
Sampai hari ini (Sabtu, 16 Mei 2020) jumlah kematian karena Covid 19 di dunia adalah 308. 109 orang dari 4.618.489 kasus positif. Peringkat tertinggi masih dipegang oleh Amerika Serikat dengan jumlah kasus 1.482.863 dan jumlah kematian sebesar 88.471 orang. China sendiri sudah turun ke peringkat ke 13 dengan jumlah kasus 82.933 dan jumlah kematian 4.633 orang. Indonesia ada di peringkat ke 34 dengan jumlah kasus 16.496 dan kematian sejumlah 1.076 orang. Not badlah…! Tapi kalau mau cari salahnya Jokowi, Dr. Terawan, Luhut, dan Syahrini ya insya Allah tinggal petik saja.
Tahukah Anda bahwa, meski pun Covid 19 ini mengamuk di seluruh dunia, ternyata ada beberapa negara yang ‘blahi slamet’ sampai hari ini belum ada satu pun warganya yang jadi korban? Bukan hanya Vietnam, seperti yang diulas terus menerus, tapi juga beberapa negara lain seperti : Rwanda, Nepal, Madagascar, Uganda, Kamboja, Mozambique, Mongolia, Macao, Timor Leste, Laos, Bhutan, Papua New Guinea, dan negara-negara kecil yang mungkin sangat jarang kita dengar namanya seperti Seychelles, Greenland, Lesotho, dll. Jadi seperti juga Vietnam, di negara-negara tersebut juga ada beberapa kasus warganya yang terinfeksi Covid 19 tapi tidak sampai meninggal. Lesotho itu hanya ada 1 kasus dan tidak sampai meninggal. Iseng-iseng saya cari informasi tentang Lesotho dan ternyata populasinya hanya 2.140.050 juta. Kira-kira jumlah penduduknya sama dengan Jember atau Sidoarjo.
Terus terang sampai hari ini saya masih juga terheran-heran, judeg, tak habis pikir, ndlahom memikirkan apa sebenarnya yang menyebabkan sebuah negara bisa kena Covid 19 sangat parah sementara ada negara lain yang blahi slamet tidak ada warganya yang sampai mati karenanya. Apa sebenarnya yang bisa membuat sebuah negara bisa terkena Covid 19 sampai demikian parah? Jelas sekali bahwa majunya sebuah negara dalam teknologi, dan banyaknya orang pintar tidak membuatnya kebal. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Spanyol, Rusia, Inggris, Itali, Prancis, Jerman, adalah negara-negara maju yang masuk peringkat 10 besar jumlah korbannya. Apakah jumlah penduduk yang besar akan rentan terhadap jumlah korban? Tidak juga tuh. Faktanya China dengan jumlah penduduk terbesar di dunia sekarang hanya di peringkat 13. India dengan penduduk sebesar 1,1 milyar orang hanya di peringkat ke 11 dengan jumlah korban sebesar 2.753 orang. Jumlah penduduk Spanyol itu hanya 46 juta orang tapi masuk peringkat kedua dengan korban sebesar 27,459 orang. Untuk daftar lengkap sila lihat https://www.worldometers.info/coronavirus/#countries
Lalu apa dong…?! Kekayaan sebuah negara jelas tidak berpengaruh. Virus ini tidak peduli seberapa kaya sebuah negara. Faktanya Negara 10 Besar tertinggi kasusnya adalah negara-negara kaya (kecuali Iran di peringkat 10).
Apakah keimanan dan ketakwaan warganya pada Tuhan berpengaruh pada negara yang terkena Covid 19. Sori, itu pertanyaan yang salah. Iman dan takwa itu tidak bisa diukur. Kalau jumlah masjid dan gereja serta banyaknya jamaahnya memang bisa diukur. Tapi itu kan bukan cerminan dari keimanan dan ketakwaan. Maksud saya apakah negara yang berbasiskan agama ada pengaruhnya pada kebal atau rentannya warganya pada virus ini? Siapa tahu kita berpikir bahwa virus ini tentara Tuhan yang sengaja dikirim ke bumi untuk menghukum manusia-manusia kafir tak beriman yang selama ini menyusahkan hidupnya orang-orang beriman seperti kita-kita ini. Namanya juga dekat dengan Tuhan. Boleh dong sesekali kita GR. Lha wong ngapling sorga aja kita berani mosok GR level begini gak bisa. Tapi ternyata tidak. Gak ngaruh tuh…! Bahkan orang-orang yang asyik dan khusyuk salat dan berdoa di masjid malah dihajar juga. Dasar Covid 19 kafirun Dajjal…! Sing komunis karo ateis malah dilewati. Titenono awakmu nek lewat ngarep omahku…!
Ternyata kekayaan, teknologi, kepintaran, keimanan, ketakwaan, dll tidak ada hubungannya dengan jumlah korban Covid 19 ini. Biarpun kita kaya, pintar, sugih ogah ogeh, anake wong pangkat, punya kenalan polisi, tentara, dan jaksa, tetangganya Luna Maya, pernah disuwuk sama Pak Kyai, sudah khatam Alquran bolak-balik, sopan santun dan punya unggah ungguh, ikut fitness dan les berenang, suka membantu tetangga, hobi sodakoh, kalau Jum’atan tidak pernah lewat ngisi celengan masjid, naik motor selalu pakai helm dan surat-surat lengkap, tidak pernah menggoda istrinya orang lain (tapi digoda lebih dahulu), naik taksi selalu beri tips, dll TIDAK NGARUH…!
Kalau Cak Kopit Songolas ini mau mampir ke tubuh kita ya mampir saja dia tanpa minta izin atau tanya-tanya dulu kek reputasi kita. Apa kalau kita pikir kita sudah berhati-hati dan selalu waspada lalu Cak Kopit ini ndak bisa nembus masker dan APD kita apa? Lha apa kamu pikir para dokter dan perawat yang meninggal karena Cak Kopit ini ceroboh, kurang waspada, lupa protocol, dan jabriyo? Tidak. Mereka semua sangat paham soal betapa berbahayanya virus ini. Tapi toh kena juga. Siapa saja bisa tertular virus ini. Apalagi kamu, kamu, dan kamu yang setiap hari masih kluyuran dan rumongso punya kenalan malaikat.
Apakah semua protokol pencegahan yang dianjurkan oleh WHO dan semua orang pintar di dunia benar-benar jitu, tokcer, mujarab, jaminan mutu, top markotop, ngedap-edapi? Faktanya ya seluruh orang pintar di dunia medis di seluruh dunia sampai sekarang masih terkaget-kaget dengan perkembangan pandemi ini. Sampai hari ini belum ada kesepakatan bagaimana cara dan strategi terbaik dan terampuh untuk mencegah dan mengobati Covid 19 ini, meski semua sudah sepakat bahwa pakai masker, social distancing, physical distancing, cuci tangan pakai sabun, berprilaku hidup sehat, dll BISA MENGURANGI resiko tertular. Vaksin juga belum akan disetujui sampai setahun mendatang. Obat juga masih coba-coba dan belum disepakati oleh kumpulan para ahli. Dulunya dipikir kalau sebuah daerah sudah lockdown ketat dua atau tiga minggu maka Cak Kopit sudah koit dan wassalam. Faktanya ya tidak. Wuhan yang semula dianggap sudah bebas Covid 19 ternyata begitu begitu dibuka lagi lockdownnya muncul lagi virusnya. Sangat tidak mupakat Cak Kopit iki…!
Saat ini bahkan WHO sudah ‘angkat tangan’ dan bilang bahwa kita harus hidup berdamai dengan Covid 19 ini. Opo…?! Berdamai…?! Pale lu peyang…! Emang virusnya mau diajak damai…?! Kita mesti bayar berapa nih sama virusnya? Ini urusan nyawa, Bro…!
WHO melihat bahwa sangat kecil kemungkinan untuk menghapus virus ini dari bumi dalam waktu cepat. Organisasi di bawah PBB ini juga mengingatkan tidak ada jaminan bahwa pelonggaran pembatasan sosial tidak akan memicu gelombang kedua penyebaran virus ini. Siapa tahu malah ada gelombang ketiga dan keempat, dst kayak pendaftaran mahasiswa baru di kampusku.
“Virus ini kemungkinan tidak akan pernah pergi,” ujar Direktur Eksekutif Program Kedaruratan WHO Michael Ryan dalam konferensi pers virtual, Kamis (14/03/20). “Saya pikir penting untuk realistis dan saya kira tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan kapan pandemi ini akan berakhir,” ujarnya. Bahkan, penerapan pembatasan sosial di sejumlah negara diprediksi tak akan mampu menghentikan penyebaran sepenuhnya. Karena virus ini mokong, ndableg, sak karep-karepnya dewe, tapi sakti mandraguna maka kita yang harus dapat beradaptasi di tengah kehadiran virus itu. Kita yang harus berubah. Bagaimana caranya berubah ya carilah sendiri…
Jadi apa kesimpulan yang bisa kita tarik?
Karena saya tidak mampu menarik kesimpulan maka kesimpulan saya sementara ini ya OPO JARE GUSTI ALLAH AE. Terserah Tuhan aja mau diapain kita ini. Mungkin Tuhan memang sengaja membuat kita kebingungan begini untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Semau-maunya. Istilahnya Tuhan mau bilang : Saya adalah yang Maha Berkuasa. Apa pun yang saya kehendaki maka jadilah. Kalau Ane mau begini, ente mau apa..?!
Baiklah, ya Tuhan. Engkau memang Maha Kuasa dan Maha Menentukan segala sesuatu. Apa pun kehendakMu kami akan patuh. Kami pasrah dan ikhlas dengan segala ketentuanMu.
Surabaya, 16 Mei 2020
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com