Seorang teman yang dulunya sangat nakal dan kemudian bertobat pernah menyentil saya begini. “Tahu nggak kelebihan bajingan yang bertobat dengan orang yang selalu lurus sepertimu?” Saya diam saja karena tersanjung dengan pujiannya dianggap ‘selalu lurus’. Seandainya saja dia tahu…
“Orang-orang yang pernah tersesat dan kemudian kembali ke jalan yang lurus tidak pernah merasa dirinya bersih. Mereka selalu sadar bahwa dulunya mereka adalah bajingan kotor yang perlu untuk terus membersihkan diri. Begitu kotornya sehingga mereka sadar bahwa mungkin mereka tidak akan pernah menjadi bersih seumur hidup mereka. Mereka tidak akan pernah menghakimi orang-orang yang sedang tersesat apalagi yang sedang berusaha untuk kembali ke jalanNya. Mereka lebih fokus pada upaya memperbaiki dirinya dan tidak pernah merasa sudah suci dan berhak untuk menilai dan menghakimi orang lain.”
Saya terhenyak dan tidak mampu berkata-kata. Arek iki nek ngantem kok yo pas nang ulu hati. Emoji
“Para bajingan yang berupaya kembali ke jalan yang lurus itu selalu diliputi oleh rasa malu pada perbuatannya yang lalu. Sedangkan mereka yang rutin salat tahajud di malam hari dan puasa Senin-Kamis mungkin merasa dirinya adalah orang-orang terpilih dan merasa bangga dengan ibadahnya.”
Saya langsung bertanya dalam hati di mana posisi saya. Apakah saya pernah merasa malu pada perbuatan buruk saya di masa lalu atau justru merasa bangga dengan ibadah-ibadah saya? Jangan-jangan….
“Para bajingan yang malu dengan perbuatannya tersebut bahkan mengaku sudah bertobat saja malu. Mereka tidak yakin apakah diri mereka benar-benar sudah bertobat karena ia tidak yakin siapa tahu bakal kembali menjadi bajingan lagi suatu hari.”
“Lalu bagaimana kita tahu apakah mereka sudah bertobat atau belum?” tanya saya.
“Mereka tidak akan gembar-gembor menyatakan sudah bertobat tapi akan menghindari dan menjauh dari lingkungan di mana ia dulu tenggelam dalam kemaksiatan.”
“Maksudmu mereka akan ganti penampilan menjadi lebih alim dengan pakai baju koko dan kopiah ke mana-mana?”
Teman saya tertawa.
“Mungkin tidak. Mereka bahkan akan malu berganti penampilan seperti itu. Itu mungkin akan terjadi kalau para bajingan tersebut sudah merasa dirinya bersih. Tapi seperti yang saya katakan, mereka tidak akan pernah merasa diri mereka bakal bersih. Bajingan yang bertobat bahkan akan mencari masjid-masjid yang jauh dari lingkungannya di mana ia akan bisa mendekatkan diri pada Tuhan tanpa diketahui oleh siapa pun yang mengenalnya. Rasa malunya terlalu besar. Ia malu kalau dikira sudah benar-benar bertobat oleh orang-orang di sekitarnya dan di lingkungannya. Sebuah sanjungan akan terasa sangat besar untuk ia tanggungkan. Dihina dan dilecehkan justru akan terasa lebih layak baginya yang kotor tersebut.”
Tiba-tiba saya diserang oleh rasa malu pada teman saya ini. Kadang saya menikmati penilaian orang terhadap diri saya yang tinggi sedangkan saya tahu betul seperti apa sebenarnya diri saya.
“Awakmu nyindir aku yo?” tanya saya. Ia tertawa dan saya ikut tertawa, sedikit kecut.
Ini adalah sebuah percakapan ringan yang terasa berat bagi saya. Saya merasa malu dan sekaligus bersyukur mendapatkan pencerahan dari teman yang hebat ini. Semoga Tuhan selalu melindungi kami dari kesombongan spiritual yang menyesatkan.
Surabaya, 21 Desember 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com