Jika guru perlu diwajibkan membaca satu buku WAJIB BACA untuk meningkatkan profesionalismenya maka tanpa ragu-ragu saya akan mengajukan buku “Sokola Rimba” yg ditulis oleh Butet Manurung. Buku yg sangat menarik ini memuat kisah nyata Butet dengan dedikasi dan kegigihan yg luar biasa mengajar anak-anak Rimba membaca di tengah hutan belantara. Buku ini mengisahkan pengalaman Butet ketika terpanggil jiwa dan raganya utk mendidik anak bangsa yg berada di dalam hutan yang tidak diperhatikan seolah bukan anak bangsa yg berhak utk mendapatkan pendidikan. Buku ini memuat kisah tentang keteguhan hati, kegigihan, dan keuletan Butet Manurung dalam menghadapi tantangan dan halangan dalam upaya mendidik anak-anak Rimba. Dengan membaca pengalaman Butet dalam menghadapi kesulitan dan tantangan dalam mengajari anak-anak Rimba membaca, kita sebagai guru akan merasa sadar dan malu utk menyampaikan keluhan atas kesulitan yg kita hadapi dalam mengajar sehari-hari. Pengalaman Butet dalam mengajar di tengah hutan belantara membuat semua kesulitan dan halangan yg kita hadapi dalam mengajar menjadi tidak berarti. Buku ini sungguh luar biasa dan layak utk dijadikan buku WAJIB BACA bagi setiap guru dan mereka yg ingin menjadi guru. Buku ini bisa menyadarkan kita betapa besar tugas mendidik sebenarnya dan betapa kecil sumbangsih kita kepada bangsa. Buku ini akan dapat membuat Anda memperoleh banyak pelajaran tentang hidup dan kehidupan serta akan membuat Anda mau tidak mau harus merasa berendah hati. Ini buku dahsyat yg bahkan menurut saya harus menjadi buku bacaan wajib bagi setiap siswa SMA agar mereka dapat menyerap semangat idealisme yg terpancar dari kisah yg ditulis. Ini buku kisah petualangan seorang wanita muda dalam mendidik anak-anak rimba yg sangat menarik sehingga akan membuat setiap pembacanya tertegun dan menarik napas panjang karena larut emosinya di dalamnya. Tapi jangan salah. Buku ini bukan novel petualangan yg imajinatif tapi pengalaman nyata Butet Manurung hidup dan mengajar anak-anak rimba yg nomaden di tengah hutan belantara. Begitu besarnya kesulitan yg dihadapinya sehingga saya tercenung dan sadar bahwa kesulitan saya mengajar selama puluhan tahun sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yg dihadapi Butet. Saya menjadi malu membayangkan bahwa saya pernah mengeluhkan kesulitan saya dalam mengajar selama ini. Dibandingkan dengan hambatan, tantangan, dan kesulitan yang dihadapi oleh Butet dalam mengajar maka semua kesulitan yg pernah saya alami dalam mengajar seolah terasa sebagai kemewahan. Tak patut rasanya kita mengeluh sebagai guru setelah membaca kisah Butet ini. Saya juga malu membanggakan apa yg pernah saya capai dalam karir mengajar saya selama ini dan apa peran saya dalam mengubah kehidupan siswa-siswa saya selama ini. Dibandingkan dengan apa yg dicapai oleh Butet dalam mengubah kehidupan anak-anak Rimba semua kebanggaan saya jadi sirna. Saya merasa semua yg telah saya lakukan dalam dunia pendidikan dan sumbangsih saya pada bangsa terasa begitu kecil dan tak berarti. Butet benar-benar seorang guru sejati yg memperoleh hikmat dan kebijaksanaan karena menyelam ke dalam samudra kehidupan dengan mengajar anak-anak rimba di tengah hutan. Tidak bisa tidak, dengan pengalaman dan kesungguhan hati seperti yang dilakukan oleh Butet ini seseorang pasti akan memperoleh hikmat yg mendalam dalam hidupnya. Jika Anda menganggap saya terlalu menyanjung Butet maka saya anjurkan Anda utk membaca bukunya ini sendiri. Jika Anda merasa bisa mengikuti jejaknya barang sepersepuluh saja maka saya akan mengacungkan jempol utk Anda. Saya sendiri mengaku tidak akan mampu menyelam ke samudra hikmat walau hanya sepersepuluh dari apa yg dilakukan oleh Butet ini. Butet is surely a great person I really admire.
Meski buku ini berkisah tentang pengalaman Butet mengajar anak-anak rimba tapi buku ini juga berbicara tentang begitu banyak hal yg mungkin tidak pernah kita pikirkan. Buku ini berbicara tentang masyarakat, suku dan bangsa, negara, dunia, teknologi, psikologi anak, ekonomi, birokrasi, dll yg diramu dengan indah dengan pemikiran-pemikiran yg mendalam. Butet mampu menulis dengan penuh emosi dan juga dengan jenaka sehingga membuat saya berkali-kali menangis terharu dan juga tertawa membacanya. Banyak hal yg membuat saya tercenung dari pengalaman Butet ini. Butet tidak datang mengajar karena diinginkan oleh masyarakat Rimba. Sebaliknya ia malah ditolak utk mengajar apa pun, termasuk mengajar menulis sekali pun. Tapi Butet sangat gigih dan sabar dalam upayanya. Ia memiliki keyakinan yg teguh dan tidak mau patah. Butet juga tidak memiliki kelas dalam arti sebuah ruangan yg memadai utk mengajar membaca. Ia harus mengajar di mana saja dalam kerimbunan hutan dengan situasi dan kondisi yg pasti akan membuat guru normal seperti saya akan mundur dan langsung menyerah di tempat. Siswa yg diajar Butet bukanlah siswa yg telah diseleksi dan diklasifikasi berdasarkan tingkatan apa pun. Bahkan tak satu pun di antara murid Butet itu yg pernah mengenal apa itu sekolah apalagi bisa berbahasa Indonesia. Butetlah yg pertama kali harus belajar bahasa rimba agar bisa berkomunikasi dengan mereka. Nah, coba bayangkan jika Anda harus masuk ke hutan tanpa bekal perlengkapan mengajar apa pun utk mengajar pada anak-anak yg tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Anda juga ditolak oleh para orang tua dan dianggap melanggar adat sehingga berkali-kali ‘dilabrak’ oleh orang tua siswa yg keberatan anaknya belajar membaca. Gaji…?! Butet bahkan harus mengeluarkan biaya dan menggalang dana utk membiayai panggilan jiwanya ini pada beberapa masa dalam mengajar. Lalu ‘kegilaan’ macam apa yg membuat Butet mau melakukan semua ini? Idealisme? Kecintaan pada anak-anak? Mungkin Butet sendiri tidak tahu. Butet bukanlah sosok manusia dengan pandangan-pandangan yg sok idealis atau sok romantis. Butet bahkan terkesan begitu lugu yet so lovely. Keluguan dan kerendahan hatinya mau tidak mau akan membuat kita jatuh hati padanya.
Meski lahir, hidup dan tinggal di hutan tapi pertanyaan-pertanyaan anak rimba murid Butet bisa sangat rumit. Apa kira-kira jawaban kita jika mendapat pertanyaan dari siswa, “Bu, kenapa hutan masih saja habis, padahal kami sudah sekolah?”. (Bukankah sekolah akan membuat kita mampu menjawab permasalahan-permasalahan lingkungan kita? Kalau hutan kami habis lalu apa gunanya bersekolah?) Jangankan Butet, bahkan para rektor LPTK seluruh Indonesia pun pasti tidak akan mampu menjawab pertanyaan yg nampaknya sederhana ini. Apalagi jika kita harus menjelaskannya pakai bahasa Rimba…!
Gegar budaya ketika pertama kali mengajar di daerah yg berbeda adat istiadat dan kehidupannya dg kita tentu akan terjadi. Salah satu hal yg membuat saya tercenung adalah kisah ketika anak-anak rimba tersebut mendapat anak beruang dalam jeratan yg mereka pasang. Mereka secara otomatis berupaya utk membunuh anak beruang tsb sambil menakut-nakuti induknya agar menjauh. Anak beruang tentu menjerit-jerit ketakutan sedangkan induk beruang bersuara marah dalam keputusasaan. Melihat ini Butet yg berupaya utk menyelamatkan diri dengan naik pohon bersama anak-anak perempuan dan anak kecil merasa sedih dan meminta muridnya utk tidak membunuh anak beruang itu dan melepaskannya saja. Ia sampai menangis melihat drama kehidupan belantara ini. Tapi seorang anak kecil di pohon sebelahnya mengingatkan Butet dengan berkata, “ibu guru tidak boleh berkata begitu. Itu rezeki. Kalau dewa dengar nanti kita tidak dikasih lagi.” Dan terdiamlah Butet. Apalagi ia juga ikut menikmati daging anak beruang itu setelahnya.
Moralitas dan nilai-nilai apa yg hendak kita pakai dan terapkan dalam situasi seperti itu? Moralitas apa yg hendak kita pakai dalam memahami situasi dan kondisi masyarakat rimba yg semakin lama semakin terdesak oleh modernisasi dan keserakahan manusia ‘beradab’?
Saya menganjurkan teman-teman utk membaca dan menikmati buku yg luar biasa ini. Ini adalah buku yg Wajib Baca bagi kita yg mencintai bangsa Indonesia dan sadar betapa pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa.
Sriwijaya Air, SJ 233 14 Agustus 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com