Bacaan Al-Qur’an saya pagi ini sampai pada Juz 30. Saya mulai dari An-Nabaa (Berita Besar) dan terus sampai pada Surah Abasa yang merupakan Surah ke 80. Begitu membaca surah ini tiba-tiba saya menemukan pemahaman baru. Subhanallah…!
Saya sudah puluhan kali membaca surah ini tapi tiba-tiba pagi ini merasa menemukan sesuatu hal yang baru. Sebuah pemahaman baru tiba-tiba menyentakkan saya.
Surah yang turun di Mekkah dan berjumlah 42 ayat ini adalah surah yang populer dan menjadi topik kajian dan diskusi dari para ulama selama berabad-abad. ‘Abasa’ sendiri artinya ‘Ia Merengut/Bermuka Masam/Mengernyitkan Dahi’. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi “He Frowned”. Berikut ini terjemahnya dari ayat 1 – 10
(1) Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2) Karena Telah datang seorang buta kepadanya (3) Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4) Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? (5) Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (6) Maka kamu melayaninya. (7) Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). (8) Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9) Sedang ia takut kepada (Allah). (10) Maka kamu mengabaikannya.
Menurut Prof Quraish Shihab ayat di atas dan ayat berikut (sampai ayat sepuluh atau enam belas) menurut banyak ulama turun menyangkut sikap Nabi kepada sahabat beliau ‘Abdullah Ibn Ummî Maktûm, ketika Nabi Muhammad saw sedang sibuk menjelaskan Islam kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Mekkah, atau salah seorang tokoh utamanya, yaitu Al-Walîd Ibn Al-Mugîrah. Beliau berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam, dan ini tentu saja akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam saat itu. Pada saat sibuk itulah datang ‘Abdullah Ibn Ummî Maktûm yang rupanya tidak mengetahui kesibukan penting Nabi itu lalu serta merta menyela pembicaraan Nabi saw memohon agar diajarkan kepadanya apa yang telah diajarkan Allâh kepada Nabi saw. Hal ini menurut riwayat, diucapkan berkali-kali. Sikap ‘Abdullah ini tidak berkenan di hati Nabi saw, namun beliau tidak menegur apalagi menghardiknya, hanya saja nampak pada air muka beliau rasa tidak senang, maka turunlah ayat di atas untuk menegur beliau.
Penggunaan kata عبس dalam bentuk persona ketiga, tidak secara langsung menunjuk Nabi saw, mengisyaratkan betapa halus teguran ini, dan betapa Allâh pun dalam mendidik Nabi-Nya tidak menuding beliau atau secara tegas mempersalahkannya. Ini menurut Al-Biqâ’i mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lakukan ketika itu, sungguh berbeda dengan akhlak beliau sehari-hari yang sangat kasih kepada yang butuh dan selalu senang berada di tengah mereka. Penyebutan kata الآ عمى mengisyaratkan bahwa ‘Abdullah bersikap demikian, karena dia tidak melihat sehingga hal ini mestinya dapat merupakan alasan untuk mentoleransinya. Al-Wâhidî meriwayatkan (tanpa menyebut sanad perawinya), bahwa setelah peristiwa ini, bila ‘Abdullah Ibn Ummî Maktûm datang, Nabi saww menyambutnya dengan ucapan: Selamat datang wahai siapa yang aku ditegur karena ia oleh Tuhanku.
http://ridhoyahya89.blogspot.
Meski pun demikian ada pendapat lain yaitu dari Ustad Husein Al-Habsyî yang menyatakan bahwa bukan Nabi Muhammad yang dimaksud dari surah tersebut. Beliau mengadakan penelitian dan menurutnya ada berbagai macam kejanggalan dan keraguan yang ada pada riwayat turunnya surah tersebut. Maka beliau mengadakan rekonstruksi terhadap tafsir surah ‘Abasa dan menganggap bahwa yang dimaksud dengan ‘bermuka masam’ pada surah tersebut adalah AlWalid Bin Mughirah dan bukan Rasulullah. Baginya tidak mungkin Nabi Muhammad yang mulia ini bermuka masam pada sahabatnya.
Begitulah…
Dalam kajian Islam perbedaan pendapat di antara ulama memang biasa saja terjadi dan tak ada di antara para ulama yang alim yang mencaci-maki pendapat yang bertentangan dengan dirinya karena sebenarnya hanya Allahlah yang paling tahu apa yang benar.
Saya sendiri mengikuti pendapat Prof Quraish Shihab bahwa surah ini memang benar-benar diturunkan untuk menegur Nabi Muhammad. Apa yang wajar bagi orang lain tentu berbeda untuk seorang nabi. Menurut saya justru surah ini BENAR-BENAR MENUNJUKKAN bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang ditunjuk oleh Allah SWT. Begitu membaca surah ini pada pagi ini tiba-tiba saya disentakkan oleh pemahaman bahwa surah ini sebenarnya merupakan sebuah penegasan akan kenabian Muhammad. Tidak bisa tidak, Muhammad adalah seorang nabi yang diutus oleh Allah SWT.
Apa tugas seorang nabi sebenarnya?
Berdasarkan Surah Al-Fathir ayat 24 tugas nabi adalah sbb :
[35:24] Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran1256 sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.
Begitu juga di Surah Al-An’am 48.
[6:48] Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan474, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.
Dan di Surah An-Nahl 36
[16:36] Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut826 itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya827. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
Jadi jelas sekali bahwa para nabi itu diutus untuk memberi petunjuk kepada para manusia atau masyarakat yang ada disekitar dan lingkungannya agar memilih jalan yang benar dan menyembah kepada Tuhan. Para nabi itu diutus untuk SIAPA SAJA yang mau menerima risalahnya dan tidak diutus untuk golongan-golongan tertentu. Para nabi tidaklah diutus untuk memilih-milih siapa orang yang akan diberinya petunjuk dan diberi peringatan dan kabar gembira dan siapa yang tidak. Mereka yang memilih siapa yang diberinya petunjuk dan siapa yang tidak tentulah bukan nabi. Mereka mungkin seorang politisi yang sedang mencari posisi dan kedudukan. Seorang nabi tidaklah melakukan tugasnya berdasarkan keinginannya pribadi tapi berdasarkan perintah dan petunjuk Tuhan yang mengutusnya.
Jika dokter bisa memprioritaskan pasien berdasarkan kemampuan membayarnya, guru bisa memilih siswa yang lebih cerdas ketimbang yang lambat berpikirnya, bankir memilih nasabah yang lebih kaya, partai politik lebih memilih konstituen yang berpengaruh, dlsb., nabi tidaklah demikian. Mereka diutus tanpa memilih-milih umat dan harus menerima tugas tersebut tanpa boleh protes atau pun mengeluh. Konon Nabi Yunus pernah merasa putus asa dalam melakukan tugas kenabiannya karena begitu bandelnya umatnya dan begitu kerasnya mereka dalam kekafiran. Beliau akhirnya meninggalkan umatnya untuk pergi ke daerah lain dengan naik kapal. Tuhan kemudian menghukum beliau dengan dilemparkan ke laut dan ditelan oleh ikan paus. Padahal bagi manusia biasa tugas yang membuat kita frustrasi boleh ditinggalkan sesekali. Tapi tidak dengan seorang nabi. Mereka harus memiliki kesabaran yang seolah tanpa batas. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tugas kenabian adalah tugas yang sangat…sangat berat.
Jika Muhammad bukanlah seorang nabi maka apa yang dilakukannya pada Abdullah Ibn Ummî Maktûm adalah tindakan yang tepat. Jika kita ingin mengubah sebuah masyarakat maka lakukan dulu pada para pemimpin komunitasnya. Pegang kepalanya dulu agar badan dan ekornya tinggal ikut saja. Dan itu adalah sebuah kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan yang ada dan dipakai sampai sekarang. Di mana pun kita melangkah untuk melakukan sebuah perubahan yang benar-benar efektif maka kita selalu mencari pemimpin dari komunitas yang akan kita ubah tersebut. Kita akan berusaha untuk meyakinkan sebaik-baiknya pada pemimpin komunitas ini agar nantinya jika ia bisa menerima pesan yang kita sampaikan maka ia akan dengan senang hati melakukannya pada komunitas yang ia pimpin. Jika ingin melakukan perubahan pada sebuah sekolah maka ubah dulu kepala sekolahnya. Dari kepala sekolah pesan yang akan kita sampaikan akan lebih mudah masuk ke para guru, siswa, dan orang tua.
Jadi jika Nabi Muhammad kemudian bermuka masam ketika didesak-desak oleh Abdullah Ibn Ummî Maktûm untuk mengajarinya pada saat Rasulullah sedang menghadapi pemimpin kaum Quraisy Makkah Al-Walîd Ibn Al-Mugîrah maka itu adalah hal yang sangat wajar dalam ukuran kebenaran kita. Tidak selayaknya Ummi Maktum menyela dan mendesak Rasulullah padahal Rasulullah sedang menghadapi orang penting yang diharapkan akan mengubah posis umat islam di Mekkah saat itu. Keberhasilan Rasulullah mengubah persepsi Al-Walîd Ibn Al-Mugîrah dan mengajaknya masuk Islam akan mengubah peta posisi umat islam secara keseluruhan. Itu adalah strategi penting dalam menjalankan dakwah islam.
Tapi pandangan itu adalah pandangan kita sebagai manusia yang penuh dengan kepentingan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain. Tidak ada beda antara Walid Bin Mugirah dengan Ummi Maktum. Siapa yang mau menerima petunjuk itulah yang diberi. Siapa yang akan diberi petunjuk dan hidayah oleh Tuhanadalah hak prerogatif Tuhan semata. Nabi Muhammad tidak memiliki hak samasekali untuk menentukan siapa-siapa yang harus diberi petunjuk dan siapa yang harus ia dahulukan dan siapa yang mendapat pelayanan belakangan. Tugas kenabian tidak mengenal prioritas berdasarkan kedudukan, posisi, jabatan, kekayaan, atau jenis kelamin.
Dengan Surah Abasa ini Allah seolah ingin menegur dan mengingatkan Nabi Muhammad bahwa tugas beliau hanyalah menyampaikan wahyu Tuhan. Perkara siapa yang akan diberi petunjuk oleh Allah dan bagaimana caranya adalah sepenuhnya urusan Tuhan dan bukan tanggung jawab Nabi. Hal ini disampaikan oleh Allah dalam Surah Al-Zumar 41:
Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk Maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.
Saya ingat bahwa Nabi Muhammad juga pernah ditegur oleh Allah karena pernah menjanjikan akan menjawab pertanyaan dari kaum Yahudi. Beliau menjanjikan akan memberi jawaban tanpa mengucapkan ‘Insya Allah’ yang artinya ‘Jika Allah menghendaki’. Ini juga menunjukkan bukti bahwa Nabi Muhammad menyampaikan risalahnya benar-benar berdasarkan petunjuk dari Allah SWT dan bukan dari kehendaknya sendiri.
Surah Abasa ini semakin meyakinkan saya akan bukti kenabian dari Muhammad SAW. Muhammad adalah benar-benar seorang nabi dan Surah Abasa ini menegaskannya. Semoga kemuliaan dan keselamatan selalu dilimpahkan Allah kepada beliau dan keluarganya. Amin…!
Balikpapan, 21 April 2012
Salam

Satria Dharma
http://satriadharma.com/
Nabi Muhammad yang sempurna pun ternyata bisa membuat kekhilafan, ketika mengabaikan pertanyaan Abd Ibn Ummi Maktum. Juga pernah tdk mengucap Insya Allah ketika menjanjikan sesuatu kpd kaum musyrikin
Dari dua kekhilafan kecil tsb Allah menegurNYA. Lantas bagaimana dengan umat Muslim utamanya para Ulama yang tak jarang kita dengarkan umpatan umpatan dan makian, fitnah dan ghibah sebagai bumbu dakwah sehari hari ?
Mengapa Ulama seperti Ustadz Husein Al Habsy justru membantah bahwa yang bermuka masam tsb bukanlah Nabi Muhammad, tetapi Al Walid Bin Mughirah ? bukankah ini berarti Husein Al Habsy telah membantah makna Surat Abasa sekaligus “memfitnah” Al Walid bahwa seakan akan Al Walid lah yang bermuka masam ??
Ternyata sejak zaman dulu, para tabii dan tabiin, telah memiliki sifat sifat fanatis sehingga cenderung defensif terhadap perubahan, dan fakta