Lebaran selalu menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga besar kami. Keluarga besar…?! Koyok keluargane Mafia ae… Tapi bagaimana tidak besar lha wong saya ini bersaudara sebelas orang…! Dulu jaman saya remaja pun punya saudara sebanyak itu sudah cukup memalukan.
“Haah…! Kamu punya saudara kandung sepuluh orang…?! Bapakmu manajer Persebaya tah…?!”
Bayangkan betapa ‘mbedhodhog’nya hati saya kalau mendapat serangan pertanyaan kurang ajar seperti itu. Dan siapa yang tidak tahu betapa kurang ajarnya arek Suroboyo kalau sedang mengejek temannya. Akhirnya saya cuma bisa menjawab misuh, “makmu kiper…!” atau ‘makmu kancutan seng’ dalam hati. Punya anak sebelas memang bukan main rasanya. Mungkin sekarang punya anak sebelas sudah masuk kategori melawan pemerintahan yang sah, upaya penipuan, atau minimal nista tercela. Entahlah…! Kini tak satu pun dari kami yang bersebelas itu berani mengambil resiko punya anak sebelas. Separohnya pun kami tidak ada yang berani. Ngeri…!
Tapi sekarang punya anak sebelas itu bukan main berkahnya bagi orang tua kami dan juga kami sendiri. Walau pun dulu orang tua saya jungkir balik termehek-mehek nguripi anak sewelas tapi lihatlah sekarang….! Sebelas anaknya sudah jadi orang semua (Alhamdulillah tidak ada yang keliru jadi wedus gimbal, wit-witan, atau bekicot). Padahal keluarga kami dulu status melaratnya lumayan parah, minus 20 derajat. Bisa makan tiga kali saja sudah termasuk cita-cita yang luhur. Lha wong saya saja harus sekolah jalan kaki 16 km pulang pergi setiap hari kalau pas ortu gak bisa memberi uang transport. Sepeda rongsokan aja gak punya. Tapi alhamdulillah masa-masa sulit dan berat tersebut kini telah berlalu. Sungguh ajaib dan misterius hidup ini…! Sebelas anak tersebut telah berkeluarga dengan bahagia dan bekerja dengan penghasilan yang lumayan. Setiap anak sudah punya rumah masing-masing (bahkan ada yang punya rumah empat, ada yang punya kos-kosan dengan 16 kamar, dan ada yang punya tanah yang sudah ditawar pengusaha 8 M). Bahkan kami punya ‘kompleks perumahan’ di Balikpapan di mana sembilan orang dari kami punya rumah bersebelahan. Rumah saya bahkan punya ‘connecting door’ ke rumah adik saya di sebelah.
Alhamdulillah…! Allah melapangkan rejeki bagi siapa yang dikehendakiNya dan menyempitkan siapa yang dikehendakiNya. Untungnya keluarga kami masuk dalam kelompok yang dilapangkan pintu rejekinya. Rupanya tidak salah doa yang saya panjatkan sejak dulu, yaitu : “Ya Allah..! Masukkan hamba dan keluarga hamba ke dalam golongan yang sedikit, yaitu golongan orang-orang yang selalu bersyukur kepadaMu.” Bukankah tidak mungkin kita bisa bersyukur kalau hidup dalam keadaan melarat…?! Gendeng opo wong melarat kok malah bersyukur…?! Yang biasanya dilakukan oleh orang melarat adalah bersabar. Dan rasanya keluarga kami sudah cukup lama bersabar dan sudah tiba saatnya bagi kami untuk masuk pada fase bersyukur. J Saya sering guyon sama teman sesama anggota partai Kaypang. Saya tanya apa doanya kalau habis sholat. Kalau doanya,”Ya, Allah..! Berilah hamba kekuatan iman dan kesabaran menghadapi cobaanMu ini.” Ya insya Allah akan diberi kekuatan dan kesabaran untuk hidup melarat. Hidupnya akan tetap melarat tapi ia akan kuat dan sabar dalam menerimanya. Lha memang mintanya itu je…! 🙂
Pokoknya kami sekarang sudah hidup makmur berkat perjuangan dan doa dari kedua orang tua kami yang sungguh sabar menghadapi cobaan sebelas anaknya yang mucil-mucil tersebut. Tapi ada yang lebih menyenangkan daripada itu semua, yaitu bahwa kami bersebelas itu hidup rukun dan saling menyayangi satu sama lain sejak kecil. Tidak ada sama sekali perasaan iri kami pada satu sama lain. Kalau bertengkar mah biasa, rek! Tapi sumpah tidak ada yang berkelahi sambil bawa pentungan atau senjata tajam, umpamanya. Apalagi sampai manggil preman Joyoboyo. Sungguh ini merupakan karunia Tuhan yang luar biasa indahnya. Dan itu mungkin karena kami sudah ‘disuwuk’ sama ayah kami. Setiap Jum’at jika ada uang ayah kami membeli gula merah dan kelapa di pasar Wonokromo. Kelapa dan gula merah itu kemudian dipotong kecil-kecil dan air kelapanya dimasukkan baskom. Oleh ayah kami kelapa, gula merah, dan air kelapa tersebut dibacai doa, entah doa apa, tapi kata beliau doanya adalah agar kami bersaudara merasakan gurih dan manisnya bersaudara seperti kelapa dan gula merah tersebut. Kami kemudian diberi sepotong kelapa dan gula merah untuk kami makan dan setelah itu minum air kelapa yang sudah dirapali doa tersebut. Kami sih selalu senang dapat ‘snack’ kelapa dan gula setiap hari Jum’at. Percaya tidak percaya tapi doa ayah kami itu sungguh mujarab. Meski ada saudara yang mucil bin mokong, umpamanya, toh kami tetap mencintai dan menyayanginya karena gurih dan manisnya ramuan ayah kami dulu. Meski demikian jaman telah berubah dan kok ya tidak ada di antara sebelas anaknya ini yang mau melestarikan ritual makan kelapa dan gula merah tersebut. Kalau pun ada mungkin bukan kelapa dan gula merah lagi yang dipakai tapi pizza dan ikan bakar rica-rica yang dipakai.
Saat ini kami bersilaturrahmi dan berkomunikasi setiap hari melalui BBM Group yang kami beri nama ‘Eleven’ utk kami bersebelas dan grup ‘H2B’ untuk semua anak, mantu, dan keponakan. Ada saja ‘jokes’ yang kami share setiap harinya. Meski demikiani lebaran bersama adalah momen yang selalu kami tunggu-tunggu dan bahkan rancang setahun sebelumnya. Kami selalu merencanakan di mana kami akan berkumpul berlebaran setiap tahun setahun sebelumnya. Lebaran bersama kami bisa di Balikpapan, bisa di Jakarta, bisa di Surabaya, atau dimana panitia kecil keluarga kami memutuskan.
Tahun ini lebaran bersama jatuh di Surabaya.
Tentu saja ini menguntungkan saya yang sudah tinggal di Surabaya tapi cukup merepotkan saudara-saudara saya yang tinggal di Balikpapan. Sekedar informasi, begitu mendekati lebaran harga tiket pesawat langsung meroket dan paling murah dua juta rupiah untuk pulang pergi. Nah, bayangkan berapa biaya mudik ke Surabaya jika dalam satu keluarga ada lima atau enam orang. Belum lagi biaya akomodasi, konsumsi, dan transportasi mudik ke rumah mertua masing-masing setelah dari Surabaya.
Untuk membantu maka kami tetapkan agar ada donasi bantuan transport dari yayasan kami untuk masing-masing keluarga. Tahun ini ditetapkan sebesar 6,5 rupiah juta per keluarga. Lumayanlah untuk mengurangi beban pengeluaran.
Tentu saja rumah kami di Darmokali sudah tidak akan cukup menampung para ‘mudikers’. Hanya ada tujuh kamar di sana dan meski pun anak kami suka tidur ‘umpuk-umpukan’ dengan para sepupunya tetap tidak akan cukup. Jadi jauh-jauh hari beberapa dari kami sudah booking akomodasi dengan menyesuaikan dengan ‘kelas’ atau kemampuan finansial masing-masing. Sebagian keluarga ada yang menginap di Youth Hostel, Hotel Oval, Hotel Mercure, dan Grand Darmo. Tapi itu hanya untuk tidur. Biasanya begitu bangun dan mandi mereka langsung meluncur semua ke Darmokali untuk ketemu dan ngumpul keluarga. Tahu berapa jumlah kami semua kalau pada ngumpul waktu lebaran begini? Berdasarkan perhitungan kasar saya maka jumlah saudara, ipar, anak dan sepupunya, menantu serta seorang cucu jumlah semuanya bisa mencapai 60 orang lebih…! Bayangkan betapa kemriyek dan crowdednya suasana….! Tapi justru suasana seperti ada orang demo inilah yang kami nanti-nanti. Hehehe…!
Senyaman-nyamannya ngumpul kalau tempatnya sesak ya jadi gak nyaman. Oleh sebab itu kami selalu menyewa villa untuk menikmati lebaran. Dan tahun ini kami sepakat untuk berlebaran di Trawas pada hari ke tiga dan ke empat. Kami sudah menyewa sebuah villa besar yang biasa dipakai untuk pertemuan dan pelatihan selama dua hari setelah lebaran. Villa itu sudah lengkap dengan kolam renang. Jadi para anak-anak kami sudah menyiapkan baju renang masing-masing karena selalu ada lomba dan hadiah yang kami siapkan untuk mereka.
Bagaimana dengan logistik? Sekedar dipahami, anak-anak kami biasanya langsung nggragas makannya begitu lebaran dimulai. Apa saja yang dihidangkan akan lenyap dalam sekejap seperti sulapnya David Copperfield. Oleh sebab itu kami atur agar setiap keluarga membawa bekal masing-masing. Untuk itu sudah diatur siapa yang membawa rendang, siapa yang bawa sambal goreng ati, siapa yang bawa opor, lontong, kue, buah, dll. Tentu saja semua dalam jumlah besar. Yang jelas kami harus bawa mie instan berdus-dus dan telur berpiring-piring. Anak-anak kecil yang kemriyek itu tidak pernah berhenti beraktivitas dan biasanya juga selalu lapar. Mie instan dan snack selalu menjadi penyelamat dalam keadaan demikian. Para ibu-ibu biasanya juga hampir tidak pernah lepas dari dapur. Bergantian saja mereka memasak dan menjerang ini dan itu. Order makanan dan minuman bisa datang bertubi-tubi dan mulut-mulut kecil itu harus selalu bisa dipuaskan.
Bagaimana dengan transportasi? Jelas keluarga yang datang dari Balikpapan tidak membawa kendaraannya. Tahun lalu memang ada yang mengirim kendaraannya ke Surabaya tapi ternyata setelah dihitung-hitung biayanya lebih besar ketimbang menyewa saja di Surabaya. Lha ongkos ferrynya saja sudah hampir 8 juta pp. Belum lagi bensin dan ongkos lain-lain. Jadi kami harus menyewa mobil bagi mereka jauh-jauh hari sebelumnya agar tidak kehabisan. Untuk ke Trawas mungkin kami akan menyewa bis mini selain kendaraan masing-masing keluarga yang sudah ada.
Apa yang juga menyenangkan bagi anak-anak kami selain lomba-lomba dan bermain kartu bersama sepupu-sepupunya? Momen yang ditunggu adalah pembagian angpau. Beberapa dari kami bersaudara, dan terutama Opa atau ayah kami, sudah rutin membagikan angpau kepada semua yang hadir. Dan karena cukup banyak Om dan Tante yang membagikan angpau maka anak saya Tara kemarin bisa mengantongi uang angpau sejuta lebih. Makanya anak-anak selalu menunggu-nunggu momen bagi angpau ini.
Saat ini hampir semua keluarga telah sampai di Surabaya kecuali beberapa orang termasuk Opa dan Mama Tia yang beli tiket terlalu mepet dengan hari Lebaran. Dan suasana rumah di Darmokali dimana saya dulu dibesarkan sudah seperti kapal Titanic yang sedang pecah minus Leonardo Di Caprio dan Kate Winslet.
Tapi suasana itulah yang selalu kami rindukan setiap tahun…
Surabaya, 5 Agustus 2013
Salam
Satria Dharma
http://satriadharma