Saya kehilangan seorang teman lagi karena Covid 19. Seorang sahabat yang sangat special. Namanya Drs. Med. Rd. Satriyo Witjaksono, atau kami panggil dengan nama Yoyok. Seorang teman yang mengajak saya untuk pertama kali terjun untuk mengelola sebuah bimbingan belajar pada pertengahan tahun 80-an. Bersama dengan seorang teman kuliah saya almarhum Drs. Totok Suciono (sudah lebih dahulu meninggal beberapa tahun yang lalu), kami bertiga mendirikan bimbingan belajar Airlangga Student Group (ASG) dan sempat memiliki cabang di beberapa kota di Jawa Timur. Saya belajar banyak bagaimana mengelola lembaga pendidikan di ASG ini yang terus saya gunakan hingga saya bisa membuka beberapa lembaga pendidikan lain yang terus berkembang sampai hari ini. Jadi saya berutang budi pada teman saya Yoyok dan Totok yang mengajak saya bersama mengelola lembaga pendidikan tersebut. Jika saya tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman mengelola lembaga pendidikan di ASG maka saya mungkin tidak akan pernah memiliki lembaga pendidikan sendiri seperti sekarang. Tidak banyak orang yang mendapat kesempatan untuk belajar mengelola sendiri lembaga atau perusahaan seperti ini.
Zaman itu memang marak bimbingan belajar untuk membantu siswa bisa masuk ke PTN. Pada saat itu saya perhatikan kebanyakan mahasiswa kedokteran UNAIR yang membuka bimbingan belajar ini. Termasuk teman saya Yoyok ini. Dia sudah lulus sarjana medisnya tapi belum koas saat itu (dan akhirnya gelar dokternya memang tidak pernah ia selesaikan karena sibuk cari duit). Ini aneh kata saya dalam hati. Kok bukan mahasiswa IKIP atau alumni IKIP yang membuka bimbingan belajar. Tapi saya kemudian sadar bahwa ternyata mahasiswa Kedokteran UNAIR saat itu memang anak-anak yang lebih aktif dan kreatif untuk cari uang sendiri. Begitu melihat ada kawannya yang membuka lembaga bimbingan belajar maka mereka langsung ikut juga membuka hal yang sama. Agak berbeda dengan mahasiswa IKIP yang mungkin lebih pintar dalam mengajar tapi tidak memiliki inisiatif dan kreatifitas dalam entrepreneurship. Saya sendiri diajak oleh Yoyok karena ia sendiri sebenarnya tidak paham bagaimana mengelola lembaga pendidikan dan menganggap lulusan IKIP seperti saya tentu lebih paham. Dia cuma bonek saja. Yang penting buka dulu dan nanti cari orang yang bisa mengelola. Dan ketemu saya. Ya, saya lebih paham daripada mereka berdua karena saya memang sudah jadi guru PNS pada saat itu dan juga mengajar di bimbingan belajar Mecphiso (ownernya almarhum Dr. Wachid Suyoso yang juga baru saja berpulang juga dari Kedokteran UNAIR). Otomatis saya sendirian yang mengelola ASG pada waktu itu. Mereka hanya turun pada saat mencari siswa pada tahun ajaran baru. Tapi manajemen sepenuhnya di tangan saya. Di situlah saya benar-benar belajar bagaimana mengelola lembaga dan pengajar yang kebanyakan mahasiswa UNAIR, ITS, dan juga IKIP.
Teman saya Yoyok ini sangat saya sayangi karena dia sangat mempercayai saya sepenuhnya. Dia sangat percaya pada saya dan selalu membela saya dalam keadaan apa pun. Dia belakangan menjadi sangat relijius dan berpindah menjadi Nasrani. Sejak itu dia seolah tenggelam dalam dunia reliji dan dia sangat sering mengirimi saya ayat-ayat Injil dan bahkan mengirimi saya surat tentang pengalaman relijiusnya (bahkan memberi saya Bibel). Kami sempat berdebat soal agama tapi itu sama sekali tidak mengurangi nilai persahabatan kami. 🙏
Ada beberapa hal yang saya dapatkan selama berteman dengannya. Yoyok ini orang yang sangat percaya diri dan berani dalam menghadapi siapa pun. Ia tidak punya rasa takut atau segan pada siapa pun karena ia menganggap semua orang itu sama saja. āPodo menungsoneā, katanya. Saya sendiri waktu itu masih beranggapan bahwa ada strata atau tingkatan-tingkatan dalam pergaulan manusia. Saya beranggapan bahwa guru itu levelnya tentu di bawah kepala sekolah dan kepala sekolah di bawah atasannya di Depdikbud, dst. Begitu juga dalam profesi dan tingkatan pergaulan lain. Sebagai guru dengan penghasilan kecil saya menganggap orang kaya berada di atas saya. Pokoknya saya sadar diri bangetlah waktu itu. Apalah saya ini…😎
Tapi Yoyok mengajari saya satu hal. Sebagai manusia kita itu sama saja. Weāre just humans, apa pun predikat, kekuasaan, harta, dan segala yang kita miliki. Jadi jangan lihat mereka dari predikatnya tapi lihatlah mereka sebagai seorang manusia. Kita dalam beberapa hal mungkin malah lebih baik daripada mereka sebagai manusia. Demikian katanya. 😊
Sejak itu saya berubah. Saya mulai melihat setiap orang sebagai manusia, apa pun predikat, pangkat, kedudukan, dan asal-usul mereka. Dan ternyata memang lebih nyaman demikian. Saya tidak pernah lagi terintimidasi oleh segala predikat dan atribut orang yang saya hadapi. Beberapa tahun kemudian saya memandang Mentri Pendidikan sebagai manusia yang sama saja dengan saya yang hanya guru biasa. Saya tidak lagi memandang jabatannya tapi saya memandangnya sebagai manusia yang sama dengan saya. Sejak itu pergaulan saya dengan siapa pun terasa lebih nyaman. Saya tidak merasa terintimidasi atau merasa rendah bergaul dengan orang dengan jabatan apa pun. Belakangan saya kemudian mengenal beberapa Mentri Pendidikan baik yang berteman baik mau pun yang sekedar bertegur sapa seperti almarhum Daoed Joesoef, Wardiman Djojonegoro, Malik Fadjar, Bambang Sudibyo, Muhammad Nuh, Anies Baswedan, Muhajir Effendy, dan Nadiem Makarim. Lumayan tinggi saya melompat dari seorang guru PNS dengan golongan II/b lalu bergaul dengan mentri. 😁
Salah satu yang saya pelajari dari Yoyok adalah kemampuannya untuk menerobos sekat psikologis dengan orang baru. Yoyok ini bisa menyapa siapa saja dan bersikap sok akrab seolah teman lama. Dan ini memang salah satu sikap usilnya. Dia suka sekali menggoda orang-orang yang tidak dikenal dengan sikap sok akrabnya. Dia akan mencari-cari orang yang akan ia sapa seolah teman lama dan bicara ngalor ngidul. Tentu saja karena ia usil dan senang melihat reaksi orang-orang yang ia sapa tersebut. Kami teman-teman yang ikut bersamanya tentu merasa keqi dengan sikap usilnya tersebut dan tertawa sembunyi-sembunyi di belakangnya. Bagaimana kalau orang yang disapanya tersebut marah atau jengkel karena sikap sok kenal dan usilnya tersebut? Mereka tentu akan marah kalau tahu bahwa teman saya itu sebenarnya memang tidak kenal dengannya dan mau usil saja. 😁
Tapi ternyata tidak. Hampir semua orang yang disapanya memberikan respon yang baik dan seringkali mereka akan terlibat dalam percakapan yang akrab. Saya sering terbelalak melihat situasi tersebut. āArek iki gendengā, kata saya dalam hati sambil tertawa. 🤭
Apa yang saya pelajari dari hal ini�!
Saya lalu sadar bahwa kita memang mahluk sosial dan sebagai mahluk sosial maka kita juga memberikan respon sosial ketika ada orang yang menyapa kita. Bagi teman saya itu mungkin sebuah keusilan tapi bagi orang yang disapanya bisa saja itu berarti sebuah keramahan. Dan orang-orang yang ramah dan mau menyapa lebih dahulu selalu disukai di mana pun. Dan saya juga belajar untuk mulai menyapa orang-orang yang tidak saya kenal tapi bukan karena sikap usil tapi karena ingin mengembangkan sikap ramah dan terbuka pada siapa pun. Ternyata jika kita terbuka maka akan sangat banyak hal-hal lain yang juga terbuka untuk kita. Satu langkah inisiatif dari kita akan membawa kita ke langkah-langkah berikutnya yang mungkin akan membawa kita ke hal-hal yang tak terduga dan luar biasa. Saya belajar banyak dari sikap usil Yoyok, sahabat saya yang berpulang kemarin.
Sejak kemarin dan sampai hari ini saya masih terus mengenangnya. I really miss him. Seorang teman yang sangat ceria, peka, peduli, setia kawan, dan sangat relijius. Belakangan ia didera oleh banyak penyakit tapi ia menganggapnya ringan saja. Sepanjang saya menjaga iman saya dengan teguh maka yang lain-lain boleh datang menguji saya, katanya pada saya. Saya sungguh salut dan trenyuh mendengarnya.
Selamat bertemu dengan Tuhanmu, Bro Yoyok. Engkau pasti akan disambut dengan penuh sukacita oleh sesama orang-orang beriman yang telah mendahuluimu. 🙏😔
Surabaya, 24 Juli 2021
Satria Dharma