Seorang teman merasa sangat heran dan tidak habis pikir membaca berita bahwa ada dosen yang tertangkap karena menyebarkan berita bohong dan fitnah. Kok bisa…?! Ya, bisa saja, kata saya dalam hati. 😊 Jangankan hanya sekedar dosen lha wong yang bergelar akademik Doktor dan bahkan yang sudah profesor saja ada yang suka menyebarkan berita hoax. Ada teman sesama anggota MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) yang dokter spesialis bercerita bahwa ia punya seorang dosen yang professor tapi sering menyebarkan berita hoax. Ketika diberi tahu bahwa itu berita hoax atau diberi bantahan dan klarifikasi professor tersebut bukannya berterima kasih malah justru marah dan mengata-ngatai mahasiswanya sebagai tidak punya adab, sok pintar, dll. Aneh bin ajaib memang tapi itulah fakta menyedihkan yang kita hadapi di Indonesia. Kegemaran menyebarkan berita hoax dan fitnah bahkan dilakukan oleh orang-orang yang semestinya justru menjadi garda depan penentang dan menjadi benteng menghadapi para penyebar berita-berita bohong dan fitnah. “Bayangkan betapa ngerinya jika yang menyebarkan berita bohong dan fitnah adalah justru para dosen.”, demikian kata teman saya sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apalagi yang sudah bergelar Doktor dan Profesor ,” kata saya dalam hati. 😄
Sebetulnya ada yang lebih ngeri dan juga sudah terjadi di Indonesia, kata saya dalam hati. Yaitu ketika para ustad, guru agama, kyai dan orang yang dianggap ulama justru menjadi penyebar hoax dan fitnah. Itu adalah benar-benar bencana dan faktanya itu juga sudah terjadi di Indonesia. 😭 Tapi saya tidak ingin menambah beratnya beban pikiran teman saya tersebut jadi saya tidak menyampaikannya. Beban jiwanya karena memikirkan dosen yang menjadi anggota kelompok pembuat dan penyebar berita bohong dengan nama Muslim Cyber Army (MCA) sudah terlalu berat jadi tidak perlu saya tambahi lagi. “Memikirkan masalah penyebar hoax itu berat. Kamu tidak akan kuat. Biar Dilan saja.” demikian kata saya dalam hati yang dilanda Dilanisme.
Jangankan dosen, sedangkan sarjana pun sebenarnya tidak pantas menyebarkan hoax, demikian katanya berapi-api. Bukankah selama empat tahun kuliah mereka itu diajari untuk mendapatkan informasi dari sumber-sumber yang terpercaya, akurat, kuat, valid, didukung oleh berbagai penelitian dan temuan terbaru dalam setiap mata kuliah yang mereka pelajari? Empat tahun penuh mereka diminta, diajari, dan dibimbing untuk bersikap ilmiah, berpikir logis, rasional, argumentatif, oleh para dosen mereka. Selama kuliah mereka tidak boleh mengeluarkan pendapat, argumentasi, opini yang ngawur dan mereka benar-benar dibimbing untuk menjadi seorang intelektual agar nantinya ketika menjadi sarjana mereka tidak menjadi sosok yang asbun dan asmuni. Semua kata-kata yang keluar dari seorang sarjana haruslah mencerminkan intelektualisme yang dilandasi oleh kebenaran dan kebermanfaatan.
“Bayangkan, Cak,” katanya berapi-api, “Jika mereka ditanya oleh dosennya dan mereka jawab bahwa informasi atau pendapat yang mereka sampaikan dan tulis di makalah mereka itu berdasarkan kiriman dari WA, dapat dari teman dekat, informasi dari seseorang yang kebetulan lewat dan melihat kejadian, dari seorang yang bernama Syeh Jonru Almukarrom, dari orang dalam, katanya…katanya…dlsbnya. Opo gak dikeplak kepalanya oleh dosennya?” Saya ngakak mendengar teman saya ini tapi juga mengakui kebenaran pendapatnya. 😄 Lha iya…! Selama empat tahun kuliah setiap mahasiswa diajari, dilatih, dibimbing, diuji untuk menyampaikan pendapat mereka dengan argumentasi yang logis, rasional, berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang telah teruji tapi kok begitu di masyarakat tiba-tiba menjadi manusia kemplo yang seolah tidak pernah dididik sama sekali untuk menyampaikan kebenaran…! 😯 Setelah mendengarkan penjelasan teman saya ini barulah saya menyadari betapa berat beban dan penderitaan teman saya menerima kenyataan bahwa ternyata empat tahun kuliah itu sama sekali tidak ngefek ke sikap akademis dan intelektual para sarjana kita. Ternyata gurunya Dilan benar. “Menjadi sarjana itu berat. Kamu tidak akan kuat. Kamu jadi bintang film aja ya Dilan.”
Setelah mendengarkan curhatan teman saya tersebut saya juga ikut ‘deleg-deleg’ termenung, melamun memikirkan betapa banyaknya masalah yang dihadapi oleh bangsa kita. Bukan hanya para sarjana, dosen, dokter, pengacara, guru, anggota dewan, professor yang suka menyebarkan hoax dan fitnah tapi yang lebih parah menurut saya adalah justru jika orang-orang seperti ustad, guru agama, kyai dan orang yang dianggap ulama justru menjadi penyebar hoax dan fitnah.
Bayangkan…! Para tokoh agama, kyai, ulama, adalah orang-orang yang dianggap ‘mesti bener omongane’ dan tidak mungkin menyebarkan keburukan. Mereka tentulah orang-orang yang paling takut dengan dosa dan hukuman Tuhan jadi tidak mungkinlah jika mereka menyebarkan berita bohong, fitnah, dan kebencian. Orang-orang seperti mereka tentulah selalu merujuk kepada hal-hal yang sudah terverifikasi dengan ketat dan setiap kata-kata yang keluar dari bibir mereka hanyalah mutiara belaka. Bagaimana jadinya jika justru yang keluar dari mulut mereka adalah kebohongan, fitnah, dan aura kebencian? Umat akan nguntal kebohongan, fitnah, dan kebencian bertumpuk-tumpuk setiap hari yang disuapkan justru oleh para tokoh agama. Umat Islam tentu akan lebih percaya dan hooh saja jika yang memberi informasi itu para guru agama, kyai, dan habib. Apalagi jika mereka menyuapkan berita hoax, fitnah, dan kebencian tersebut dari atas mimbar pengajian dengan menyertakan beberapa ayat Alquran dan hadist. Umat akan langsung keracunan di tempat dan sulit disembuhkan. Dikarantina pun belum tentu akan sembuh. Pokoke ngeri pol deh! 😎 Tapi saya tidak sampaikan hal ini pada teman saya. Cukuplah sudah penderitaan jiwanya menanggung fakta bahwa ada dosen yang suka menyebarkan hoax dan bahkan masuk dalam geng penyebar fitnah bernama keren Muslim Cyber Army (MCA).
Karena saya tidak ingin membuatnya merana tiada henti maka saya memberinya semangat dan optimisme. Saya katakan dunia belum akan kiamat karena Dajjal belum turun ke bumi (mungkin masih bikin kisruh di galaksi lain). Indonesia justru sedang menyembuhkan diri dari kegilaan dari situasi fitnah ini. Saya sampaikan bahwa kita masih punya banyak orang-orang waras yang sadar bahwa menyebarkan berita bohong apalagi memfitnah itu bukan hanya berdosa besar dan ancamannya adalah neraka tapi juga merusak bangsa dan negara. Dan mereka bertekad untuk melawan para penyebar hoax dan fitnah ini. Mereka ini justru anak-anak muda berstatus relawan. Para relawan yang artinya tidak dibayar tapi muncul kesadaran dari diri mereka sendiri itu kemudian bergabung dalam komunitas melalui getok tular untuk membentuk kelompok masyarakat yang bertujuan untuk melawan sikap dan prilaku tidak waras tersebut. Mereka ini berpikir bahwa kejahatan dan ketidakwarasan harus dihadapi dengan terorganisir juga. Mereka lalu membentuk kelompok yang mereka namai MAFINDO dan berupaya untuk membentuk kepengurusan di setiap kota dengan menggandeng anak-anak muda lain yang tidak ingin ikut gila. Jangan dipikir melawan prilaku hoax di masyarakat itu mudah lho! Seandainya saya kenal sama Dilan saya akan sampaikan padanya, “Yang berat itu bukan rindu, Dilan. Yang berat itu melawan hoax di masyarakat.” Ada banyak cerita betapa para relawan ini menghadapi berbagai cercaan, hinaan, dan bahkan dimusuhi oleh teman dan keluarga sendiri gara-gara selalu menentang berita hoax dan memberikan klarifikasi. Orang-orang yang sudah kecanduan dengan berita bohong dan fitnah sama sekali tidak suka diingatkan dan diberitahu bahwa berita yang mereka sebar itu hoax dan berpotensi fitnah. Mereka akan melawan, meradang, dan menerjang sebagaimana puisinya Chairil Anwar. Tapi toh ini tidak membuat para relawn ini jerih dan mundur. Mereka tetap istikomah menjalankan perannya dengan mengajak teman-teman yang lain untuk ‘stay sane’ dan tidak ikut ngedhan dengan berita hoax.
Mereka ini kapan hari lalu sowan ke Gus Mus di Rembang sana dan diberi suntikan semangat, “Sing waras ojo ngalah.” Demikian kata Gus Mus. Alhamdulillah, terima kasih banyak, Yai. Lha kalau yang waras ngalah maka Indonesia akan dikuasai oleh orang-orang gila. Kita tentu tidak mau kan? Lha wong baru isu ada beberapa orang gila yang mengincar para ulama saja kita sudah geger. Apa jadinya kalau justru para orang yang benar-benar gila tersebut menguasai parlemen dan pemerintahan. Nyuwun pangapura, Gusti. Naudzu billahi min dzalik.
Jika Anda punya visi yang sama dengan anak-anak muda di MAFINDO maka jangan ragu-ragu untuk bergabung dengan mereka. Ini website MAFINDO https://www.mafindo.or.id/
Ajak teman-temanmu yang lain dan dirikan MAFINDO di kotamu juga. Mari kita hadapi para penyebar hoax dan fitnah dengan cara yang tepat sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Insya Allah Tuhan akan memberkati kita dan akan memberikan jalan terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia. Amin!
Surabaya, 1 Maret 2018