau orang itu memang termasuk yang wajib berpuasa, maka jawabannya tegas: Iya. Ikut berdosa. Apakah berdosa (atau haram) seandainya saya menjual makanan kepada orang yg tidak berpuasa?
+ kalau orang itu memang termasuk yang wajib berpuasa, maka jawabannya tegas: Iya. Ikut berdosa.
SD : Wakakak…!
Fikih cap apa yg dipakai…?!
Apa alasan yg dipakai?
Karena membuat orang yg seharusnya berpuasa menjadi tidak berpuasa?
Lha wong dia memang tidak berpuasa kok malah penjual makanan yg kena getahnya.
MI : Warung itu buka siang hari dan orang langsung makan di situ saat itu juga, di mana kalau warung gak jualan siang itu maka pembeli (yang seharusnya wajib berpuasa itu) tak melakukan keharaman di tempat tersebut.
SD : Asumsi yg didasarkan pada suudzon. Lagipula…
Kalau si penjual gak jualan apa akan membuat si pembeli jadi berpuasa?
Kalau asumsinya adalah ‘tidak beli’ maka itu masuk akal. Tapi kalau asumsinya ‘akan menghalangi orang tidak berpuasa menjadi berpuasa’ maka itu sungguh asumsi yg ngawur pol.
(Cak Di gak bukak rek…! Aku poso ae nek ngono) 😀
MI : Cak Sha,
Masalahnya, kalau warung kita buka, maka kita nggak bisa membatasi bahwa pembeli memang orang yang tak wajib puasa? Kalau tiba-tiba ada tukang becak yang habis mbecak dari Mbungur ke Dharmawangsa terus kehausan lalu mampir, dan kita melayaninya mokel, maka kita termasuk memfasilitasi orang tidak berpuasa. Di situlah kita bisa ikutan berdosa…
Makanya, paling aman ya jualannya baru buka mas maghrib saja 🙂
SD : Kesalahan utama Cak MI adalah MENGANGGAP penjual makananlah yg menyebabkan seseorang mokel.
Kalau tidak percaya mari kita uji dengan menggunakan contoh dari Cak MI sendiri, yaitu “…ada tukang becak yang habis mbecak dari Mbungur ke Dharmawangsa terus kehausan lalu mampir, dan kita melayaninya mokel, maka kita termasuk memfasilitasi orang tidak berpuasa. Di situlah kita bisa ikutan berdosa…”
Coba bawa kasus ini ke ‘pengadilan imaginatif’ dan tanyakan ke tukang becaknya, “Kenapa sampeyan mokel, Cak…?!”
Kira-kira apa jawabannya?
Mungkinkah jawabannya spt ini?:
“Sebetulnya saya niat puasa sungguh-sungguh, Pak Hakim. Tapi begitu melihat penjual ini menjual makanan dg begitu demonstratif dan menggiurkan maka rontoklah iman saya dan saya pun mokel.”
MI : Warung itu buka siang hari dan orang langsung makan di situ saat itu juga, di mana kalau warung gak jualan siang itu maka pembeli (yang seharusnya wajib berpuasa itu) tak melakukan keharaman di tempat tersebut.
SD : Ada beberapa kesalahan sekaligus pada asumsi ini.
1. Diasumsikan bahwa SEMUA pembeli itu seharusnya wajib berpuasa. Padahal seperti yg sudah saya sampaikan TIDAK SEMUA pembeli adalah org yg wajib berpuasa. Anak-anak, ibu yg sedang berhalangan, para musafir, non-muslim, org sakit adalah orang-orang TIDAK WAJIB berpuasa.
2. Diasumsikan bahwa pembeli yg wajib berpuasa tapi kemudian makan di warung itu mokel karena warung tsb buka siang hari. Saya tidak pernah dengar ada alasan spt ini. Org yg tidak mau berpuasa ya sebagian besar karena memang tidak beriman sehingga tidak merasa perlu berpuasa. Makanya ayat ttg perintah berpuasa itu dimulai dg ‘Ya ayyuhal ladzina amanu…(Wahai orang-orang yg beriman)’. Yg tidak beriman ya gak bakal terpanggil. Lagipula Tuhan juga tidak meminta orang-orang yg tidak beriman utk berpuasa. Berpuasa itu hanya utk orang-orang yg beriman.
3. Menjual makanan kepada orang yg TIDAK BERPUASA (meski ngaku Islam) jelas tidak berdosa atau haram. Mereka yg datang dan pesan makan di warung tsb jelas BUKAN orang yg sedang berpuasa. Dan kalau mereka tidak berpuasa maka kesalahannya tidak bisa ditimpakan pada si penjual.
MI : Orang mokel, itu dosa dia. Tapi kalau mokelnya di tempat kita karena kita menyediakan atau menjual fasilitas permokelan, kita ikutan berdosa. Klir?
SD : Maaf, masih salah. 🙂
Tolong ditanyakan dulu alasannya mokel.
Pertama, Apa benar dia mokel? Atau dia memang gak puasa.
Kedua, kalau ia benar-benar mokel seperti tukang becak sing ngonthel dari Mbungur ke Perak, coba tanyakan mengapa ia mokel. Apa karena lihat kita jualan bakso, umpamanya, sehingga ia tergiur utk mokel?
Lagipula istilah ‘fasilitas mokel’ itu kok ya terlalu mengada-ada.
Biasanya hanya anak-anak yg suka mokel. Wong tuwek jarang yg mokel. Yg banyak ya memang gak niat poso. Nah, diantara yg sedikit wong tuwek yg mokel itu kok ya yang disalahkan itu para penjual makanan…!
Itu sama dengan menyalahkan pembunuhan pada para penjual pisau (sehingga mereka harus tutup utk menghindari atau mencegah pembunuhan). 😀
MI : Kata kuncinya “tidak ada yang makan di tempat”, karena memang tidak disediakan pelayanan makan di tempat. Warung kan nggak gitu. Mereka mempersilakan siapa saja makan siang hari, tanpa diseleksi apa dia muslim atau non muslim, dewasa atau anak, semua dilayani. Bahkan tukang becak yang jelas muslim dan wajib puasa pun dilayani. Wakakak… Tukang becak maneh yang dibahas 🙂
Begitulah kira-kira dialog kami tentang topik ‘HORMATILAH ORANG YANG TIDAK BERPUASA’ ini. Sila mengambil pelajaran dari dialog ini (jika ada).
Surabaya, 27 Juli 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Ass.
Pak Sat, setuju banget, Pak…
Sebagai seorang muslim, saya justru merasa “terhina” dengan larangan operasional para penjual makanan di jam berpuasa! Dipikir segitu rendahnya kah kadar keimanan orang berpuasa sehingga “bisa” batal puasanya hanya karena ada penjual makanan yang bersliweran di sekelilingnya? Saya kan bukan anak kecil yang baru “belajar” berpuasa! Sungguh penghinaan terbesar!
Pas SMA, saya sekolah di sekolah negeri yang seharusnya adalah sekolah umum. Judulnya sekolah negeri lho, bukan sekolah Islam! Tapi guru agama Islam di SMA saya melarang teman2 yang non-muslim untuk makan di sembarang tempat pas jam istirahat. Kantin SMA posisinya terbuka dan kantin tersebut tutup saat bulan puasa. Jadi teman2 non-muslim ini harus membawa makanan sendiri dari rumah dan gak bisa makan di kantin karena area kantin terbuka! Kebayang jungkir baliknya mereka mencari “spot”2 tersembunyi hanya untuk makan! Sampai detik ini, saya gak pernah bisa respek sama guru agama tersebut.
Kebetulan tahun 2011 saya menghadiri seminar tingkat Asia-Pasifik di Kuala Lumpur pada saat bulan puasa. Setau saya, Malaysia adalah negara Islam, tapi pas seminar tetap diadakan jamuan makan siang. Dan pas berkunjung ke salah satu daerah wisata (Malaka), semua rumah makan dan penjual makanan bebas berjualan makanan. Termasuk di pusat kota Kuala Lumpur, banyak rumah makan beroperasi normal, tanpa tirai penutup, pokoknya gak “nganeh2” seperti di Indonesia.
Wass.
Ida