
Ketika Rasulullah SAW hendak mengirim sahabat Muadz ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, “Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?
“Kitabullah”, jawab Mu’adz.
“Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah? tanya Rasulullah pula.
“Saya putuskan dengan sunah Rasul.”
“Jika tidak kamu temui dalam sunah Rasulullah?”
“Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad dan saya takkan berlaku sia-sia,” jawab Mu’adz.
Nabi Muhammad senang dengan jawaban Mu’adz ini. Kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan ijtihad dan pemikiran rasional inilah yang menyebabkan Mu’adz dianggap setara dengan Umar kecerdasannya.
Jadi ijtihad atau menggunakan pemikiran pribadi untuk memutuskan sebuah perkara adalah ajaran agama yang disetujui oleh Nabi. Perlu dipahami bahwa ijtihad adalah juga merupakan salah satu sumber hukum Islam setelah Al-Quran, al-Hadits, Ijma, dan Qiyas.
Ketika Khalifah Abu Bakar memerangi para umat Islam yang membangkang tidak mau membayar pajak, keputusannya tersebut tidak didasarkan pada Alquran atau hadist. Tidak ada aturan untuk memerangi umat Islam yang membangkang membayar zakat dengan memeranginya dengan pedang. Khalifah Abu Bakar menggunakan ijtihad atau pemikirannya sendiri berdasarkan situasi dan kondisi yang ia hadapi ketika menjadi pemimpin umat Islam waktu itu. Jadi ketika Khalifah Abu Bakar memutuskan untuk memerangi umat Islam yang membangkang menolak membayar zakat maka beliau menggunakan hukum ijtihad yang dibolehkan dalam agama.
Tapi bagaimana jika ijtihad dilakukan padahal ada aturan dan ketentuan dalam Alquran? Bisakah kita lebih mengedepankan ijtihad ketimbang ketentuan yang sudah digariskan dalam Alquran dan hadist?
Pada masa Khalifah Abu Bakar, ada dua mualaf yang meminta bagian zakat dari khalifah berupa tanah sebagaimana Nabi SAW pernah memberikannya kepada mereka. Keduanya berkata, “Di tempat kami ada tanah-tanah kosong, yang masih menganggur dan tidak berfungsi. Bagaimana jika tanah itu anda berikan kepada kami?” Abu Bakar lantas menulis surat kepemilikan (sertifikat) untuk mereka. Namun ketika Umar mengetahui surat tersebut, diambilnya surat itu dari tangan mereka dan dirobeknya surat itu, sambil berkata, “Dahulu Rasulullah menganggap kalian sebagai mualaf, saat itu Islam masih lemah dan pemeluknya masih sedikit, namun karena sekarang Allah telah menjadikan Islam besar dan kuat, maka pergilah kalian bekerja sebagaimana kaum Muslimin bekerja. Kebenaran adalah berasal dari Allah, barangsiapa yang mau beriman, maka berimanlah dan barangsiapa yang tidak mau beriman, maka kufurlah!” Tentu saja mereka protes dan mereka kembali menghadap Abu Bakar. Abu Bakar ternyata sepakat dengan pendapat Umar tersebut. Abu Bakar kemudian menarik kembali apa yang telah diputuskannya. Melihat itu, mereka bertambah jengkel, sehingga berkata, “Yang menjadi khalifah itu Anda ataukah Umar?” Spontan Abu Bakar menjawab, “Dia, jika ia mau.” Keputusan Umar ini tak seorang sahabat pun yang mengingkarinya. Sejak saat itu tidak ada lagi pembagian tanah atau zakat bagi para mualaf padahal ketentuan ini jelas-jelas tersurat dalam Alquran dan dipraktekkan oleh Nabi.
Ini kejadian yang sangat menarik untuk dibahas. Keputusan Umar waktu itu tidak berlandaskan Alquran dan hadist tapi berdasarkan ijtihadnya pribadi. Posisinya saat itu juga bukan sebagai khalifah. Ketentuan soal zakat bagi mualaf ada disebutkan dalam Alquran Surat At-Taubah ayat 60. Nabi juga membagikan zakat bagi para mualaf. Tapi Umar, yang bahkan belum menjadi khalifah pada saat itu, dengan tegas mengubah ketentuan itu sehingga pembagian zakat bagi mualaf sudah tidak pernah dilakukan lagi sampai saat ini.
Dalam kasus lain, Umar juga membuat ijtihad pribadi meski kasus yang dihadapi ada ketentuannya dalam Alquran.
Setelah tentara Muslim berhasil menguasai Irak, para tentara meminta pembagian tanah dan barang rampasan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas selaku komandan perang. Begitu juga dengan tentara Muslim yang berhasil menguasai Syam, mereka meminta Abu Ubaidah bin al-Jarrah selaku komandan perang untuk membagi kota dan tanahnya untuk mereka. Ini juga yang diminta pasukan Muslim yang berhasil mengalahkan Imperium Romawi di Mesir, Zubair bin al-‘Awwam (jubir pasukan) meminta kepada ‘Amr bin al-Ash, komandan pasukan untuk membagi tanah hasil rampasan perang kepada para pasukan yang ikut perang. Tata cara pembagian ghanimah sudah diatur di dalam Alquran pada surah Al-Anfal (😎 ayat 41. yang artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai sebagai rampasan perang maka sesungguhnya seperlima Untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, Anak-anak Yatim, Orang-orang Miskin Dan Ibnu Sabil, Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Adapun sisanya yang berjumlah empat perlima dibagi-bagikan kepada tentara, sesuai dengan hadis Nabi SAW, “Seperlima untuk Allah dan empat perlima lainnya untuk tentara.” (HR. Bukhari). Hal ini dianut oleh jumhur ulama.
Menghadapi situasi seperti itu, para komandan perang menyerahkan masalah itu kepada Khalifah Umar. Akhirnya mereka semua mengirimkan surat kepada Umar menanyakan masalah ini. Setelah menerima surat tersebut, Umar mengumpulkan para sahabat dan mengajak mereka bermusyawarah. Ada dua usulan: pertama, membagi tanah beserta isinya kepada para tentara yang turut berperang dan kedua, mengalokasikannya untuk kemaslahatan umat Islam. Pendapat kedua yang dipilih Umar. Tanah tersebut dikembalikan kepada penduduk setempat untuk dikelola, namun tanah tersebut dikenai pajak (kharrâj) dan tiap orangnya juga dikenai uang jaminan keamanan (jizyah). Harta yang berhasil dikumpulkan dari kharrâj dan jizyah itu kemudian digunakan untuk kemaslahatan umat Islam semua; baik yang ikut perang, anak cucu kaum Muslimin, dan juga generasi-generasi setelahnya.
Keputusan ‘Umar ini diprotes oleh para tentara karena menurut mereka harta itu telah diberikan Allah kepada mereka berdasarkan surah al-Anfal: 41 dan riwayat bahwa Rasulullah SAW membagi tanah hasil rampasan perang dari Bani Nadhir dan Bani Quraidzah kepada pasukan Muslim pada waktu itu. Karena belum puas dengan keputusan itu, para tentara akhirnya meminta ‘Umar untuk kembali melakukan musyawarah. Tapi Umar tetap pada keputusan awalnya.
Jelas sekali bahwa Umar tidak selalu mendasarkan keputusannya dalam menangani kasus berdasarkan Alquran dan hadist. Jika menurutnya apa yang dulunya dianggap sebagai hukum atau ketentuan yang tepat tapi pada masa tertentu sudah dianggap tidak sesuai lagi maka Umar tidak segan-segan mengubahnya. 🙏
Jika masalah yang dihadapi itu sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam Alquran dan hadist maka menurut Rasulullah bolehlah kita menggunakan ijtihad. Tapi apa yang dilakukan oleh Umar ini jauh lebih revolusioner. Umar jelas sekali beragama dengan mengedepankan rasionalitas dan pertimbangan maslahat. Baginya tujuan ditetapkannya hukum Islam adalah untuk menciptakan maslahat bagi manusia. Jadi baginya penentuan hukum haruslah mempertimbangkan kemaslahatan yang ada pada saat itu . Maslahat adalah patokan utama Umar dalam menentukan atau menetapkan sebuah hukum.
Wallahua’lam bis showab… 🙏
Surabaya, 8 Februari 2023
Satria Dharma