
Seorang teman alumni mengirim berita CNN tentang perayaan Valentine Day di Arab Saudi di WAG dengan komen singkat “Nah lho….!”. Dan ini menimbulkan kemarahan seorang teman lain. Baginya itu adalah pelecehan terhadap agama (Islam). Saya sampai berkerut kening melihat reaksinya yang begitu keras. Mengapa demikian…?! Karena baginya berita di negara Islam Arab Saudi konotasinya menyangkut Islam. Apa yang terjadi di Arab Saudi dengan semakin terbukanya pemerintah dengan perubahan-perubahan yang ada saat ini, termasuk dibolehkannya perayaan Valentine Day, MUNGKIN baginya adalah bentuk kekalahan Islam melawan gempuran budaya asing justru di pusat Islam itu sendiri. Dan itu mungkin menyakitkan baginya. Ungkapan “Nah lho…!”tersebut dianggapnya sebagai semacam ejekan atau pelecehan terhadap agama Islam. Sudah kalah kok masih diejek sih…! 🤣
Terus terang saya berusaha setengah mati untuk bisa memahami mengapa perubahan sosial politik di Arab Saudi dengan dibolehkannya perayaan Valentine Day bisa dianggap sebagai pelecehan terhadap Islam, atau mungkin KEKALAHAN Islam dalam menghadapi gempuran budaya-budaya non-Islam. Kok bisa sih…?! 😳
Tapi setelah merenung-renung dan melihat apa yang terjadi belakangan ini saya mulai paham. Jangankan teman saya yang tidak belajar agama secara khusus tersebut, lha wong pengurus MUI yang kita anggap adalah kumpulan para ulama Islam yang tentunya sudah memiliki ilmu tentang agama yang tinggi saja ternyata juga punya ‘inferiority complex’ dan cenderung reaktif sekaligus defensif terhadap segala hal yang dianggapnya ‘bukan berasal dari Islam’. Lihat saja bagaimana mereka mengeluarkan Fatwa Larangan merayakan hari Valentine berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 3 Tahun 2017 dengan alasan
– Karena Hari Valentine bukan termasuk dalam tradisi Islam
– Hari Valentine dinilai menjerumuskan pemuda muslim pada pergaulan bebas seperti seks sebelum menikah
– Hari Valentine berpotensi membawa keburukan
Alasan melarang sesuatu untuk dirayakan karena bukan tradisi Islam sesungguhnya adalah menggelikan. Mengapa? Karena apa yang disebut sebagai tradisi Islam itu sendiri sangat rancu. Apa sih kegiatan yang bisa disebut sebagai ‘tradisi Islam’ dan yang ‘bukan tradisi Islam’?
Jika ada ulama yang bilang bahwa Valentine Day harus dan wajib dilarang karena itu adalah BUDAYA ASING maka apakah mereka tidak paham bahwa hampir semua yang kita tonton di TV Anda itu adalah budaya asing. Islam sendiri sebagai agama TIDAK PUNYA BUDAYA. Yang punya budaya itu masyarakat. Jadi kalau Anda lihat majlis dzikir, tahlilan, festival rebana, pakai sarung, baju koko, songkok, dll maka itu BUKAN BUDAYA ISLAM tapi budaya umat Islam Indonesia, khususnya umat Islam NU. Setahu saya orang Muhammadiyah tidak pernah bikin tahlilan atau acara Haul hari wafatnya seseorang. Tahlilan dan haul yang kita anggap sebagai tradisi Islam itu bahkan bukan tradisinya Muhammadiyah. Setiap kelompok dan organisasi Islam bahkan punya tradisinya masing-masing yang berbeda dengan kelompok dan organisasi Islam lainnya. Jamaah Tabligh punya tradisi dakwah berkeliling yang tidak dimiliki oleh kelompok dan golongan muslim lain dan itu juga datangnya dari India.
Jadi kalau MUI menolak Valentine Day dengan alasan itu adalah bukan budaya Islam maka itu sungguh absurd dan menggelikan. Mbok ya coba berikan argumen yang lebih masuk akal karena pakai gamis dan cadar itu budaya asing. Pernahkan MUI menolak pakaian gamis dan cadar dengan alasan itu budaya asing? Hampir semua yang kita lakukan saat ini bahkan adalah ‘bukan budaya Islam’ yang sudah kita terima sebagai bagian dari keseharian hidup kita. Main sepakbola, makan pakai sendok, makan di atas meja, pakai celana panjang, hem, dan jaket, bekerja di kantor dari jam 9 sampai jam 5 sore, menerima gaji pada awal bulan, berkomunikasi dengan telpon dan internet, belanja pakai Gofood, diantar ke mana-mana pakai Grab, mendirikan negara Republik Indonesia, memiliki perwakilan rakyat di DPR, menari lenso, upacara peletakan batu pertama, bikin bangunan bertingkat, hampir semua yang ada dalam kehidupan sehari-hari kita sebenarnya asalnya dari luar dan kita terima dalam proses asimilasi. Bukankah Islam itu sendiri agama yang berasal dari luar Indonesia. Lha kenapa kok tidak disebut sebagai ‘agama asing’…?!
Jika perayaaan Valentine Day ditolak karena mengarah kepada kemaksiatan (dan bahkan ada yang kirim foto paket coklat dan kondom di mini market), kan itu bukan ditujukan untuk umat Islam. Umat Islam itu tidak berzinah baik pada malam VD, atau di malam apa pun karena itu dosa. Semua umat Islam ya sudah tahu. Jadi kalau ada mini market jual kondom jangan lantas berprasangka bahwa mini market itu jual kondom untuk merusak umat Islam dengan melegalisasikan perzinahan dan kemaksiatan. Itu pikiranmu saja yang ngeres.
Jika potensi kemaksiatan VD yang ditakutkan sehingga diharamkan lantas mengapa MUI TIDAK MENGHARAMKAN perayaan lain yang juga merupakan budaya asing dan berpotensi menjurus kepada kemaksiatan?
Perayaan Malam tahun Baru jelas lebih massif dan lebih besar jumlah masyarakat yang merayakannya. Kemungkinan mudharat dan maksiatnya juga lebih besar. Tapi mengapa MUI dan ormas-ormas Islam bersikap LEBIH MODERAT dan tidak mengeluarkan fatwa haram? Kok cuma mengeluarkan himbauan? Kenapa berbeda sikap dengan menghadapi Valentine Day? Ada apa ini…?!
Majelis Ulama Indonesia (MUI) MENGIMBAU umat Muslim Indonesia tidak menyambut tahun baru dengan kegiatan hura-hura dan berlebihan, termasuk menyalakan kembang api atau petasan. Kok cuma HIMBAUAN?
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainud Tauhid Sa’adi mengatakan, TIDAK ADA LARANGAN bagi siapa saja yang ingin bersuka cita dalam merayakan tahun baru Masehi.
Hampir senada dengan Zainud, Ketua Komisi Fatwa MUI Lampung, KH Munawir menjelaskan, merayakan tahun baru TIDAK DILARANG selama tidak berlebihan dan tidak mengandung unsur kemaksiatan.
“MUI MENGIMBAU dalam merayakan pergantian tahun baru diisi dengan hal-hal yang positif dan konstruktif. Tidak dilarang untuk bersuka cita dalam merayakan, namun tetap harus dilakukan dengan cara yang wajar, tidak berlebihan, boros, sia-sia,”
Mengapa MUI tidak melakukan hal yang sama dalam menyikapi VD? Mengapa tidak mengatakan begini misalnya, “MUI mengimbau (kepada umat Islam) dalam merayakan VALENTINE DAY diisi dengan hal-hal yang positif dan konstruktif. Tidak dilarang untuk menyatakan dan mengekspresikan kasih dan sayang kita pada sesama umat, namun tetap harus dilakukan dengan cara yang wajar, tidak berlebihan, boros, sia-sia,” Opo angele sih…?! 😁
Bukankah umat Islam bisa membuat acara tandingan yang lebih positif dan bermanfaat seperti yang mereka lakukan pada malam Tahun Baru seperti sejumlah kepada daerah yang mengajak umat Islam di daerahnya untuk dzikir dan doa bersama. Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengajak umat Islam memperbanyak dzikir, shalawat, dan doa daripada pesta pora yang tidak ada manfaatnya.
Felix Siauw mengatakan bahwa umat Islam yang merayakan Valentine itu berarti mereka sama saja seperti non-muslim. Jelas sekali bahwa Felix Siauw ini akan mengatakan hal yang sama pada umat Islam yang merayakan ulang tahun, merayakan kenaikan pangkat, merayakan Anniversary Day, merayakan Kemerdekaan Indonesia, merayakan kemenangan Persebaya melawan Persija, dll. Itu sama saja seperti non-muslim. Merayakan sesuatu itu bukan budaya Islam. Tapi mungkin dia tidak sadar implikasi dari ucapannya tersebut lha wong Felix Siauw ini memang sangat sering offside dalam berpendapat dengan mengatasnamakan agama. Coba pikir…. Apa sih kewenangan dan kualifikasi seorang muallaf seperti dia dalam menyampaikan fatwa agama? 😂
Kalau kita sekarang melihat bahwa umat Islam bersikap reaktif sekaligus defensif, dan tidak mau dan mampu berpikir dan menilai secara rasional maka sebenarnya itu adalah gambaran dari mutu MUI kita. Mohon maaf jika ada yang menganggap pendapat saya ini sebagai ‘serangan dan pelecehan pada Islam’. Bukan, bro. MUI itu tidak identik dengan ajaran dan representasi Islam. Kalau tidak percaya coba tanya sama umat Islam di Mesir, India, Pakistan, dll. 😁
Surabaya, 15 Februari 2022
Satria Dharma