
Dear all,
Saya beruntung bertemu kembali dengan Kang Bambang (Deceng) Sumintono (yg saat ini dengan sukacita bekerja sebagai Senior Lecturer di Universiti Teknologi Malaysia) di acara seminar riset Kebijakan Pendidikan Anak di Indonesia yg diselenggarakan oleh Kemdikbud dan SMERU kemarin. Ia datang sebagai salah seorang pembicara di acara tersebut dengan dibiayai oleh SMERU krn tertarik dg judul makalahnya. Khusus utk SMERU Kang Bambang akan bicara pagi ini (dan akan saya hadiri) tentang sekolah (R)SBI. Jadi SMERU tertarik utk membiayai seorang dosen Malaysia utk berbicara ttg pendapat atau penelitiannya mengenai capacity building di sekolah (R)SBI.
Saya beruntung ketemu Kang. Bambang karena dg demikian sy bisa ngobrol gayeng dengannya di barisan kursi paling belakang dan tdk perlu mendengarkan paparan presentasi para pemakalah yg sungguh membosankan karena samasekali tidak ada yg baru dari hasil temuan mereka (maafkan saya utk keterusterangan ini). Bahkan secara bergurau saya katakan ke Kang Bambang bahwa hasil temuan penelitian mereka itu sebetulnya bukan temuan karena sudah merupakan fakta keras yg bahkan penjual bakso pun mengetahuinya. Mohon maaf atas pendapat sinis ini tapi I can’t help saying it. Sebagai contoh, salah satu kesimpulan dari hasil penelitian para dosen kita adalah bahwa ternyata kondisi ekonomi siswa yg miskin mempengaruhi keberlanjutan pendidikan mereka! What a big finding…! Mereka ini berpresentasi di hadapan bule-bule UNICEF dan lintas kementrian lho!
Jadi sambil bergurau saya bilang sama Kang Bambang berdasarkan penelitian dan riset ilmiah saya (sebagai akademisi dengan gelar setumpuk) di sungai di Sulawesi ternyata saya temukan ada banyak batu baik yg besar mau pun yang kecil. Oleh sebab itu saya perlu mempresentasikannya di depan para peneliti top se antero Indonesia. Siapa tahu dunia belum tahu bahwa ternyata sungai di Sulsel banyak batunya baik yg besar mau pun yg kecil. Ini tentu hasil penelitian yg penting utk disampaikan pada forum terhormat seperti ini (dan saya perlu mendapatkan tambahan nilai kredit utk kenaikan pangkat saya).
Karena tidak yakin akan memperoleh tambahan informasi penting maka saya putuskan pulang lebih awal dari jadwal acara.
Sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta (dari Hotel Arya Duta Lippo Karawaci Tangerang) saya berpikir apa sebenarnya fungsi lembaga-lembaga penelitian kita selama ini. Apakah mereka BENAR-BENAR punya peran dalam pembangunan bangsa ini atau sebenarnya mereka itu cuma numpang makan (makan besar lagi!) di republik ini? Apakah hasil studi dan riset ilmiah yg dilakukan para pekerja riset tersebut BENAR-BENAR digunakan sebagai dasar utk membuat kebijakan di berbagai bidang atau sebenarnya cuma alat masturbasi para akademisi? Saya sdh menghadiri belasan seminar riset selama ini dan menurut saya hasil riset yg disampaikan hanya sekedar utk cari tambahan kredit para periset utk naik pangkat atau utk bisa jalan-jalan belaka.
Lembaga riset dan lemlitbang baik di kementrian, perguruan tinggi, atau yg katanya independen itu sami mawon. Jarang di antara mereka yg benar-benar bertipe disainer yg karyanya menjadi trend bagi usernya. Kebanyakan lembaga riset dan lemlitbang adalah kumpulan tukang jahit yg rindu order. Mereka akan ‘menjahitkan’ paper, makalah, proposal, dll sesuai dengan pesanan siapa pun yg mau membayar meski pun mereka tahu bhw karya mereka hanya akan menjadi alat bukti proyek bodong di berbagai instansi. ‘As long as you pay, I’ll take you anywhere you want to go.’ You bayar argo, kitorang bisa pigi kamana saja you suka.
Kemdikbud (yang sebelumnya baru saja berganti nama menjadi Kemdiknas tanpa ada dasar hasil riset mengapa harus diganti) sendiri punya satu badan besar dg puluhan staf yg bernama Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang). Tapi sungguh mati saya tidak tahu apa rekomendasi badan ini kepada Pak Mentri soal RSBI dan Ujian Nasional sebelum dijadikan kebijakan pendidikan nasional. Setahu saya keputusan Ujian Nasional yg penuh dg kontroversi yg kita laksanakan sekarang adalah ide Jusuf Kalla ketika masih jadi Wapres dulu. Tidak ada hujan tidak ada angin tiba-tiba Jusuf Kalla memutuskan bhw siswa Indonesia harus diuji dengan sebuah alat uji dengan tingkat kesulitan yang sama utk seluruh Indonesia, baik yg di gunung, di lembah, di hutan-hutan, pulau terpencil, di mana pun di Indonesia ini jika mau lulus. Katanya itu cara terbaik utk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia khususnya di daerah terpencil dan tertinggal. (Oh my God!)
Meski berkali-kali direvisi tapi UN yg berciri ‘high stakes’ menjadi penentu kelulusan dan hanya dilakukan sekali di akhir masa studi siswa ini masihlah mengakomodasi pemikiran Jusuf Kalla yg tidak berdasarkan hasil riset samasekali. CMIIW
Begitu juga dengan program (R)SBI. Setahu saya Balitbang tidak pernah melakukan riset sebelumnya dan tiba-tiba Kemdikbud pada jaman Bambang Sudibyo muncul dg gagasan Sekolah Bertaraf Internasional yg konyol tersebut. Sampai sekarang tidak ada landasan akademik berdasar hasil studi yg melandasi turunnya kebijakan program SBI tersebut. Yang bisa kita temukan hanyalah landasan hukum (legal basis)nya saja. Jadi apa sebenarnya fungsi Balitbang Kemdikbud dan darimana ide UN dan SBI itu muncul jika sebelumnya tidak ada riset ttg itu?
Hal-hal seperti inilah yg membuat saya menyimpulkan bhw bangsa kita ini sebenarnya melangkah bukan berdasarkan pertimbangan ilmiah atau berdasarkan ilmu pengetahuan tapi sebenarnya hanya berdasarkan insting dan intuisi para pemimpinnya belaka. Ide para pemimpinnya datang dari hasil merenung dan ilham tiba-tiba. Kita ini belum hidup di dunia modern yg pembangunan bangsanya berdasarkan ilmu pengetahuan dan sains yg solid. Dan kita khususnya para akademisi tampaknya mesti mengekor kebijakan para pemimpin yg berdasarkan perenungan di malam sunyi dan ilham yg meletik tiba-tiba itu. No problem! Para peneliti kita bisa membuatkan paper, makalah, proposal, landasan dan dasar-dasar pemikiran utk mendukung itu as long as you pay the rate. Perkara isinya tidak masuk akal, rubbish, bertentangan satu sama lain itu mah bisa diperbaiki nanti. Everything is aturable…!
Pagi ini saya akan ke diskusi (R)SBI SMERU di Cikini karena penasaran. Selama ini saya tidak pernah membaca (karena tidak pernah menemukan) hasil penelitian SMERU tentang (R)SBI atau pun Ujian Nasional padahal dua hal ini adalah topik hot markohot di dunia pendidikan kita. Sebagai lembaga penelitian independen (katanya) dengan motto “Menuju Kebijakan Promasyarakat Miskin Melalui Penelitian” saya kok tidak bisa menemukan hasil penelitiannya pada dua topik hot markohot tersebut ya? Apa dua hal tersebut kagak ade hubungannye ama orang miskin yak…?!
Ada kemungkinan bhw dua hal ini telah diteliti tapi hasilnya dirahasiakan oleh SMERU (saya ngomong begini karena mau minta hasil penelitian mereka nantinya). Lembaga Penelitian paling bergengsi di Indonesia dengan aset bersih 25 M dan cash flow lebih dari 16M tahun lalu tentunya punya perhatian pada kebijakan hot markohot di dunia pendidikan. Tapi kalau punya hasil risetnya kenapa tidak pernah dipakai oleh Kemdikbud ya? Apa karena tidak ada order melayang ke SMERU atau gak cocok harganya ya? Tapi kan katanya SMERU itu lembaga penelitian independen jadi semestinya tidak tunggu order dong…!
Auk ah elap…!
Jakarta, 18 Nopember 2011
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
salam kenal. secara kebetulan saya adalah salah satu peserta yang menghadiri seminar itu, yang duduk persis di derertan depan kursi bapak, dan diberi kartu nama bapak.setelah membaca serangkaian kata yang indah di atas, terbersit pemikiran, mungkinkan semua orang di Indonesia berpikiran seperti itu?. sebagai peneliti yang makalahnya diposterkan kemarin, saya merasa bangga akan pencapaian prestasi itu, meskipun penelitian itu dalam skala kecil, bukan berarti saya berkecil hati untuk tidak menyebarkan informasi dan pengetahuan yang saya ketahui. saya menerapkan hasil penelitian saya dari scoop kecil dan berharap efect snowballing muncul dan menjadi bagian dalam perubahan karakter yang kita harapkan dalam bangsa ini. nilai materi bukanlah suatu ukuran pengejaran target saya, adanya perubahan (meskipun hanya sedikit) cara pandang orang tua yang saya berikan pemahaman merupakan nilai kepuasan batin. semoga ini menjadi bagian pencerahan dari ungkapan kritik yang disertai saran atau rekomendasi yang memang terbukti nyata dibutuhkan oleh pengguna. salam kenal dan salam sukses untuk guru2 di Indonesia.
Bapak Satria Dharma yang baik,
Selamat pagi. Saya akan langsung saja pada pokok pikiran yang ingin saya sampaikan:
1. Tulisan Anda yang menyatakan bahwa SMERU bersedia membiayai Bapak Bambang Sumintono untuk menjadi salah satu penyaji makalah di Seminar Riset Kebijakan Pendidikan Anak di Indonesia karena tertarik dengan judul makalah beliau adalah satu potongan informasi yang tidak utuh. Perlu Anda ketahui (saya akan tetap tulis walaupun mungkin Anda tidak merasa memerlukan informasi ini), seminar yang diselenggarakan pada 17 November 2011 tersebut mengundang pemakalah dari beberapa daerah di tanah air. Setelah melalui proses seleksi, 20 makalah terpilih untuk disajikan dalam seminar. Kemdikbud, sebagai salah satu pemrakarsa dan penyedia dana, menanggung biaya transportasi dan akomodasi semua penyaji makalah. Sedari awal memang tidak ada ketentuan yang dengan jelas mengatur bahwa panitia hanya menanggung penyaji makalah dari dalam negeri. Ketika akhirnya kami temukan bahwa salah satu calon penyaji makalah (Pak Bambang S) tinggal dan mengajar di Malaysia, keempat institusi penyelenggara (Kemdikbud-Bappenas-Unicef-SMERU) pun melakukan koordinasi. Manajemen SMERU memutuskan untuk mengambil alih kewajiban mengganti biaya transportasi (hanya biaya transportasi) Pak Bambang. Keputusan tersebut diambil karena SMERU melihat semangat beliau untuk menyajikan temuannya pada seminar tersebut dan, toh, memang biaya transportasi dari Malaysia ke Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan biaya transportasi ke Jakarta dari beberapa daerah di bagian timur Indonesia. Akomodasi beliau tetap disediakan oleh Kemdikbud. Anda bisa bertanya kepada Pak Bambang Sumintono untuk memastikan hal ini. Bahkan andai Anda lebih dulu bertanya kepada beliau sebelum menulis artikel di bawah, informasi yang Anda sampaikan pasti jauh lebih lengkap dan tidak bersayap (kecuali jika Anda memang sengaja membuat isi artikel bersayap yang bisa membawanya terbang ke arah yang hanya Tuhan, dan Anda, yang tahu).
2. Kantor SMERU mengundang Pak Bambang Sumintono sebagai narasumber dalam sebuah acara diskusi (18 November 2011) bukan semata-mata karena SMERU yang mengganti biaya transportasi beliau. Seperti yang Anda siratkan di artikel di bawah, pendidikan (bukan cuma RSBI dan ujian nasional) adalah sektor yang berhubungan dengan kemiskinan. SMERU tidak memandang remeh sektor pendidikan. Acara diskusi tersebut justru diadakan untuk menambah wawasan staf SMERU pada sektor itu. Kebetulan Pak Bambang Sumintono bersedia dan untuk itu SMERU sangat berterima kasih.
3. Saya sangat prihatin atas kebosanan yang Anda rasakan pada saat seminar berlangsung. Saya hanya bisa membayangkan penatnya otak seseorang yang mendapatkan informasi yang itu-itu saja dari waktu ke waktu sehingga tidak bisa lagi merasakan pentingnya informasi tersebut bagi dunia di sekitarnya. Dari sekian banyak informasi yang beredar pada acara seminar itu, pasti ada yang berguna. Sebagaimana beauty is in the eye of the beholder, sepotong informasi bisa menjadi remeh atau penting tergantung pada si penerima. Saya pernah mendengar perkataan yang kira2 begini bunyinya, “…it’s not about discovering a new land. It’s about looking at the old land with a new perspective.” Hal yang terlihat atau terdengar membosankan mungkin bisa menjadi hal yang luar biasa bila dipandang dari sudut berbeda. Namun saya yakin Anda sudah mengetahui hal itu.
Di luar itu semua, saya yakin banyak hal positif yang bisa diambil dari artikel Anda, baik untuk SMERU maupun dunia pendidikan pada umumnya. Mudah-mudahan segala upaya yang dilakukan oleh para peneliti kita dalam rangka perbaikan mutu kehidupan orang-orang di sekitar kita akan memperlihatkan hasil nyata, sekecil apapun itu.
Salam,
Mukti Mulyana