Sute saya, Ahmad ‘Nanang’ Rizali benar-benar bohwat mengetahui adanya korupsi bansos Covid 19. Saya bisa mengerti mengapa ia menumpahkan kekesalannya di FB dan WAG. Lha wong dia adalah seorang RT yang mengurusi bansos tersebut dan tahu benar betapa ribetnya mengurusi bansos tersebut. Lha kok ini menterinya sendiri yang mengutip fee dari setiap paket bansos tersebut. Ya jelas muntaplah…!
Tahukah Anda mengapa seorang mentri atau dirjen atau direktur di sebuah kementrian masih juga melakukan korupsi meski mereka sudah mendapat gaji dan honor besar dari pekerjaan dan jabatan mereka…?!
Terus terang saya dulu juga heran kok bisa ya mereka orang-orang idealis, kaya raya, berpendidikan tinggi, dari keluarga baik-baik, sudah haji dan sering umroh, kalau bicara selalu istigfar dan bertasbih, bojone ayu dan semlohai, eh! lha kok tertangkap korupsi atau punya selingkuhan juga…! Dulu saya memang heran melihat fenomena seperti ini. Tapi sekarang tidak lagi. Saya malah heran kalau Sute saya masih heran melihat fenomena seperti ini. Lha wong saya dulu justru mendapat pencerahan darinya setelah dia masuk ke lingkaran Ring Satu-nya Kementrian kok. Dulu dia kan Staf Ahli Mentri sehingga begitu masuk ke gelanggang permainan barulah dia tahu bahwa yang namanya korupsi itu memang the name of a game which everybody plays with a numerous levels and styles. Kagetlah dia…! Lha wong sebenarnya dia itu katrok, kaypang tulen, dan gak canggih sama sekali soal lika-liku laki-laki, maksud saya soal bagaimana mengembat atau mengentit uang negara. Untungnya (atau sialnya ya?) dia tidak lama jadi staf ahli. Gak sampai dua tahun dia mekedel jadi pejabat akhirnya dia terpental ikut mentrinya yang tergusur. Entah ini blahi slamet atau blahi apes. Tapi yang jelas saya yang ikut mukti sama Sute saya ini akhirnya kehilangan privilege mekedel juga di Senayan. Padahal sungguh nyaman ongguan bisa mekedel di Kementrian itu. 😂
Kenapa sih korupsi itu begitu sulit dihapuskan dari kementrian atau bahkan dari budaya kita? Ya karena korupsi itu seringkali tidak tampak, tidak terasa, tidak tercium, sebagai korupsi. Lha wong itu ‘praktik baik’ yang kita lakukan sehari-hari tapi kemudian dinamai korupsi. Kan sulit toh!
Bayangkan di sebuah kementrian atau perkantoran yang punya banyak staf honorer (ingat bahwa yang namanya staf honorer ini kadang jauh lebih banyak ketimbang karyawan yang sudah PNS atau ASN). Para honorer ini jelas gajinya sangat tidak layak untuk tugasnya yang kadang menyangkut pengelolaan dana yang bisa puluhan milyaran dalam setiap bulan. Para atasannya tentu kasihan melihat para honorer bekerja keras melihat duit bersliweran begitu banyak tapi honornya hanya cukup untuk naik angkot. Sementara mereka punya anak dan istri yang harus diberi makan dan minum, bayar sekolah, bayar kontrak rumah, cicilan motor, dlsb. Jadi diaturlah sebuah ‘mekanisme’ atau ‘kebijakan’ atau apalah namanya agar air yang melewati pipa ada sedikit yang masih menempel di pipa dan pipanya tidak kering sama sekali. Ini kan demi ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’. Sungguh tidak adil dan beradab jika pipa yang menggelontorkan air bahkan mati kehausan. Pipa air sebegitu besarnya kok ya mati kekeringan… Mbok ya sampeyan itu punya rasa empati sedikit sama para honorer ini. Mereka itu juga manusia seperti kita-kita ini. Dan tentu saja kalau hanya untuk mengatur semacam mekanisme atau kebijakan seperti ini mudah saja. Yang penting ‘ligel’ dan ada peraturan yang mengaturnya. Opo angele sih menyusun kata-kata yang dituangkan dalam sebuah peraturan berbentuk SK yang berlaku internal agar tercapai keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab tadi.
Salah satu cara paling mudah agar pipa bisa tetap basah adalah dengan mengatur agar dalam setiap minggu itu ada rapatnya dan setiap rapat itu ada honornya. Kantor akan membuat anggarannya agar dalam setiap bulan itu ada rapat ini dan itu dan itu ada honornya. Aturan dibuat dan disahkan oleh atasan dan atasannya lagi dan berbentuk SK. Opo angele sih bikin SK ini dan itu. Lha wong itu kantor-kantormu sendiri di mana kamu berhak membuat peraturan.
Jadi begitulah…. 😎
Pertama-tama kaget Sute saya ketika dia ikut rapat dan ternyata dapat honor. Lho kok dapat honor…?! Bukannya rapat ini termasuk tugas staf dalam job desk di mana ia digaji untuk itu…?! Semula Sute saya menolak untuk dapat honor seperti ini. Hati nuraninya merasa ada yang salah. Namanya juga pejabat anyaran. Jiwa mekedelnya masih tinggi. Biasalah masih sok idealis suci murni jagalah hati. Mekedel boleh tapi korupsi jangan, katanya. Ini termasuk korupsi namanya, katanya mencoba protes. Tapi kemudian dijawab dengan halus dan sopan bahwa hal ini sudah diatur dalam mekanisme kerja dan penganggaran kementrian dan telah berlangsung bertahun-tahun. Kalau tidak ada hal semacam ini maka para honorer tidak akan pernah dapat ceperan untuk menopang kehidupan mereka. Ini adalah bentuk empati kepada para honorer yang telah bekerja jungkir balik menggerakkan roda kementrian. 😎
Nah coba bayangkan bagaimana pergulatan batin sute saya yang seorang Staf Ahli Mentri anyaran menghadapi dilema antara kenyataan hidup, idealisme seorang aktivis tulen, pejabat yang harus mengayomi anak buah, rintihan dan tangisan anak dan istri di rumah yang butuh nafkah, dan sebuah amplop tebal berisi berlembar-lembar ojir berwarna merah bergambar dua bapak pendiri bangsa. Tentu saja saya bisa memahami jika pada saat pertama kali sute saya tandatangan tangannya masih gemetar dan di kepalanya masih terngiang-ngiang lagu “Siksa Kubur”nya Ida Laila. Tapi jika sodoran amplop putih tebal ini datang setiap minggu untuk sebuah rapat yang mungkin isinya sekedar basa-basi (tapi demi menunjang kehidupan para honorer yang menghidupi anak dan istri yang menjerit dan merintih) maka lagu “Siksa Kubur” ini akan berubah menjadi lagu “Happy Birthday to you” atau minimal ya “It’s a Beautiful Day”nya Michael Bubble.
Sebentar…sebentar…! 🤔
Sebenarnya saya ini mau nulis soal korupsi ini agak serius. Tapi entah kenapa kalau sudah ingat Sute saya itu kok saya selalu pingin ngakak ya? Remembering his funny face is really disturbing my concentration. 😂
Apa yang saya tulis di atas itu adalah yang paling halus dan benar-benar sudah menjadi praktik sehari-hari yang legal di kementrian. Sebagai seorang Staf Ahli Mentri jelas Sute saya ini diminta untuk berbicara ke sana kemari. Meski biaya perjalanannya sudah dikaver sama kantornya jelas sekali bahwa si pengundang akan memberi honor membuka acara yang amplopnya bisa lebih tebal ketimbang saya, Si Pembicara Utama, yang menggos-menggos nggedabrus bicara berjam-jam. Untungnya Sute saya ini bisa berempati pada rasa iri saya dan berinisiatif untuk mentraktir saya setelah acara selesai.
Jadi sebenarnya pejabat itu tidak usah korupsi saja sudah bisa kaya. Mereka telah mengaturnya sendiri. Maksudnya diatur agar tidak terasa, tidak berbau, tidak tampak seperti korupsi.
Praktik kickback alias upeti untuk setiap proyek di Kementrian adalah hal yang sangat biasa, Istilahnya ‘no woman no cry’, kagak mau ngasih ya maap-maap aje. Dan itu sungguh sudah tidak terasa, tidak tampak, tidak berbau seperti korupsi. Kampus saya pernah ditawari untuk melaksanakan sebuah acara kementrian dengan nilai yang cukup menggiurkan. Tapi tentu saja dengan menyetorkan sejumlah dana terima kasih setelah acara yang diserahkan langsung ke kantor pemilik proyek. Lagu “Siksa Kubur” dan “Tak Semua Laki-laki” saling bergantian mengisi benak saya ketika mengantarkan ‘Dana Terima kasih’ tersebut. Itu praktik korupsi pertama dan terakhir ketika saya menjabat sebagai pimpinan perti. Soalnya setelah itu saya pensiun dini dan tidak sempat lagi menikmati indahnya persahabatan bernuansa give and take dan simbiosis mutualisme semacam itu lagi. Tapi jelas segala jenis korupsi tetap bersliweran sembunyi-sembunyi atau pun terang-terangan di depan mata kita jika kita berada di tempat di mana uang beredar. 😳
Jadi gimana kita akan menghapus korupsi kalau begitu…?! 🤔
Surabaya, 7 Desember 2020
Satria Dharma