
Ketika kami menikah 29 tahun yang lalu, istri saya memutuskan untuk berhenti bekerja di Hotel Sahid Surabaya dan ikut saya sepenuhnya di Bontang. Hal ini karena perusahaan di mana saya bekerja bisa memberikan fasilitas rumah dinas dan gaji saya cukup untuk hidup kami berdua. Gaji saya sekarang beberapa kali lipat dari gaji guru PNS yang saya tinggalkan sebelumnya. Saya memang bertekad tidak akan menikah kalau belum bisa menyediakan kebutuhan pokok SPP (Sandang, Pangan, Papan) bagi istri saya. Itu sebabnya saya baru menikah di usia ketika teman-teman saya sudah mengantarkan anaknya ke SD. 😁
Keputusan istri saya untuk keluar dari pekerjaannya dan ikut saya sepenuhnya adalah keputusan pribadinya dan bukan karena saya minta. Dia juga punya komitmen pribadi bahwa kalau dia menikah maka dia akan mempercayai suaminya sepenuhnya dan akan ikut ke mana saja suaminya mengajaknya tinggal. Komitmen dan pengorbanannya ini sangat saya hargai. Saya merasa sangat dipercaya (trusted) dengan keputusan tersebut. Tentu saja kepercayaannya tersebut merupakan amanah yang harus saya pegang teguh. Saya menghormati (respect) dan mempercayainya juga karenanya. Cinta kami kemudian semakin tumbuh karena rasa percaya dan rasa hormat (trust and respect) tersebut.
Setelah bekerja enam tahun di Bontang saya merasa bosan dan ingin keluar dari perusahaan LNG di mana saya bekerja. Pekerjaan saya semakin membosankan dan tak ada tantangan sama sekali. Boring and dragging… 🥴 Justru karena segalanya ‘too comfortable’ dan ‘no more challenges’ maka saya bosan dan ingin mencari kehidupan yang lebih menantang. Usia 40 tahun bagi saya adalah usia yang masih penuh gairah dan perlu saya salurkan dengan mencari tantangan baru. Hidup dan bekerja di perusahaan LNG yang begitu mapan sungguh boring rasanya. Kayak orang yang sudah pensiun saja situasinya. 😁
Karena ingin mengoptimalkan kapasitas diri saya dan merasa mentok di perusahaan tersebut maka saya mengajak istri berunding. Saya perlu minta ijin istri saya. Kalau dia memberi ijin dan bersedia mengikuti saya maka saya akan keluar. Tapi kalau dia tetap ingin di Bontang dan cukup puas dengan apa yang ada ya saya akan bertahan. Toh kehidupan kami sangat baik dan semua kebutuhan kami terpenuhi. Saya akan cari-cari kegiatan apa saja untuk membunuh kebosanan saya jika harus tetap tinggal.
Untungnya istri saya mau ikut saya ke mana pun karena dia sangat percaya pada saya bahwa saya akan mengusahakan segala kebutuhannya. Kepercayaannya yang total inilah yang membuat saya semakin mencintainya. 😍
Kalau sekedar Sandang dan Pangan insyaallah tidak ada masalah. Tapi saya harus meyakinkan istri saya bahwa saya bisa memberinya Papan sebagai tempat tinggal setelah keluar dari PT Badak NGL Co. Jadi setahun sebelum saya keluar dari PT Badak NGL Co saya sudah mencari rumah di Balikpapan yang bisa saya beli dengan tabungan saya yang seadanya waktu itu. Alhamdulillah ketemu sebuah rumah kayu di kampung Gunung Sari di tanah 120 m yang dijual sangat murah.
Seingat saya harga rumah tersebut hanya 11 juta di tahun 1996. Meski demikian tabungan saya tidak cukup dan sebagian masih harus pinjam pada Yayasan kami. Rumah tersebut sangat memprihatinkan kondisinya karena hanya dari papan dan atapnya seng. Untuk masuk ke rumah kami harus turun tangga yang terbuat dari kayu juga.
Bahkan seorang teman dari PT Badak yang berkunjung sangat sedih melihat kami tinggal di situ padahal sebelumnya kami tinggal di perumahan perusahaan yang sangat layak dan penuh fasilitas. Ia tidak habis pikir mengapa kami meninggalkan kehidupan yang begitu nyaman di Bontang untuk tinggal di tempat yang kumuh tersebut. 😔
Tapi kami sungguh bahagia dengan rumah tersebut. Yang jelas itu adalah rumah pribadi kami pertama dan bukan rumah dinas. Dan yang paling penting adalah bahwa saya tidak membuat istri dan anak saya terlunta-lunta karena saya sudah menyediakan SPP untuk mereka, meski pun sangat sederhana.
Bandara Ngurah Rai, 12 Februari 2022
Satria Dharma