Setelah tahu bahwa saya akan ketamuan orang Brazil saya segera mencari buku pelajaran bahasa Spanyol di Gramedia. Maksud saya kalau bisa berkomunikasi sedikit-sedikit dengan bahasa mereka kan mereka akan senang. Saya ingin jadi tuan rumah yg menyenangkan tamu. Dan salah satu cara untuk menyenangkan mereka menurut saya adalah dengan mengajak mereka berkomunikasi dg bahasa mereka sendiri. Soalnya saya tahu betapa senangnya kita kalau tamu asing kita bisa mengucapkan satu atau dua kata bhs Indonesia. “Tarima kasi. Salamat pagi…!” dengan cengkok Londo. Rasanya bangga banget gitu…!
Setelah mengubek-ubek akhirnya ketemu juga dua buku pelajaran bhs Spanyol (sekarang buku pelajaran bahasa Korea yg menguasai rak-rak buku bahasa asing). Lega…! Mahal dikit gak apalah. Apalagi yg satu ada CD-nya.
Entah mengapa saya yakin betul bahwa orang Brazil itu menggunakan bahasa Spanyol sebagai bahasa nasionalnya. Saya pikir semua negara Latin itu menggunakan bhs Spanyol sbg bahasa nasionalnya. “Hola. Buenos dias…! Muchas gracias…” Saya membayangkan diri saya mengucapkannya dengan begitu fasihnya sehingga mereka mungkin mengira saya masih pakliknya Ronaldinho. “Habla muy bien el espanola, senor.” Saya tersipu-sipu sendiri membayangkannya.
Eeeh…! Begitu ketemu barulah saya tahu bahwa orang Brazil tidak menggunakan bhs Spanyol tapi bahasa Portugis…! Muito abrigado…! Bom dia…! Per favor…! Ternyata hanya orang Brazil (dan Portugal, tentu saja) yg menggunakan bhs Portugis sbg bhs nasionalnya. Negara Amerika Selatan lainnya menggunakan bhs Spanyol. Maka sia-sialah beberapa kata-kata bhs Spanyol yg telah saya hapalkan dengan sedikit sisa memori di otak saya. Dua buku percakapan bhs Spanyol yg dilengkapi dengan CD itu pun terpaksa saya benamkan di rak buku saya. Rugi aku…!
Kekatrokan lain adalah bahwa saya mengira orang-orang Amerika Latin itu wajahnya seperti Pele, Ronaldinho, Socrates, atau Salma Hayek. Eeeh…! Lha kok yg datang wajahnya bule semua. Londo Brazil…!
Kejutan lain adalah ternyata para Londo Brazil ini tidak bisa berbahasa Inggris. Hanya satu, yaitu Simone, pemimpin rombongan yg bermata biru yang bisa berbahasa Inggris dengan baik. Itu nampaknya karena dia punya sekolah bahasa asing di Ribeirao Preto. Jadi dialah yg ketiban sampur menjadi penerjemah mereka. Ada beberapa yg mengerti sedikit perkataan kita dalam bhs Inggris tapi ngomong gak bisa. Cassia yg tinggal di rumah kami tidak bisa berbahasa Inggris ‘babar siman’ (padahal saya lihat bawa kamus bhs Inggris – Portugis yg tebal) sehingga kami terpaksa berkomunikasi dg bahasa Tarzan, “Me Tarzan, you Jane, Ok…?!. Auuwoooo…!”
Apa sarapannya orang Brazil? Karena kami harus menyiapkan sarapan bagi Cassia maka kami terpaksa menduga-duga. Tapi kami yakin bahwa Cassia tidak sarapan kreco rebus, krengsengan pete, dan pecel lele. Gak potonganlah! Jadi kami tidak menyediakannya. Bisa mendelik dia lihat ada pete bakar satu papan di meja makannya.
Maka supaya aman maka kami menyiapkan sup, buah-buahan, nasi, dadar jagung, telur, roti tawar lengkap dengan berbagai selai, kering tempe, entah apa lagi karena saya tidak sempat mendatanya. Buahnya saja ada tiga macam, buah pir Shandong, apel, dan pir Australi yg besarnya sekepalan tangannya Mike Tyson. Di atas piring sudah teronggok dua potong sandwich dari roti gandum dengan isi ikan tuna. Minumnya ada tiga, yaitu teh, jus apel, dan air putih. Kopi memang tidak kami sediakan karena dia bilang ‘no coffee’. Untungnya istri saya tidak menyediakan paket minuman tradisional beras kecur, kunir asem, dan temu lawak. Itu pun meja makan sudah terasa kayak ada food festival. Saya menduga istri saya panik kuatir tamunya gak mau sarapan kalau hanya satu atau dua menu. Jadi dikeluarkannya paket heboh tersebut. Wakakak…!
Eee…! Gak tahunya Cassia bilang dia cuma sarapan teh atau jus dan roti. That’s all. Tiwas tak tokno kabeh isine kulkasku, rek…! Beginilah nasibnya orang katrok.
Acara pertama yg mereka ikuti adalah pelajaran tentang batik dan praktek membatik sekalian. Adalah Mas Wahyu pemilik toko batik Pasongsongan di Royal Plasa yg memandu mereka. Selain itu ada demonstrasi melukis yg dilakukan oleh Bu Nana Tomi di rumah beliau di Rungkut Asri. Semua tembok rumah ini baik yg di dalam maupun yg diluar sudah dipenuhi oleh lukisan baik lukisannya sendiri mau pun lukisan koleksi. Di antara koleksinya ada lukisan Affandi, Hendra, Roestamaji, Bagong Kussudiarjo, dll. Harga lukisan koleksi ini sudah ratusan juta per bijinya. Kegiatan ini ada diliput oleh Jawa Pos sedikit dalam liputan ttg batik keesokan harinya.
Hari berikutnya adalah ke Bromo. Saya dan Ika ikut karena kami sudah lama tidak ke Bromo. Kami ingin tahu apakah Gunung Bromo masih di Probolinggo atau sudah pindah ke Jombang. Hehehe…! Kami ke Bromo terakhir kali sudah sangat lama dan seingat saya Bromo sangat dingin sehingga membuat saya menderita karena tidak bisa tidur.
Jadi utk menghadapi cuaca dingin kali ini saya akan hadapi habis-habisan. Saya akan pakai ‘long john’ kali ini. Kalau Anda tidak tahu apa itu ‘si john panjang’ ya berarti Anda lebih katrok daripada saya. Hahaha…! It’s nice to get company.
Selain ‘long john’ saya juga membawa singlet, kaos lengan panjang, sweater dan jaket tebal khusus utk musim dingin yg begitu dimasukkan ke rangsel langsung penuh saking tebalnya. Saya tidak mau main-main dengan dinginnya puncak Bromo. Kalau ada apa-apa dengan tubuh saya kan saya sendiri yg menderita. Sedangkan sampeyan kan cuma baca cerita saja dan tidak ikut menderita. Iyo pra…?!
Anehnya, para bule Brazil ini berangkat dengan baju tipis lengan pendek tanpa ada yg bawa jaket. Mereka ini tidak tahu betapa dinginnya Bromo atau memang sakti mandraguna sih…?! Gak mungkin mereka tidak tahu atau kurang informasi.
Tapi setelah sampai di hotel Cemara Indah tempat kami menginap barulah saya tahu rahasia mereka. Ternyata hotel menyediakan persewaan jaket tebal khusus utk hawa dingin beserta semua ubo rampenya. Sebelumnya di terminal Sukapura mereka sudah beli sarung tangan dan topi khusus yg menutupi kepala dan telinga. Pantesan kok mereka santai-santai saja…! Lha wong memang lebih praktis dan juga murah nyewa ketimbang ‘otong-otong’ jaket tebal dari rumah.
Jam 3 pagi ketika asyik-asyiknya tidur di bawah selimut tebal kami dibangunkan. Perjalanan utk melihat matahari terbit ke puncak Penanjakan memang dimulai pada jam tersebut. Tujuan pergi ke Bromo ya memang untuk rame-rame lihat sunrise. Dengan menaiki jip 4 wheel yg sopirnya sungguh lihai kami mendaki menuju ke puncak Penanjakan yg ternyata sudah ramai. Apa mereka ini tidak tidur dan melek semalaman di puncak Penanjakan ya?
Ternyata di puncak Penanjakan sudah disediakan bangku-bangku kayu bertrap ke bawah seperti di teater untuk menanti terbitnya matahari yg tentunya sangat eksotik. Turis asing tumplek blek. Padahal ini bukan musim liburan dan juga bukan weekend. Bayangkan penuhnya kalau pas liburan atau weekend…! Kami semua menunggu munculnya matahari pagi sedikit demi sedikit dengan kamera siap kokang masing-masing dengan tegang. Untunglah pagi itu langit sangat cerah tanpa kabut samasekali. Ketika akhirnya matahari bangun dari tidurnya dengan menggeliat lambat bak gadis remaja malu-malu maka tanpa dikomando kami semua menghujaninya dengan tembakan-tembakan kamera. Kami baru mengarahkan kamera ke obyek lain, utamanya untuk nampang dan numpang eksis, ketika matahari telah menampakkan dirinya secara penuh dengan cahayanya yg menerangi bumi yg menghampar di bawah kami. It’s so beautiful…!
Satu hal yg saya syukuri adalah bahwa masih ada yg sempat sholat Subuh di tempat semacam ruang terbuka yg dijadikan mushalla karena disediakan sejadah dan mukenah.
Setelah puas berfoto-foto kami pun turun dengan jip yg perkasa tsb menuju ke Gunung Bromo melintasi lautan pasir. Beberapa kelompok orang jalan kaki melintasi lautan pasir ini menuju puncak Bromo. Saya sungguh bersyukur tidak perlu jalan kaki. Dulu saya jalan kaki semalaman. Kalau waktu ada upacara Kesada lautan pasir ini akan penuh dengan manusia sehingga menjadi lautan manusia. Sebelum pura kami berhenti dan ganti jenis transportasi, yaitu kuda. Sungguh eksotik liburan kali ini.
Beberapa puluh meter sebelum tangga menuju puncak Bromo kami turun dari kuda dan mulai jalan kaki. Tiupan angin kencang membawa debu pasir yg sangat halus terus menerus menghantam sehingga menghalangi pandangan kami. Untung kami sudah diingatkan utk bawa masker. Sayangnya tidak ada yg mengingatkan utk bawa kacamata sehingga mata kami sering kelilipan. Mau deh rasanya beli kacamata fashion yg lebar itu kalau begini.
Tangga untuk naik ke puncak Bromo cukup sempit dan jalurnya dibagi dua, satu utk naik dan satunya utk turun. Jadi baik naik mau pun turun kita harus antri dan mengikuti orang di depan kita. Ada sekitar 250-an anak tangga yg ada dan tentu cukup melelahkan. Apalagi di puncak gunung yg udaranya tipis seperti Bromo. Kami cukup tersengal-sengal mendakinya dan harus berhenti berkali-kali. Untungnya disediakan semacam tempat utk berhenti tanpa harus mengganggu antrian naik atau turun.
Tapi begitu sampai di atas…wow…! Pemandangannya sangat indah…! Sungguh tidak rugi kita bersusah payah utk menaikinya. Superb…! Magnific…!
Salah satu acara lain yg saya ikuti bersama mereka pagi tadi adalah mengunjungi YPAB (Yayasan Pendidikan Anak Buta) di daerah Gebang Putih. Di sana kami disambut oleh anak-anak SMP YPAB yg tentu saja semuanya tidak dapat melihat tapi mampu memainkan angklung dengan sangat indahnya. Mereka memainkan lagu-lagu “Titanic”, “It’s Now or Never” dan beberapa lagu pop lainnya dengan angklungnya. Sungguh sangat menyentuh. Suasana menjadi emosional sehingga membuat mereka terharu dan meneteskan air mata, termasuk saya yg memang cengeng ini. Karena tidak bisa menahan haru akhirnya saya keluar ruangan saja. Kan malu kalau saya mewek di hadapan cewek-cewek Brazil itu. Wajah Jango kok hatinya Rinto…!
Satu hal yg saya heran adalah bahwa yayasan ini ternyata masih kesulitan dana utk menyelenggarakan pendidikannya karena masih bergantung pd sumbangan dan donor. Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benak saya alangkah hebatnya jika anak-anak buta yg sebagian besar dari keluarga miskin ini diangkat sebagai anak asuh oleh para dokter mata. Kalau satu dokter mata mengasuh dan membiayai satu anak tuna netra maka tentunya tidak ada lagi masalah pembiayaan. Bukankah ada puluhan dokter spesialis mata yg tinggal di Surabaya saja? Tapi itu kan cuma ide (…and idea is cheap, of course). 😀
Setelah ke Museum The House of Sampoerna saya tidak mengikuti lagi jadwal mereka. Mereka ke Tugu Pahlawan, Hotel Majapahit, Mirota dan makan siang di Tempo Doeloe. Malamnya mereka nonton ‘Cultural Night’ sambil dinner di Resto Kowloon. Acara terakhir nanti malam mereka akan diterima oleh Bu Risma, Walikota Surabaya, di rumah dinasnya di Walikota Mustajab.
Saya yakin mereka sangat terkesan dengan pengalaman yg mereka dapatkan, ketulusan pelayanan dan keramahan panitia Friendship Force Surabaya yg sangat kompak itu. Mereka bahkan sudah merancang apa yg akan mereka lakukan sebagai balasan nanti kalau kami berkunjung ke Brazil pada Agustus tahun depan.
Rio Carnival di Rio de Janeiro…?! Udah lewat. Jadwalnya itu Februari 2014.
Mungkin saya mau belajar nari Samba saja…
Surabaya, 6 Oktober 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Wah ..bagus banget pak gaya nulis anda. Klaau bisa bikin blog dalam bahasa Inggris pasti mendunia anda. Di Jakarta juga ada penulis wanita anggota FF Jakarta. Namanya ibu Free Hearty. Urang awak. Beliau sudah pernah menjadi ambassador ketika ada kunjungan ke USA tahun lewat. Bagaimana kalau kita kirim para penulis ke USA dan home stay disana selama 2 minggu? Saya bisa bantu atur kemana anda ingin pergi dan mungkin sarasehan dengan para penulis disana. That’s an idea. And an idea is cheap like you said. ha..ha..ha.. Salam kenal, Arifin Mochtar.
Terima kasih banyak atas kunjungannya ke blog saya. Idenya sangat menarik dan perlu kita diskusikan lebih lanjut. Kapan bisa bertemu utk mendiskusikannya?