Ada orang-orang tertentu yang tidak bisa menerima fakta bahwa perekonomian bangsa Indonesia memang meningkat dan membludaknya jumlah umat Islam yang umroh belakangan ini adalah salah satu indikasinya.
Kok umroh sih indikatornya…?! Tanya mereka
Lha mau indikator apa? Meningkatnya jumlah orang yang rekreasi? Penuhnya semua resto ketika buka puasa karena banyaknya orang yang bukber? Meningkatnya penjualan Honda HRV? Banyaknya orang pensiunan semacam saya yang kerjanya reunian di berbagai resto dan tempat wisata?
Lha kalau untuk umroh yang biayanya sekitar 20 jutaan per orang saja membludak apa mau ngotot bahwa mereka semakin miskin?
Diah Fakhma membantah dengan mengatakan bahwa banyak di antara mereka yang umroh sebenarnya adalah orang miskin dan mereka bisa umroh karena dapat undian dari toko atau hadiah dari perusahaannya bekerja. Intinya bukan karena dia punya duit untuk dipakai umroh. Diah ini sengaja mencari contoh yang ekstrim. Berapa persen sih orang yang umroh karena dapat hadiah dari perusahaannya atau karena dapat undian? Paling banter ya 1%. Artinya yang 99% ya biaya sendiri atau biaya dari keluarganya. Kalau biaya sendiri atau dari keluarganya maka itu artinya mereka atau keluarga mereka memang punya uang berlebih untuk dipakai berumroh. Itu artinya perusahaan tempatnya bekerja dan keluarga yang membiayai mereka umroh lebih makmur. Dan itu semua adalah indikator peningkatan ekonomi umat Islam.
Suyadi Sastranegara mengatakan banyak rakyat yang menjerit karena kesulitan ekonomi. Lalu apa hubungannya itu dengan mereka yang berumroh? Mereka yang menjerit karena kesulitan hidup jelas tidak akan berpikir untuk berumroh. Masih bisa berangkat umroh kok menjerit? 🙂
“Ya, Allah, saya hidup setengah mati. Tapi demi umroh untuk bertemu denganMu, ya Allah, biarlah itu terjadi.”
“Eit…! Yang benar saja ya…! Engkau bisa menemuiKu di setiap salat dan dzikirmu. Siapa yang menyuruhmu umroh ketika hidupmu setengah mati seperti itu?”
“Saya diajakin terus sama travel haji. Katanya ini ibadah yang bisa membuat saya masuk sorga.”
“Pantesan kok banyak umat Islam yang tertipu dan uangnya amblas dimakan para penipu umroh tersebut. Bertobatlah…!”
Sebetulnya hal sederhana seperti ini tidak membutuhkan penjelasan seorang pakar. Jika Anda mau menggunakan logika Anda dengan baik dan mau membaca sedikit maka hal semacam ini akan terlihat jelas dan terang benderang. Saya yang pensiunan guru SMP saja bisa menjelaskan hal semacam ini dengan panjang lebar kok! J
Suyadi dan Dian menganggap apa yang terjadi di lingkungannya (katanya di sekitarnya kehidupan masyarakat semakin berat dan sulit) merupakan bukti bahwa perekonomian bangsa kita semakin merosot. Tidak, kata saya. Kehidupan masyarakat di sekitar lingkungan saya semakin membaik. Masjid kompleks saya sekarang pakai AC dan karpetnya luar bisa empuknya. Masjid-masjid di sekitarnya juga demikian. Jumlah kambing dan sapi qurban semakin meningkat. Celengan masjid terus bertambah. Dan tentu saja itu semua bukan sumbangan dari para konglomerat tapi sumbangan masyarakat sekitar yang ekonominya membaik. Mereka berdua menolak fenomena semakin banyaknya umat Islam yang berumroh sebagai indikator peningkatan ekonomi masyarakat tapi menggunakan contoh tetangga mereka yang menjerit kesulitan ekonomi sebagai bukti merosotnya perekonomian. Lho gimana sih…?! Bicara teori para pakar tapi ujungnya malah memberikan bukti berdasarkan bisik-bisik tetangga.
Mau bicara secara lebih komprehensif? Untuk bicara lebih komprehensif ya kita harus melihat data dan statistik dengan perbandingan dengan negara-negara lain.
Perekonomian negara kita selama ini tumbuh selalu di atas 5% (kecuali tahun 2015 yang hanya 4,79%) dan itu sungguh bagus. Itu jelas-jelas menunjukkan bahwa perekonomian bangsa kita selalu meningkat dari tahun ke tahun dan makanya banyak umat Islam yang menggunakan kelebihan uangnya untuk umroh (kalau saya mah lebih suka travelling ke berbagai negara lain yang belum pernah saya datangi). Kalau mau membandingkan dengan negara lain maka pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% itu sungguh patut disyukuri. Ada banyak negara yang bahkan pertumbuhan ekonominya bahkan minus. Brazilia, Venezuela, Ukraina, dan Rusia adalah empat negara di antaranya yang pertumbuhan ekonominya bukan hanya mandek tapi bahkan minus. https://www.viva.co.id/berita/bisnis/727719-ini-10-negara-dengan-pertumbuhan-ekonomi-terburuk
Jadi kalau selama ini perekonomian Indonesia stabil di kisaran 5% maka itu sungguh sesuatu yang patut kita syukuri dan bukannya malah kita ingkari. Nikmat yang luar biasa semacam ini kok malah diingkari? Lha wong Donald Trump aja iri kok. https://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/10/120000326/pertumbuhan.ekonomi.indonesia.bikin.trump.iri
“Ah, tipu-tipu itu. Yang meningkat ekonominya itu para konglomerat saja. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Udah pernah dengar lagunya bang Rhoma belum?”
“Lha kalau ente belajar ekonomi sama Bang Rhoma ya kacaulah dunia perdangdutan, Coy. Yang benar adalah semua membaik perekonomiannya, bedanya adalah perbaikan yang kaya itu jauh lebih cepat dari yang miskin. Kalau ente cuma bisa beli motor sementara tetangga udah beli mobil baru atau Sandiaga Uno punya duit trilyunan maka itu bukan berarti yang miskin makin miskin. Itu artinya peningkatan ekonomi ente sangat lambat dibandingkan Sandiaga Uno atau Kaesang Pangarep.”
Tapi jika Anda berdua mau tetap pada pendirian Anda bahwa perekonomian bangsa kita semakin merosot ya bahkan para pakar seperti Adam Smith, Rostow, David Chiang, atau siapa pun yang Anda sebutkan tidak akan membantu. Saya mau istigfar saja. J
Surabaya, 20 Agustus 2018
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com