Beberapa waktu yang lalu saya diundang menjadi peserta diskusi di TV SBO Surabaya bersama beberapa tokoh pendidikan dan undangan lain. Saya lupa apa topiknya waktu itu tapi diskusi menjadi lari ngalor-ngidul dan kehilangan fokus. Salah seorang tokoh yang diundang (saya juga lupa siapa namanya) mengeluhkan bahwa dunia pendidikan Indonesia kekurangan guru dan mengecam mengapa pemerinta tidak membuka kesempatan untuk mencetak guru sebanyak-banyaknya di berbagai daerah. Ia juga mengeluhkan masih rendahnya minat generasi muda untuk menjadi guru. Pendapat ini tentu saja klise dan salah besar. Bahkan hal ini sudah sering dibahas di media massa seperti di Solo Pos dan JPNN.com
Tapi herannya banyak sekali orang yang berpendapat demikian termasuk orang yang sebetulnya bergerak di bidang pendidikan.
Jadi saya kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya negara kita itu SUDAH inflasi guru dan bahkan generasi muda yang ingin menjadi guru itu membludak dan bahkan sudah berpotensi menjadi bom waktu. Hal ini bahkan sudah ditulis panjang lebar oleh Prof. Dr. Muchlas Samani, Rektor Unesa, dengan judul “Bom Waktu LPTK”. Tulisannya bisa dibaca di http://muchlassamani.blogspot.com/2014/01/bom-waktu-lptk.html
Jadi berdasarkan data yang termuat di Majalah Dikti Volume 3 Tahun 2013, ternyata jumlah LPTK saat ini ada 429 lembaga, terdiri dari 46 LPTK Negeri dan 383 LPTK Swasta. Jumlah mahasiswa keseluruhannya mencapai 1.440.770 orang. Ini adalah kenaikan yang sangat mengejutkan karena pada tahun 2010 jumlah LPTK hanyalah sekitar 300an. Artinya ada kenaikan 100 LPTK lebih dalam jangka waktu hanya 3 tahun atau sekitar 30 setiap tahun atau 3 lembaga setiap bulan. Jadi setiap 10 hari muncul sebuah LPTK baru…! Tentu saja statistik ini langsung mematahkan asumsi bahwa minat menjadi guru itu rendah. LPTK-LPTK itu berdiri justru karena besarnya minat anak-anak kita untuk menjadi guru. Yang hilang itu justru minat untuk menjadi sarjana pertanian (Ironis! Mengingat kita adalah negara agraris)
Dengan jumlah mahasiswa 1,44 juta maka diperkirakan lulusan sarjana kependidikan adalah sekitar 300.000 orang per tahun. Padahal kebutuhan akan guru baru hanya sekitar 40.000 orang per tahun. Artinya akan terjadi kelebihan pasokan yang sangat besar. Perlu diketahui bahwa 100-an LPTK baru yang didirikan tahun 2010-2013 jelas belum memiliki mahasiswa sebanyak kapasitas yang mereka persiapkan dan juga baru akan mulai meluluskan beberapa tahun kedepan. Jadi dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi ledakan bom jumlah lulusan LPTK yang jelas tidak akan mungkin tertampung karena terbatasnya kebutuhan dibandingkan lulusan.
KURANGNYA GURU
Apakah benar bahwa SAAT INI negara kita kekurangan guru? Bisa benar dan bisa tidak. Bergantung bagaimana kita melihatnya.
Berdasarkan data yang ada sejak tahun 2009 jumlah guru juga meningkat secara tajam sedangkan jumlah siswa tidak. Sementara jumlah siswa tidak seperti itu. Rasio guru-murid di SD di negara kita adalah 1 : 16, sedangkan untuk SMA mencapai 1 : 12. Ini bukan hanya jauh melampaui ketentuan dalam SPM (Standar Pelayanan Minimal) yang ditetapkan oleh Kemdikbud sebesar 1 : 30 tapi juga jauh lebih ideal daripada negara-negara maju lain. Sebagai contoh di negara lain seperti Malaysia rasionya 1: 20, Jepang rasionya 1: 32, Korea Selatan rasionya 1: 30, dan secara internasional rasionya 1: 32 (satu guru mengajar 32 orang siswa)
Jika ternyata jumlah guru kita begitu berlimpah lantas mengapa masih banyak orang (bahkan di kalangan dunia pendidikan) yang menyatakan adanya kekurangan guru?
Ternyata di beberapa daerah masalah kekurangan guru itu memang nyata dan bahkan beberapa daerah terjadi kekurangan jumlah guru yang parah. Jadi di daerah tertentu, khususnya daerah-daerah perkotaan utamanya di Jawa, terjadi penumpukan guru yang berlebihan sedangkan di daerah-daerah terpencil, utamanya di luar Jawa, terjadi kekurangan guru. Ada juga daerah-daerah di Jawa yang juga masih kekurangan guru seperti di Banten, Tangerang, bahkan kota Semarang. http://jobelist.com/search/daerah-yg-kekurangan-guru-di-indonesia-2013/ Jadi ini adalah masalah distribusi guru yang timpang dan sangat tidak merata. Keanehan lain adalah adanya fakta bahwa ternyata negara kita SAAT INI ternyata kekurangan guru SD sebanyak 112 ribu orang. Bahkan menurut World Bank 34% Sekolah di Indonesia Kekurangan Guru karena distribusi Guru tidak merata. 21% sekolah di perkotaan kekurangan Guru. 37% sekolah di pedesaan kekurangan Guru. 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan Guru dan 34% sekolah di Indonesia yang kekurangan Guru. Sementara di banyak daerah terjadi kelebihan Guru.
“Kondisi kekurangan guru di SD mulai memprihatinkan. Apabila dihitung per daerah, Indonesia saat ini mengalami kekurangan 112 ribu guru SD,” tutur Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemdikbud, Hamid Muhamad saat memberikan keterangan pers dalam rangka memperingati Hari Guru ke-68 di Hotel Anggrek Jakarta, Jumat (22/11).
Menurut Hamid, meski kita punya kelebihan guru tapi ternyata tidak bisa dipindah ke daerah yang kekurangan. Ini semacam benang kusut yang sampai sekarang tidak jelas bagaimana mengurainya karena Kemdikbud tidak memiliki kewenangan dalam mengurus para guru tersebut. Para guru tersebut merupakan kewenangan daerah masing-masing dan di bawah Kementrian PAN.
Hamid menambahkan, jika manajemen guru bisa ditangani lebih optimal, tidak parsial, maka bisa dipindahkan ke kabupaten atau daerah yang berdekatan. “Banyak guru-guru kita menjadi pejabat struktur, seperti camat, kepala desa, dan lain-lain,” tegasnya. Kekurangan guru SD juga kata dia, disebabkan setiap tahunnya ada sekitar 32 ribu guru PNS yang pensiun, sedangkan penggantinya tidak sebesar itu. Hamid juga berharap agar Kemenpan memperhatikan jumlah guru yang pensiun dan yang akan diangkat menjadi PNS, sehingga jumlah kekurangan guru tidak semakin besar. Jadi ada ketidaksinkronan antar kementrian yang mengakibatkan inefisiensi di duni pendidikan kita.
TINGGINYA MINAT MENJADI GURU
Mari kita kembali pada ‘booming’nya mahasiswa LPTK di seluruh tanah air. Menurut Muchlas tampaknya “hukum ekonomi” berjalan dalam perkembangan jumlah guru maupun LPTK. Sejak sertifikasi guru (sergur) dilaksanakan pada tahun 2007 dan kemudian pada tahun 2008 ketika para guru mulai memperoleh tunjangan profesi, maka profesi guru “naik daun”. Orang mulai melihat bahwa profesi guru ternyata juga cukup menjanjikan. Lagipula ‘nampaknya’ lebih mudah untuk menjadi guru di daerah-daerah ketimbang berebut posisi di BUMN-BUMN. Akhirnya banyak orang ingin menjadi guru. Sekolah-sekolah juga menambah guru. Sekolah swasta yang semula “hemat” dalam mengangkat guru tetap, kemudian menambah guru dengan maksud agar mereka dapat ikut sertifikasi dan memperoleh tunjangan profesi. Ini memang aji mumpung. Tapi siapa yang tidak?
Jadi ketika profesi guru naik daun, peminat masuk LPTK meningkat signifikan. Di Unesa, di mana Muchlas menjadi rektor, pada tahun 2013, rasio pelamar dan yang diterima sudah mencapai 1 : 20. Bahkan untuk program studi tertentu, rasio mencapai 1 : 40.
Melihat besarnya minat untuk menjadi guru ini keinginan untuk membuka LPTK juga muncul. Berlomba-lombalah orang mendirikan LPTK. Bahkan LPTK yang sudah ada juga meningkatkan daya tampung. Artinya jumlah mahasiswa di program studi yang sudah ada ditambah. Universitas yang semula tidak memiliki program studi kependidikan, juga membuka program studi kependidikan. Dan itu tidak hanya berlaku untuk PTS. Tahun 2008 jumlah LPTK Negeri hanya 33 buah dan sekarang menjadi 46. Memang ada PTN baru yang pada umumnya punya LPTK. Namun jumlah PTN baru hanya 4 buah. Jadi ada 9 PTN “lama” yang semula tidak memiliki program studi kependidikan kemudian membukanya. Ini benar-benar liberal dan ngawur.
Tapi memang ada dilema. Seperti yang disampaikan oleh Muchlas, Jika kita hanya mengurangi supply dengan mengurangi LPTK dikuatirkan kabupaten terpencil kesulitan guru. Jika jumlah LPTK sangat banyak, dikhawatirkan terjadi over supply yang tidak terkendali.
Apa sebenarnya yang terjadi di dunia pendidikan kita? Apakah kita kelebihan atau kekurangan guru sih sebenarnya? Kok data bisa saling bertentangan begini sih?
Yang jelas adalah ada daerah yang kelebihan jumlah guru dan ada daerah yang kekurangan jumlah guru. Ada daerah yang kelebihan guru tingkat dan bidang studi tertentu dan ada daerah yang kekurangan guru tingkat tertentu dan apalagi guru bidang studi tertentu. Tetapi masalah yang paling besar adalah KURANGNYA GURU BERMUTU.
RENDAHNYA MUTU GURU
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan Kebudayaan (BPSDMPK) dan Peningkatan Mutu Pendidikan (PMP), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Syahwal Gultom, mengakui mutu dan kualitas guru di Tanah Air saat ini masih rendah.
“Hasil uji kompetensi yang dilakukan selama tiga tahun terakhir menunjukkan kualitas guru di Indonesia masih sangat rendah,” kata Syahwal Gultom. Ia mengakui banyaknya guru, utamanya di daerah-daerah, yang tidak lulus uji kompetensi dan sertifikasi sebagai akibat rendahnya mutu mereka.
Menurutnya, buruknya hasil Ujian Nasional (UN) pada beberapa provinsi juga merupakan salah satu indikator rendahnya mutu guru. Banyak guru yang tidak memahami substansi keilmuan yang dimiliki maupun pola pembelajaran yang tepat diterapkan kepada anak didik. Selain itu, kualifikasi guru memang masih rendah.
Gultom mencontohkan dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga saat ini dari 2,92 juta guru, baru sekitar 51 persen yang berpendidikan S-1 atau lebih, sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1.
Begitu pun dari persyaratan sertifikasi hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5 persen guru yang memenuhi syarat. Sedangkan 861.67 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi, yakni sertifikat yang menunjukkan guru tersebut profesional.
“Ada banyak masalah yang harus dibenahi dalam persoalan guru. Selain jenjang pendidikan yang belum memadai, kompetensi guru juga masih bermasalah. Saat dilakukan tes terhadap guru semua bidang studi, rata-rata tak sampai 50 persen soal yang bisa dikerjakan,” katanya. Jadi bahkan ketika diuji dengan bidang studi yang diampunya sendiri para guru itu tidak lulus dan kemampuannya mengerjakan soal dengan benar dibawah 50%. Dari jumlah guru 2.928.322 orang, ternyata 1.424.513 (48,7%) orang belum berkualifikasi S1. Rata-rata nilai Uji Kompetensi Awal (UKA) guru pada tahun 2012 yaitu 42,25, sedangkan rata-rata hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) bagi guru yang telah tersertifikasi yaitu 45,55.
Lho…! Bukankah kalau pasokan guru berlimpah maka akan bisa diperoleh guru yang lebih bermutu? Tidak juga. Persaingan untuk menjadi guru memang akan sangat ketat tapi ini tidak otomatis berarti guru yang terseleksi itu pasti bermutu. Bermutu atau tidak itu akan sangat bergantung pada pendidikan dan pelatihan (dan juga pengalaman sebelumnya) yang diperoleh dari si calon guru. Lihat saja contoh di dunia sepakbola. Meski pun kita memiliki lebih dari 240 juta penduduk dan sepakbola adalah olahraga yang paling disukai tapi untuk mendapatkan tim sepakbola yang tangguh yang jumlahnya hanya 11 orang saja kita termehek-mehek. Tim sepakbola kita saja masih terus kalah dari tim Malaysia yang jumlah penduduknya tidak sampai 30 juta. Jadi bukan jumlah pasokan yang menentukan mutu guru tapi seberapa bagus pendidikan, pelatihan, dan pengalaman mengajar yang bisa diberikan pada calon guru kita.
Jadi meskipun ada 429 LPTK, Negeri dan Swasta dengan jumlah mahasiswa keseluruhannya mencapai 1.440.770 orang tidak ada jaminan bahwa kita akan memiliki guru-guru hebat bermutu setara dengan guru-guru di negara-negara maju. Yang menjadi pertanyaan adalah SEBERAPA BERMUTU LPTK yang kita miliki? Karena sebenarnya rendahnya mutu guru kita adalah cerminan paling nyata dari rendahnya mutu LPTK kita
Bagaimana sebenarnya mutu LPTK kita?
Ternyata belum ada standar mutu pada LPTK kita. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan atau LPTK yang mencetak calon guru hingga saat ini TIDAK memiliki standar kualitas. Tidak ada standar mutu lulusan yang dijadikan patokan dalam meluluskan seorang calon guru. Setiap LPTK bisa meluluskan calon guru dengan kriteria dan standar apa pun..”Padahal, kualitas LPTK sangat menentukan mutu guru yang dihasilkan. Pemerintah harus selektif dalam mengeluarkan izin jika kualitas guru ingin meningkat,” demikian kata Sunaryo Kartadinata, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia yang juga Ketua Asosiasi LPTK Indonesia (ALPTKI), Kamis (17/1), di Bandung.
Persoalannya adalah apakah jika hanya LPTK tertentu yang dibolehkan beroperasi maka LPTK tersebut dapat menjamin bahwa mutu lulusannya akan benar-benar sesuai dengan kebutuhan akan guru yang benar-benar profesional? Bukankah LPTK Negeri sendiri mengakui bahwa mereka belum memiliki standar mutu lulusan mereka sendiri?
Justru karena tidak adanya standar mutu yang baik pada lulusan LPTK mana pun inilah yang kemudian mendorong beberapa lembaga kemudian mendirikan LPTK sendiri karena mereka melihat adanya kebutuhan yang tak terpenuhi oleh LPTK-LPTK yang ada. Ada dua LPTK swasta yang saya ketahui muncul karena melihat adanya kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan guru bermutu. Dan mereka tergerak untuk mengisi kesenjangan tersebut. Dua LPTK tersebut adalah STKIP Al-Hikmah yang berada di bawah YLPI Al-Hikmah di Surabaya dan STKIP Sampoerna School of Education (SSE) di bawah Yayasan Putera Sampoerna. http://www.sampoernaeducation.ac.id/
Apa yang mendorong mereka untuk mendirikan LPTK?
Dimulai dengan membangun sekolah sejak jenjang KB,TK, SD, SMP, dan SMA di Surabaya selama 22 tahun dengan jumlah siswa sebesar lebih dari 2.500 siswa YLPI Al-Hikmah terus merasakan perlunya akan guru-guru yang berkualitas tinggi. Lebih-lebih mereka merasakan perlunya guru berkualitas tinggi yang sesuai dengan kebutuhan sekolah-sekolah Islam, yaitu berakhlaq karimah, kompeten, dan menguasai keterampilan hidup abad 21.
Karena melihat bahwa guru dengan kualifikasi tersebut nampaknya sangat sulit diperoleh dari pasokan lulusan LPTK yang ada maka YLPI Al-Hikmah kemudian mendirikan STKIP Al-Hikmah dengan membuka dua prodi yaitu S1 Pendidikan Matematika. dan S1 pendidikan Bahasa Inggris. Adapun profil lulusan yang hendak mereka hasilkan dapat dilihat di sini.
Menurut Abdul Kadir Baraja, pemilik STKIP Al Hikmah yang berkantor di Jl. Gayungsari IV/25 Surabaya ini ada 5 diferensiasi yang akan membedakan STKIP Al Hikmah dengan LPTK lainnya. Lima perbedaan tersebut adalah:
1. Lulusan STKIP akan melahirkan ”guru pejuang”.
2. Lulusan STKIP Al Hikmah memiliki akhlaq karimah, kompetensi keislaman dan karakter yang kokoh, mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kurikulum dan pembelajaran, serta dapat menjadi teladan untuk membangun budaya sekolah yang Islami.
3. Lulusan STKIP Al Hikmah akan memiliki penguasaan paedagogis yang baik, serta pengalaman mengajar yang cukup sehingga mereka betul-betul siap mengajar, layak mengajar, dan terampil mengajar.
4. Lulusan STKIP Al Hikmah dipersiapkan agar mereka berkelayakan untuk mengajar di sekolah-sekolah nasional dan sekolah-sekolah bertaraf internasional.
5. STKIP Al Hikmah merupakan LPTK berasrama, bertujuan untuk memberikan bekal dan pengalaman yang memadai kepada para mahasiswa, khususnya untuk pembentukan akhlaq karimah.
Untuk mencapai cita-citanya ini Abdul Kadir Baraja tidak segan-segan untuk menggratiskan biaya kuliah dan asrama dari 40 siswa yang akan diterimanya (20 di jurusan Matematika dan 20 di jurusan Bhs Inggris). Biaya kuliah 100% GRATIS alias BEASISWA PENUH selama 4 tahun termasuk biaya buku, biaya pendidikan, serta biaya hidup tinggal di Ma’had atau asrama.
Untuk menopang suksesnya pendirian STKIP Al Hikmah Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Al Hikmah menjalin kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi. Yang tidak kalah penting Al Hikmah juga sudah memiliki lembaga pendidikan yang lengkap, dari KB, TK, SD, SMP, dan SMA sebagai sekolah Lab. Selain sekolah Lab, Al Hikmah juga didukung oleh beberapa sekolah mitra, khususnya sekolah-sekolah Islam yang selama ini sudah banyak berinteraksi dalam berbagai macam bentuk kegiatan bersama. Selain itu kelebihan dari STKIP ini adalah proses perkuliahan di STKIP Al Hikmah menggunakan Blended Learning Approach dan berbasis pengalaman langsung di sekolah. Mahasiswa akan diajak mengobservasi seluruh proses pendidikan di sekolah Lab yaitu sekolah milik YLPI Al Hikmah yang semuanya sudah terakreditasi A. Hasil pengamatan akan langsung menjadi bahan diskusi di perkuliahan yang diperkaya dengan sumber belajar berbasis referensi baik online (jurnal online dan web) maupun offline (buku teks dan jurnal). STKIP Al Hikmah juga melakukan program Ma’had yang wajib untuk setiap mahasiswa. Tujuan dari pemondokan di Ma’had adalah pembentukan karakter calon guru. STKIP Al Hikmah melakukan kerjasama dengan Universitas Negeri Surabaya, Fati College Turki, Cambridge International Centre, serta Klinik Pendidikan MIPA di Bogor.
Fasilitas yang dimiliki STKIP Al Hikmah bisa memanfaatkan fasilitas bersama seperti Hikmah Theater (gedung pertemuan), Sport Center yang dilengkapi dengan kolam renang indoor, dan Hikmah Alam Sejahtera yang merupakan pusat training outbond di Purwodadi.
STKIP KEBANGKITAN NASIONAL
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan KEBANGKITAN NASIONAL’ (STKIP-KN) atau disebut juga Sampoerna Shool of Education (SSE) didirikan oleh Putera Sampoerna sejak 2009 melalui yayasannya Yayasan Putera Sampoerna. Kampusnya terletak di Mulia Business Park Ged. D, Jl. M.T. Haryono Kav. 58-60
STKIP-KN yang diketuai oleh Prof.Dr. Paulina Pannen ini awalnya juga membuka 2 prodi, yakni Bahasa Inggris dan Matematika. Dua jurusan ini dipilih karena kedua mata ajar ini dianggap paling sulit oleh siswa SMA. Begitu kata Ibu Johana Rosalina Kristyanti Ph.D, Direktur Akademik dan Studi di STKIP KN. http://teachersguideonline.blogspot.com/2009/11/stkip-kebangkitan-nasional.html tapi saat ini telah dibuka 2 jurusan baru yaitu Early Childhood Education dan Education Training and Technology. http://www.sampoernaeducation.ac.id/
Seperti juga STKIP Al-Hikmah, STKIP-KN memberikan bea siswa. Beasiswa pada tahun 2010 diberikan pada 89 mahasiswa, yang terjaring dari seleksi atas 1.200 pelamar. Penerima bea siswa ini direkrut melalui jalur seleksi cukup panjang. Berprestasi akademik tinggi, dan harus dari keluarga kurang mampu. Tim seleksinya bahkan berkunjung ke rumah untuk memastikan hal ini. Para calon mahasiswanya harus memiliki passion yang kuat untuk menjadi guru dan bukan karena iming-iming gaji besar. “Mereka yang lolos dari ketakutan masa depan ini kami harapkan memang sudah ingin jadi guru sejak awal. Ada yang sudah diterima di UI tapi tetap memilih di STKIP KN,” kata Johana Rosalina Kristyanti Ph.D. Selain tes bahasa Ingggris, mereka juga harus mengikuti sejumlah tes kepribadian, forum group discussion untuk mengukur kecerdasan dan karakter. Mereka nantinya juga akan diterjunkan untuk mengajar di sekolah-sekolah kumuh agar tergugah panggilan mengajarnya.
Bea siswa yang diberikan selama 4 tahun tersebut ternyata tak sedikit. Untuk siswa asal Jakarta, biaya kuliah sekitar Rp168 juta. Luar Jakarta, mendapat living cost (uang saku, sewa kost, uang buku, biaya riset) total sekitar Rp 223 juta perorang,” jelas Agatha Simanjuntak, Public Relation yang road show ke daerah mensosialisasikan program ini.
Meski sadar bahwa ada ratusan lembaga pencetak guru, SSE percaya bahwa guru bermutu akan terus dibutuhkan apalagi faktanya Indonesia memang masih membutuhkan 10.000 guru profesional tiap tahun yang akan terus bertambah.
Ada pun profil lulusan yang hendak dicapai oleh STKIP Kebangkitan Nasional adalah kemampuan untuk:
1. Mengajar bilingual, sesuai prodi
2. Memiliki scientific inquiry dan kebiasaan daya ilmiah tinggi
3. Trampil memanfaatkan multi media ajar, sesederhana apapun
4. Memilki inovasi, kreativitas, dan moral yang baik
Selepas empat tahun pendidikan, mereka juga masih akan menempuh satu tahun pendidikan PPG (Program Profesi Guru) – nantinya PPG disyaratkan secara nasional oleh Depdiknas mulai 2010.
Dengan semua potensi yang dimiliki maka STKIP KN tidak kuatir dengan bagaimana nasib lulusannya kelak. Profesi apa pun pasti membutuhkan lulusan yang bermutu dan mereka bisa menjamin untuk menghasilkan lulusan yang bermutu tinggi.
Semoga dunia pendidikan kita akan menjadi lebih cerah dengan lulusan LPTK yang bermutu seperti STKIP Al-Hikmah dan STKIP Kebangkitan Nasional ini.
Surabaya, 20 Februari 2014
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Ijin share pak satria. Makasih
Betul sekali pak Satria….ada kesenjangan antara pasokan guru dan mutu. Contoh konkretnya gak jauh2, di sekolah saya saja. Saat ini kami tidak punya guru kesenian dan keterampilan. Guru IPA (fisika) pun kurang. Tapi kami digelontor guru IPS. Sekolah kecil macam kami punya 5 guru ips sementara yg benar2 kompeten hanya 2. Yg 3 hanya penggembira. So…how???