Pernah mendengar kisah David dan Goliath? Ini adalah kisah dari Kitab Suci yang sangat menginspirasi tentang bagaimana si kecil bisa mengalahkan si besar. Dalam Islam ceritanya dikenal dengan nama Daud (David) dan Jalut (Goliath). Serangkaian kisah beberapa tokoh seperti Shammil (Samuel), Talut (Saul), Jalut (Goliath) dan Daud (David) dikisahkan dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 246 hingga 251. Kisah tersebut dalam Al-Kitab dijelaskan dengan pemaparan kisah yang cukup panjang. Bible mengisahkannya secara panjang lebar, namun inti kisah tak jauh berbeda seperti yang ada dalam Al-Qur’an meski dalam beberapa hal terjadi perbedaan.
Kisahnya adalah sbb :
Daud yang waktu itu masih bocah dan membantu keluarganya menjadi penggembala diperintahkan oleh ayahnya untuk membawakan makanan bagi tiga orang kakaknya yang turun berperang bersama Saul melawan tentara Filistin. Bangsa Filistin yang merupakan musuh bebuyutan bangsa Israel terkenal sebagai bangsa yang berpengalaman dalam perang. Hari itu mereka berhadap-hadapan di Lembah Elah. Medan pertempuran ini tidak jauh dari rumah Daud.
Daud pun berangkat pagi-pagi meninggalkan kambing dombanya pada seorang penjaga dan pergi membawa bekal makanan tersebut.
Saat itu kedua belah pihak tentara berada di punggung bukit dan tidak ada yang mau turun ke lembah lebih dahulu. Kalau mereka turun ke lembah lebih dahulu dan kemudian menyerang ke atas bukit musuh tentu akan dengan mudah dikalahkan. Akhirnya orang-orang Filistin kehilangan kesabaran dan mengutus prajurit terhebatnya, yaitu Jalut (Goliath), untuk maju bertarung satu lawan satu. Goliath ini seperti raksasa dengan tinggi hampir tiga meter mengenakan helm perunggu dan baju zirah lengkap. Untuk persenjataannya ia membawa lembing, tombak, dan pedang. Seorang pembantu membawakan perisai besarnya dan maju untuk menantang pasukan Israel. Goliath berteriak “Ayo…! Pilih jagoanmu dan lawan aku. Pilihlah bagimu seorang, dan biarlah ia turun mendapatkan daku. Jika ia dapat berperang melawan aku dan mengalahkan aku, maka kami akan menjadi hambamu; tetapi jika aku dapat mengungguli dia dan mengalahkannya, maka kamu akan menjadi hamba kami dan takluk kepada kami. Aku menantang hari ini barisan Israel; berikanlah kepadaku seorang, supaya kami berperang seorang lawan seorang.”
Kubu Israel ketakutan dan tak seorang pun yang berani untuk maju. Siapa yang berani melawan raksasa yang menjulang tinggi dengan pakaian dan persenjataan lengkap seperti itu? Itu sama dengan bunuh diri artinya.
Saul Raja Israel kebingungan dan menawarkan janji kepada siapa saja di antara pasukannya siapa saja yang berani maju melawan Raksasa Filistin ini dan jika menang akan dianugerahi raja kekayaan yang besar. Saul akan memberikan anaknya yang perempuan kepadanya dan kaum keluarganya akan dibebaskannya dari pajak di Israel. Tapi tak ada yang berani maju untuk menghadapi Raksasa Filistin ini. Ini adalah ‘mission impossible’ dan sama dengan bunuh diri. Alih-alih mendapat istri putri raja dan kekayaan malah maut yang akan dijumpai. Yang benar aja, Coy…!
Daud tentu saja mendengarnya karena ia berada di antara pasukan tersebut. Ia heran karena tak satu pun tentara Israel yang berani maju menghadapi raksasa dari Filistin tersebut. Sekedar untuk difahami, Daud adalah seorang anak yang sangat pemberani. Sebagai penggembala ia tidak gentar menghadapi singa atau beruang yang mau memakan kambing gembalaannya. Jika ada singa atau beruang yang menerkam seekor domba dari kawanannya maka Daud akan mengejar singa atau beruang tersebut dan melemparinya dengan batu dengan ketapel sehingga singa atau beruang itu melepaskan domba itu dari mulutnya. Baginya menghadapi lawan yang besar dan menakutkan bukanlah hal yang baru dan ia samasekali tidak gentar.
Karena tak ada tentara yang berani menerima tantangan itu ia lalu melangkah maju dan menawarkan diri untuk melawan raksasa dari Filistin tersebut. Tentu saja Saul heran dan menolaknya. Bagaimana mungkin seorang gembala yang masih muda dan tidak punya pengalaman bertempur akan melawan seorang raksasa yang hidupnya adalah bertarung dan berperang? Sungguh musykil dan tidak mungkin rasanya Daud akan bisa menghadapi Goliath, si raksasa Filistin ini.
Tapi Daud bersikeras dan ia menyatakan bahwa baginya mengalahkan lawan yang lebih besar dan ganas bukanlah hal baru. Sehari-hari ia berhadapan dengan singa dan beruang dalam menjaga domba-domba yang ia gembalakan.
Saul tidak punya pilihan. Sebagai raja ia sudah mengumumkan kepada siapa saja yang berani maju menghadapi Raksasa Filistin dan hanya Daud yang berani menerima tantangan dan mengambil kesempatan tersebut. Oleh sebab itu ia terpaksa membolehkan. Agar Daud tidak dibunuh oleh Goliath dengan sekali tebas dan agar ia bisa sedikit mengimbangi maka Saul meminjamkan pedang dan zirahnya untuk ia pakai. Tapi Daud menolak karena ia tidak perna memakai zirah dan itu akan membuat gerakannya lambat. Saul akhirnya membiarkan bocah gembala ini berlari maju menyongsong Goliath, si Raksasa Filistin di Lembah Elah.
Yang terjadi berikutnya adalah legenda. Daud mengambil batu dan menaruhnya di ketapel senjatanya dan melontarkannya tepat ke dahi Goliath yang tak terlindungi oleh zirah. Goliath tumbang. Daud mendekatinya, mengambil pedangnya dan memenggal kepalanya. Kedua belah pihak tentara gempar.
Bagaimana ini mungkin terjadi? Bagaimana mungkin Daud yang kecil dan nampak lemah ini dengan mudah memenangkan pertarungan satu lawan satu yang nampak musykil dan samasekali tidak seimbang ini?
Malcolm Galdwell menulis sebuah buku yang sangat menarik dengan judul “David and Goliath” dan menjelaskan kesalahpahaman kita dalam melihat masalah. Menurut Gladwell yang kuat tidak selalu BENAR-BENAR kuat. Dan dalam kasus Daud justru sebenarnya Jalutlah pihak yang lemah. Jalut adalah sosok yang besar dan lamban dengan senjata yang salah untuk menghadapi sosok Daud yang gesit, lincah, bersenjatakan ketapel yang mampu menembakkan batu dengan kecepatan tinggi pada jarak sampai 180 meter. Seorang ahli sejarah, Robert Dohrenwend menyatakan bahwa peluang Jalut mengalahkan Daud adalah sama dengan peluang sembarang prajurit Zaman Perunggu bersenjata pedang mengalahkan lawan bersenjata pistol otomatis kaliber 45…! Jadi ini sungguh terbalik dengan apa yang kita yakini selama ini bawa si besar pasti bisa mengalahkan si kecil. Sebaliknya, si kecil justru bisa memenangkan peperangan dengan mudah.
Buku Malcolm Gladwell ini menjelaskan bahwa kita terus membuat kesalahan-kesalahan asumsi seperti seperti dalam kasus David dan Goliath ini dengan konsekuensi yang serius mulai dari cara mendidik anak sampai cara kita menghadapi kejahatan dan kekacauan. Sebagai contoh, Gladwell bertanya berapa besar kemungkinan kemenangan tentara sebuah negara melawan negara lain yang kekuatannya sepuluh kali lebih besar darinya? Kita akan mungkin mengatakan tidak ada harapan. Melawan yang sepuluh kali lipat populasi dan kekuatannya…?! Gila apa…?!Tapi ahli ilmu politik Ivan Arreguin-Toft pernah menghitungnya dan ternyata kemungkinannya adalah 29,5% lawan 71,5%. Jadi sepertiga dari semua perang dengan skenario seperti itu justru pihak yang lemah yang menang.
Bagaimana jika pihak yang lemah bertindak seperti Daud dan menolak bertempur seperti yang diinginkan oleh pihak yang kuat, yaitu dengan menggunakan taktik gerilya atau taktik lain yang tidak biasa? Ternyata prosentasi kemungkinan menangnya naik menjadi 63,6%…! Daud tidak menghadapi Jalut dengan adu pedang dan Daud tidak tahu, apalagi peduli, bahwa semestinya ia menghadapi Jalut dengan pedang di medan pertempuran. Ia seorang gembala yang tidak peduli dengan tetek bengek tata cara militer. Dan ia memenangkan pertempuran dengan cara yang sangat mengejutkan semua pihak. Buku ini menjelaskan banyak contoh untuk itu.
Dan salah satunya adalah tentang pendidikan.
Sebagai guru (dan orang tua) kita selalu menganggap bahwa belajar di kelas dengan jumlah siswa yang kecil itu selalu lebih efektif bagi mutu pendidikan. Kita selalu cemas dengan kelas-kelas yang berjumlah besar dan berharap bahwa anak-anak kita belajar di kelas kecil tidak lebih dari belasan anak dalam satu kelas. Tapi ternyata setelah diteliti hampir tidak ada bedanya…! Penelitian mengenai ukuran kelas selama bertahun-tahun menunjukkan hasil yang membuat kita menggelengkan kepala. Ada bukti-bukti yang saling bertentangan. Lima belas persen penelitian menemukan bukti signifikan bahwa murid lebih berprestasi lebih baik di kelas kecil. Tapi yang menemukan bukti signifikan bahwa murid berprestasi lebih buruk di kelas kecil ternyata sama banyaknya. Prancis adalah satu-satunya negara yang menunjukkan perbedaan mutu dalam pengajaran sains dan matematika di kelas kecil. Tapi di Ceko, Korea, Portugal, Romania, Slovenia, Spanyol, Jepang dan Singapura tidak ada efek pada ukuran kelas. Jadi apa yang kita yakini sebagai kelebihan mungkin BUKANLAH kelebihan.
Gladwell memberikan contoh yang lebih menarik dalam efek perbedaan status ekonomi dalam pendidikan. Jadi orangtua yang baik itu susah kalau kita terlalu miskin. Kemiskinan itu melelahkan dan membuat stress. Dan kita semua sepakat bahwa lebih mudah mendidik anak jika kita kaya. Benarkah…?! Yang jelas tak seorang pun bakal berkata bahwa makin banyak uang yang kita miliki akan selalu membuat kita menjadi orang tua yang makin baik. Uang membuat orang tua lebih mudah mendidik sampai pada titik tertentu, yaitu ketika penambahannya tidak lagi berpengaruh. Tapi ada titik tertentu di mana uang justru membuat anak justru semakin sulit untuk dididik. Orang bisa sangat menderita karena miskin tapi banyak juga orang yang menderita justru karena terlalu kaya. Anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga yang berlimpah bisa kehilangan ambisi, kebanggaan, dan harga diri. Sebaliknya, anak miskin bisa belajar untuk mengenal nilai uang dan makna bekerja untuk mendapatkannya dan mereka akan memiliki rasa senang dan puas karena berusaha sendiri dalam hidupnya. (Hey…! It sounds like me…!) Bagaimana kita mendidik anak-anak tentang pentingnya nilai uang yang kamarnya berpendingin udara, luas, dan lengkap dengan segala perlatan gadget yang ia inginkan tanpa pernah berusaha sedikit pun? Bagaimana kita bisa mendidik mereka untuk mengenal apa arti berupaya dan bekerja keras dalam atmosfir demikian? Kami selalu kesulitan untuk menanamkan pentingnya upaya dan kerja keras pada anak-anak karena mereka hidup di dunia yang berbeda dengan kami. Mereka akan tertawa saja kalau saya jelaskan betapa untuk bersekolah dulu saya harus berjalan kaki 16 km pp dari rumah ke sekolah tanpa sarapan yang memadai. “Itu kan hidupnya Bapak. Masak kami arus ikut cara hidup Bapak dulu…?!” sengat mereka dengan telak. Dan saya pun termangu-mangu menyadari betapa tidak efektifnya ‘glorifying the fight in the past’. We live in different world.
Memiliki terlalu banyak uang memberikan kita kesulitan dalam membesarkan anak secara normal. Kurva garis lurus ke atas antara kekayaan dan pengasuhan akan turun dan bahkan bisa menjadi kurva U terbalik. Begitu juga dengan jumlah siswa di kelas. Mungkin ada bedanya antara jumlah 40 siswa dengan 18 siswa di kelas, tapi tidak ada perbedaan antara jumlah siswa 18 dan 25 di kelas. Kalau kelas hanya 8 orang justru bisa lebih tidak efektif. Artinya, kelas kecil berpotensi sulit dikelola guru sebagaimana kelas sangat besar. Di kasus kelas besar masalahnya adalah potensi jumlah interaksi yang harus dikelola sedangkan di kelas kecil adalah intensitas interaksi potensial. Saya sendiri sebagai guru bahasa Inggris tidak pernah suka mengajar kelas privat karena sulitnya membuat pembelajaran menjadi menarik dengan bermain dengan berpasangan dan kelompok. I never enjoyed teaching privately.
Buku Malcolm Gladwell ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca oleh para guru dan orang tua. Buku ini akan membuat Anda menjadi lebih menyadari beberapa hal yang mungkin sudah kita anggap ‘taken for granted’ padahal bisa berarti sebaliknya.
Beli dan bacalah buku ini dan nikmati hasil pemikiran dan penelitian Malcolm Gladwell ini. Bahasanya enak dan tidak membuat kening kita berkerut. Sebaliknya, kita akan sulit untuk berhenti membacanya. Saya sampai diingatkan oleh istri bahwa kami punya jadwal jogging pagi ini.
OK, saya jogging dulu ya…! Saya tunggu komentar Anda.
Surabaya, 16 Januari 2014
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Luar biasa ceritanya Pak, yang suoerpower blm tentu bisa menang dgn yang kecil.
Kalau liat video cerita tentang Daud, yang ada dalam benaknya saya adalah kepolosan, keluguan, dan keikhlasan Daud lah yang membuat dia mengalahkan goliath.
Awesome pak, seingat saya Montessori juga bikin model pembelajaran dimana jumlah siswa dikelas ga sedikit, banyak banget malah karena siswa beberapa tahun digabungin dengan satu kelas, tapi efektif untuk modelnya yang maunya ada interaksi antara semua anak di kelas 🙂