“Orang seringkali menganggap berjalan di atas air atau udara adalah suatu keajaiban. Padahal keajaiban yang sesungguhnya adalah saat berjalan di atas bumi. Setiap hari kita bersentuhan dengan keajaiban yang tak kita sadari: langit biru, awan putih, dedaunan hijau, warna hitam, keindahan dari mata anak-anak- kedua bola mata kita. Semua itu adalah keajaiban” (Thich Nhat Hanh, seorang Budhis).
“Lalu Anda sendiri dilahirkan untuk menjadi apa? Ini sebenarnya pernyataan, bukan pertanyaan, bahwa kita hidup harus menjadi sesuatu. Tentu sesuatu itu harus memberikan manfaat, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Tanpa menjadi sesuatu kita akan kehilangan makna. Makna dalam hidup adalah hal yang penting karena akan menjadikan kita merasa berharga. Salah satu alasan orang putus asa dan bunuh diri adalah mereka kehilangan makna dan harga diri…”
Tulisan di atas saya kutip dari buku baru yang saya peroleh dan baca dalam penerbangan saya dari Jogya ke Surabaya kemarin. Judulnya adalah “Hidup, Cinta, Dan Bahagia” dan diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Sebuah buku yang sarat dengan kisah-kisah yang penuh hikmah dan dituliskan dengan sangat menarik. Sebuah buku yang mengajak kita untuk senantiasa bijak dan bahagia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Buku “Hidup, Cinta, Dan Bahagia” adalah karya seorang sahabat muda saya yg bernama Iqbal Dawami. Iqbal Dawami adalah editor dari buku saya “Muslim Kok Nyebelin” yang diterbitkan oleh penerbit Bentang Pustaka Jogya. Tapi kini ia tidak lagi di Bentang Pustaka dan memilih tinggal di Pati dan fokus menulis (dan mencintai pekerjaannya). Beberapa waktu yang lalu kami sempat bertemu di stasiun Tugu Jogyakarta. Saya terkejut melihatnya karena ia jauh lebih muda daripada yang saya perkirakan. Saya memang mengira ia lebih tua karena saya pernah membaca buku karyanya yang ditulis dengan nuansa kebijakan seorang tua yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Bagaimana mungkin seorang yang masih begitu muda memiliki pemahaman dan hikmah hidup yang begitu dalam?
Buku “Hidup, Cinta, Dan Bahagia” ini jauh lebih bagus daripada bukunya, “Di Kereta Pramex”, yg saya baca sebelumnya. Jarak waktu tiga tahun dari penulisan dua buku ini nampaknya memberikan kematangan jiwa dan kepiawaian menulis yang semakin mantap. Buku barunya ini mengajak kita untuk senantiasa bijak dan bahagia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
“Pesan buku ini sangat indah, yaitu bila hidup dibingkai dengan cinta dan ketulusan, yang ada hanyalah keindahan dan kebahagiaan.” demikian kata Prof Komaruddin Hidayat memuji buku ini.
Buku ini menampilkan kisah-kisah dan peristiwa yang diambil dari pengalaman tokoh-tokoh besar dan juga dari kehidupan Iqbal Dawami sendiri yang ditulis dalam bahasa yang indah dan mengalir lancar. Kadang kisah dan peristiwa yg dimunculkan cukup sederhana tapi dikemas dengan sudut pandang yang berbeda dan mampu menghasilkan pemahaman yang baru dan segar.
Sebagai contoh adalah pengamatannya langsung ketika mengajak anaknya jalan-jalan ke pematang sawah hampir setiap pagi. Mereka memperhatikan saat padi ditanam, tumbuh dalam keheningan, menghijau, berisi, semakin lama semakin berisi dan menguning. Iqbal memperhatikan betapa padi yang tumbuh dalam keheningan memang semakin berisi semakin menunduk. Di sinilah Iqbal mendapatkan hikmah bahwa manusia semestinya memang harus semakin hari semakin berisi. Dan jika semakin berisi maka hendaknya manusia juga semakin merunduk alias semakin rendah hati dan bijak. Tak ada padi berisi yang menegakkan kepalanya. Tapi kebanyakan kita justru semakin menegakkan kepala ketika Tuhan menambahkan rejeki dan karunianya pada kita. Ketika gelar akademik baru kita raih, jabatan kita naik, gaji kita naik, kendaraan baru, bonus bertambah, maka semakin tegaklah kepala kita. Sungguh berbeda dengan padi. Ilmu padi memang telah kita pelajari, baik melalui peribahasa atau buku-buku bacaan. Tapi mengamati langsung pertumbuhan dan perubahan padi sehingga kita memperoleh hikmah dari itu memang sangat jarang dilakukan orang. Iqbal melakukannya.
“Bagaimana agar hidup kita memiliki arti? Gampang saja, kita harus memiliki misi dalam hidup. Dengan adanya misi kita dapat mencari alasan keberadaan kita di dunia. Pencarian itu kemudian mengarahkan pada aktivitas yang dapat memenuhi misi kita. Misi itulah yang kemudian menjadikan Anda merasa bermakna dan berharga. Dengan misi tersebut Anda akan terdorong untuk melakukan apa yang seharusnya Anda lakukan dan tidak tergoda untuk melakukan apa yang tidak boleh Anda lakukan.” demikian lanjut Iqbal.
Salah satu tulisannya yang membuat hati saya ‘mak nyes’ adalah “Apa Kabar, Cinta?’. Iqbal menulis begini :
“Sudahkah kita bersyukur hari ini? Setiap napas yang kita hirup adalah karuniaNya. Kalau tidak bernapas, kita tak bisa berbuat apa-apa.
Sudahkah kita bersyukur atas apa yang kita makan dan minum hari ini? Tanpa rezekiNya, kita mungkin sudah kelaparan dan kehausan.
Sudahkah kita berbuat baik kepada orang lain? Tanpa bantuan orang lain, kita mungkin telanjang, tidak bisa mendapatkan makanan, dan tidak bisa membaca koran.
Sudahkah kita mendoakan keluarga, saudara, teman, dan orang-orang yang kita kenal atau tidak? Tanpa mereka mungkin kita tidak menjadi seperti ini.
Apa kabar, cinta? Aku berdoa semoga kamu selalu sehat dan bahagia. Tanpa kamu aku tak mungkin bisa memiliki orang tua, istri, anak, dan teman-teman baik. Itu semua karena kamu. Tanpa cinta itu sama seperti mati…
Indah sekali rasanya. Tulisan ini membuat saya lantas berdoa pada Tuhan : Ya, Allah! Limpahilah hatiku dengan cinta kepadaMu dan pada ciptaanMu. Tanpa cinta dariMu hamba sungguh mahluk tanpa arti. Amin!
Surabaya, 16 Desember 2014
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com