Saya tahu mengapa saya dan istri punya penilaian yang berbeda tentang Didi Kempot. Kami memiliki pengalaman hidup yang berbeda. Waktu muda saya biasa bergaul dengan para preman. Paling tidak saya tahu bagaimana kehidupan para preman dan mengapa orang bisa jadi preman. Soal rambut panjang alias gondrong saya sendiri sejak SMA berambut gondrong dan hampir semua kawan saya di SMA rambutnya ya gondrong. Jadi saya tahu bahwa rambut gondrong tidak ada hubungannya dengan prilaku jahat. Wajah Didi Kempot itu tidak sangar. Bagi saya wajahnya itu mellow dan sinar matanya menunjukkan bahwa dia orang yang ramah dan bersahabat.
Beda dengan istri saya. Tentu saja dia tidak pernah bergaul dengan para ‘begajulan’ berambut gondrong. Lha wong memang beda zaman. Saya hidup di zaman berambut gondrong itu keren (jadi Didi kempot itu keren). Zaman istri saya semua siswa rambutnya ya harus dipotong pendek dan hanya orang gak sekolah yang memanjangkan rambutnya kayak Didi Kempot. Lagipula dulunya dia tinggal di asrama tentara yang jelas sekali semua orang di lingkungannya berambut cepak. Orang yang berambut gondrong dianggap orang yang ‘begajulan’, tidak punya tatakrama dan sopan santun, cenderung hidup seenaknya sendiri, madesu alias masa depan suram. Pokoknya tipikal orang yang tidak perlu didekati. 😁
Jadi penilaian kita terhadap seseorang itu memang dipengaruhi oleh lingkungan di mana kita dibesarkan. Ada persepsi-persepsi tertentu yang ditanamkan dan disepakati oleh setiap komunitas. Dan itu membentuk dunia pemikiran kita, termasuk bagaimana kita menilai sesuatu.
Surabaya, 17 Januari 2024
Satria Dharma