Apakah Anda pernah mengalami ‘Epifani’? Kalau Anda tidak tahu apa itu ‘epifani’ tidak mengapa. Saya sendiri juga baru mengetahuinya setelah membaca buku “Authentic Happiness”nya Martin E.P. Seligman yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Istilah itu disampaikan oleh Jalaluddin “Kang Jalal” Rakhmat dalam kata pengantarnya.
Epifani adalah ”peristiwa istimewa dalam kehidupan seseorang yang menjadi titik balik dalam kehidupannya. Pengaruhnya berbeda-beda, bisa negatif atau positif, bergantung pada apakah epifaninya besar atau kecil” (Denzin, 1989). Kang Jalal menjelaskannya dengan berbagai contoh dimana ia mengalami ’epifani’ sehingga mendorongnya menulis buku-bukunya yang populer seperti ”Psikologi Komunikasi”, ”Psikologi Agama” dan ”Meraih Kebahagiaan” tersebut.
Ketika membaca ini saya lantas bertanya dalam hati saya apakah saya pernah mengalami ’epifani’ yang dapat mendorong saya untuk menghasilkan karya sesuatu, seperti Kang Jalal, umpamanya? Saya tertawa kecut ketika menyadari bahwa selama hidup ternyata saya belum menghasilkan karya apa pun yang bisa saya sebut sebagai suatu ’monumen’ dalam hidup saya. Berarti saya tidak pernah mengalami ’epifani’ dong? Tanya saya dalam hati. Tapi tak mungkin saya tidak pernah mengalami ’epifani’. Saya berfikir….
Dan saya tiba-tiba ingat sebuah peristiwa yang membuat saya berubah dan menjadi titik balik dalam kehidupan saya. Yes! Saya juga pernah mengalami ’epifani’!
Sejak kecil sampai dewasa kehidupan keluarga saya boleh dibilang cukup menderita secara finansial. Ayah saya seorang pegawai negeri sipil dengan golongan rendah dan tanpa jabatan. Celakanya, anaknya sebelas dan beliau tidak punya penghasilan sampingan (tapi sekarang ’kesebelasan’nya tersebut adalah keberkahan yang luar biasa bagi beliau). Gaji beliau di Depdikbud Propinsi Jatim jelas tidak akan cukup untuk memberi makan ke sebelas anaknya. Untungnya, beliau tidak punya jabatan yang bisa membuat beliau korupsi dan lagipula ibu saya sangat mewanti-wanti beliau untuk tidak membawa harta haram ke mulut anak-anaknya. Dalam keadaan apa pun!
Kehidupan kami saat itu adalah gali lobang tutup lobang. Bertahan hidup dalam kondisi yang sangat tidak menentu dan tidak punya masa depan. Itulah sebabnya ayah saya kemudian berinisiatif untuk lebih banyak keluar daerah untuk melakukan bisnis dan usaha apa saja yang mungkin dapat mengubah nasibnya. Usaha beliau untuk berbisnis, atau berdagang istilah kami waktu itu, sungguh luar biasa. Berbagai hal telah beliau coba. Mulai dari berdagang bahan-bahan bangunan di Kalimantan, hasil laut di Lombok dan pulau-pulau kecil lainnya, mencoba usaha peledakan bukit di Jawa Barat, dan berbagai usaha lain telah beliau coba. Saya sering merasa terharu mendengar cerita beliau yang begitu ulet berusaha berbulan-bulan tanpa hasil. Beliau sering berada di tengah laut selama berhari-hari di atas kapal kayu kecil hanya bertahan dengan makanan seadanya. Kadang-kadang beliau harus berada di pedalaman yang jauh dari kota dengan kehidupan yang mengenaskan. Itu adalah konsekuensi dari pekerjaan yang coba dirintisnya. Setelah sekian bulan berusaha tanpa hasil beliau kembali pulang menjenguk anak-anaknya. Tak lama kemudian beliau berangkat lagi entah kemana untuk memulai usaha baru di tempat baru lagi. Begitu seterusnya selama bertahun-tahun. Dan beliau tidak pernah menyerah. Saya mungkin sudah menyerah karena frustasi. Meninggalkan anak begitu banyak tanpa meninggalkan bekal apapun sungguh berat bagi siapapun yang mencintai keluarganya. Dan beliau sangat mencintai keluarganya.
Cobaan demi cobaan menimpa Bapak dengan setiap usaha yang dirintisnya. Ada yang sejak awal sudah gagal. Ada yang sudah mulai berjalan baik kemudian juga ambruk lagi. Ada yang order sudah ditangan tapi kemudian proyeknya batal. Hambatan, tantangan, dan cobaan datang bertubi-tubi. Tapi beliau tidak patah. Beliau tetap percaya dan yakin bahwa suatu saat Tuhan akan memberinya kesempatan untuk mengubah nasibnya. His faith is firm and stable. Dan ini salah satu hal yang membuat saya sangat kagum pada beliau dan menjadi inspirasi pada hidup saya. I should never give up to any difficulties in my life. Saya harus tetap percaya bahwa Allah akan membukakan pintu rejekiNya bagi siapa yang mengetuk pintuNya. We just don’t know when He would open His door for us.
Praktis beliau jarang ada di rumah dan ibu saya harus berjuang sendirian untuk menghidupi ke sebelas anaknya yang sebagian sudah mulai beranjak remaja.
Sebagai anak kedua dan laki-laki tertua dengan adik begitu banyak, saya sudah bisa merasakan kesulitan yang dihadapi oleh Mama. Tapi beliau sangat tabah dan hampir tidak pernah mengeluh kepada kami anak-anaknya. Beliau juga hampir tidak pernah marah kepada kami betapapun nakal dan menyusahkannya kami. She is such a tough Mom. Setiap bangun pagi beliau sudah harus memutar otak untuk memikirkan bagaimana cara beliau untuk mencarikan makan bagi ke sebelas anaknya. Sedikit demi sedikit semua barang yang ada di rumah habis dijualnya kepada tukang rombeng yang lewat di depan rumah hanya sekedar untuk mendapatkan uang untuk pembeli makan bagi anak-anaknya. Saya tidak mengetahui hal tersebut karena beliau tidak pernah mengeluhkannya kepada saya. Saya selalu berpikir bahwa ibu saya selalu punya uang dari kiriman ayah saya di perantauan yang beliau simpan di ‘kotak harta’nya. I was so ignorant. Saya pikir bahwa itu bukan urusan saya. Sudah sewajarnya orang tua banting tulang peras keringat untuk ’ngopeni’ anak-anaknya.
Saya baru benar-benar sadar ketika saya beranjak remaja. Ketika itu ibu saya secara tidak sadar mengeluh bahwa ia tidak punya uang sama sekali untuk membeli makan bagi kami. Saya tidak mempercayai hal tersebut karena bagi saya waktu itu adalah tidak mungkin sebuah keluarga bisa bertahan tanpa ada uang sama sekali. Selama ini meski hanya bisa makan seadanya, selalu saja ada yang bisa dimakan. Dan itu berarti selalu ada uang untuk pembeli makanan. Saya selalu mengira bahwa ibu saya punya uang yang ia simpan di kotak perhiasannya. Kotak perhiasan tersebut adalah kotak yang terbuat dari logam berukir dan berisi berbagai perhiasan dan batu-batu permata yang pernah diberikan oleh ayah saya kepada ibu saya sejak masih pengantin baru. Di situlah ibu saya meletakkan segala ’harta’ yang dimilikinya. Ibu saya sering menunjukkan segala perhiasan yang disimpannya di kotak tersebut yang belakangan saya sadari bahwa ternyata itu tidak ada artinya. ’Harta’ beliau hanyalah beberapa perhiasan berupa cincin kawin, gelang, kalung, dan beberapa batu permata yang bagi saya waktu itu sangat menakjubkan. Mirip kotak harta seorang bajak laut dalam kisah Ali Baba, hanya dalam ukuran yang jauh lebih mini.
Ketika masih kanak-kanak saya pikir ini rupanya rahasia mengapa sebuah keluarga selalu punya harta untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Setiap keluarga memiliki ’kotak harta Ali Baba’ masing-masing. Semakin besar ’kotak harta’ tersebut semakin makmur sebuah keluarga. Karena ’kotak harta’ ibu saya sangat kecil maka kami harus menanggung resikonya dengan makan tidak teratur dan porsi yang sangat terbatas. If only we had a bigger treasure chest!
Dari kotak itu ibu saya mengeluarkan ’harta bajak laut’nya untuk dijual satu persatu untuk menghidupi kami. Dan selama ini beliau tidak pernah mengeluh. So I thought everything was allright. It was not as good as I expected but we survived. Jadi mestinya tidak ada yang perlu BENAR-BENAR harus dikuatirkan.
Ketika saya protes bahwa ibu saya kali ini tidak benar-benar berusaha untuk memberi makan kami, anak-anaknya yang selalu lapar, ini ibu saya berkata bahwa beliau benar-benar tidak punya apa-apa lagi untuk dipakai membeli makanan.
Tidak mungkin, kata saya. Bukankah beliau masih punya ‘kotak harta bajak laut’ yang saya pikir tidak akan pernah habis meski dipakai untuk makan tujuh turunan? (OK! Mungkin tidak perlu sampai tujuh turunan, at least until I grow up and can find my own treasure chestlah!)
Akhirnya beliau membuka kotak perhiasannya dan menunjukkannya pada saya. Tidak ada uang ataupun perhiasan yang berharga! It’s all gone. Yang ada hanya beberapa perhiasan imitasi yang tidak bisa dijual. Rupanya beliau telah menjual semua perhiasan yang ia miliki untuk membuat kami tetap bisa makan dengan seadanya selama ini. Saya sangat terkejut dan bertanya-tanya bagaimana cara beliau menghidupi kami semua dengan kondisi begitu selama ini. Tiba-tiba saya menyadari bahwa beliau tentulah telah berusaha mati-matian selama ini untuk menghidupi kami. Saya merasa sangat terharu mengingat betapa sulitnya beliau harus berusaha untuk menghidupi kami semua selama ini sendirian tanpa dibantu oleh ayah saya yang hampir tidak pernah berada di rumah tersebut. Sendiri tanpa suami dan tanpa uang belanja tapi harus menghidup sebelas anak yang selalu lapar dan harus tetap bersekolah adalah pekerjaan luar biasa yang tidak masuk akal. Beliau harus betul-betul memeras otak untuk menghidup anak-anaknya. It’s unbelievable. Saya merasa begitu bersalah bahwa selama ini saya tidak pernah tahu keadaan ibu saya dan tidak berusaha membantu beliau dengan segala kesulitannya. How come I was so ignorant to my Mom’s situation? Pada saat itu juga saya langsung menjadi dewasa. I was transformed into a mature boy. Saya langsung sadar akan situasi yang dihadapi oleh keluarga kami. Saya mengalami ‘epifani’. Alibaba ternyata tidak menemukan peti harta bajak laut.
Sejak saat itu saya tidak pernah lagi meminta sesuatu untuk diri saya pada ibu saya, meski untuk uang pembayaran sekolah yang sering tertunda berbulan-bulan. Jika beliau memberi saya uang untuk pembayaran sekolah atau transport ke sekolah ya saya terima. Kalau tidak ya saya diam saja. Lebih baik saya menghadapi bendahara sekolah dengan berbagai resikonya ketimbang harus membebani pikiran ibu saya. Saya tidak pernah lagi menuntut dibelikan baju lebaran atau sepatu. Meski kaki saya begitu menderita karena sepatu karet yang saya miliki telah sempit dan panas. Kalau beliau tidak memberi saya uang transport ke sekolah maka saya akan berjalan kaki ke sekolah yang jaraknya sekitar 8 kilometer dari rumah, jadi pulang pergi ya 16 km. No sweat! (It was fully perspiring actually, but no sweat!) Saya akan menjalaninya dengan senang hati karena dengan demikian saya tidak akan merasa bersalah telah membebani pikiran ibu saya. Saya tahu bahwa beliau pasti akan menyediakan semua kebutuhan saya jika beliau punya uang. Saya hanya akan memintanya jika saya yakin bahwa beliau dapat menyediakannya. Selebihnya saya berusaha sebisa mungkin untuk survive dengan cara saya sendiri. Dan saya tumbuh menjadi a survivor! Saya telah mengalami berbagai kesulitan hidup yang orang lain tidak pernah mengalaminya dan saya belajar darinya.
Peristiwa kotak perhiasan kosong tersebut telah memberi saya pengalaman yang berharga yang mampu membuat saya menjadi anak yang memiliki tanggung jawab terhadap keluarga. Ketabahan kedua orang tua saya dalam mengarungi kehidupan tanpa mengeluh telah menginspirasikan saya untuk melakukan hal yang sama dalam kehidupan saya nantinya. Jika saya mengalami kesulitan dalam hidup, saya segera mengingat segala kesulitan hidup yang pernah mereka alami berdua. Dengan mengingatnya segala kesulitan saya akan nampak begitu kecil dan tidak berarti. Dan sayapun siap untuk menghadapi kesulitan hidup saya dengan penuh optimisme, seperti yang telah ditunjukkan oleh kedua orang tua saya. Kedua orang tua saya adalah guru sejati dari kehidupan saya.
Sebuah ’epifani’ mengubah cara pandang saya tentang hidup dan kehidupan.
Balikpapan, 2 Desember 2007
Satria Dharma
catatan ulang tahun ya pak? happy bday, always the great for you, health happy keep making people reading & kurangi bawelnya:D
Saya tidak bikin catatan ulang tahun kali ini, Sekar. Rasanya baru kemarin saya membuat catatan Ulang Tahun di http://satriadharma.wordpress.com/2006/12/02/happy-birthday/#more-7.
And now suddenly another year passed by! Waktu benar-benar berlalu dengan cepat.
Terima kasih atas doanya. Semoga kamu juga memperoleh kebahagiaan dalam hidup, sehat walafiat, dan make others’ life meaningful.
Salam
Satria
Pak Satria Dharma, saya sepertinya butuh belajar banyak dari blog ini. Saya minta ijin alamat blog pak Satria saya link ke blog saya. Terima kasih
Silakan buat link-nya Pak Dedy. With pleasure. Saya yakin bisa belajar banyak dari Anda juga.
Salam
Satria
Hello Satria, my “foe worth fighting”, he-he-he, tadaaaaa!!! I saw your face! You wrote a very nice story in here. Thanks for sharing!
Hello, Ami! Guess what? I saw your face too. 🙂 Close to what I have imagined before. You’re as beautiful as your words! Your story about the May riots really touched me. If only I could do anything…
Thanks for visiting!
Salam
Satria
Hey Satria, thanks for visiting my home! He-he-he…. mine is so girlish, right? It’s pinky!!!!
And the May riot is already the past. We as a nation must be able to learn and grow up. Thanks for your attention. And yupo, you could do a lot of things, of course. You are an educator! I put some hope in your hands…
Epifani Bapak mirip dengan yang saya alami, kondisi keluarganya jauh lebih baik bapak. Dengan sepuluh anak orang tua kami yang tidak lulus SD dan hanya seorang petani kecil membesarkan kami. Kakak kami tertua dan yang kedua mengalah tidak melanjutkan sekolah sampai sarjana, mereka segera bekerja setelah lulus D1 IKIP hanya karena ingin membantu kedua orang tua sampai kami bertujuh lulus sarjana.
Mengingat itu rasanya malu kalau mengeluh setiap kali menghadapi permasalahan. Kondisi seperti ini barangkali bukan hanya epifeni bagi saya tapi juga adik-adik saya sehingga sekarang alhamdulillah punya kehidupan dan karir yang cukup baik di tempat saya dan adik-adik bekerja.
Alhamdulillah, keluarga saya sejak kakek-nenek moyang selalu diberikan keberlimpahan dalam hidup ini.
Subhanallah.
Salam,
Wuryanano
Salam kenal Pak..
Sya baru mengawali karir di pendidikan, sya seorang guru SD…
gni pak.. tiap kali saya merenung ttg pendidikan sya menemukan byk skli pertentangan, dari sistem, upah, dan seabreg maslah spt yg babapk tulis.. disini
Saya yakin bapak lebih “pintar” dari saya
Mohon saran bapak untuk saya yg bru masuk kedunia baru ini
Mas Jatmiko,
Katanya orang para jagoan itu terbentuk karena banyaknya tantangan dan masalah yang mereka hadapi. Jadi itu berarti Sampeyan punya bakat untuk jadi jagoan juga. 🙂 Tidak penting berapa banyak masalah yang kita hadapi tapi seberapa besar kita berusaha untuk menyelesaikannya.
Selamat berjuang, Mas!
Salam
Satria
Saya suka dengan tulisan ini.
im listening…!!! kapan-kapan boleh ketemu bapak?
Ass Wr, wb,
Apakah Pak Satria Dharma ini kawan saya di Bontang tahun 1990 yang lalu. Mungkin masih ingat kala kita ke sangata naik ketinting.
maaf kalau saya salah mengira
Wassalam
Moch. Djumari
Ph. 0548556303
menyentuh hati sy tulisan bapak
semoga bisa menjadi pembelajaran buat sy….
Selama bergaul dengan anda di akhir 1980-an tak terlihat pada wajah anda seluruh apa yang anda tulis. Namun jelas, saya tahu kebesaran dan kemurahan hati anda kepada semua sahabat. Sejak 1995 saya pindah ke Lampung, dan semoga tulisan ini kembali menyambung tali silaturrahmi kita, Mas Adok……
Pak Marghani yang dulu mengajar di Mojokerto? Apa kabar Pak? Saya kehilangan kontak dan telah berusaha untuk mencari berita tentang Anda. Senang sekali bisa berhubungan lagi. Apakah masih mengajar Pak? Cerita dong!
Saya punya cerita yang sama dengan apa yang Anda sampaikan. Ketika bicara masa lalu dengan seorang teman yang insinyur lulusan ITS ia bilang bahwa ia merasa minder dengan masa lalunya yang penuh kekurangan. Dan sampai saat itu ia masih sering merasa minder berhadapan dengan orang-orang yang nampak kaya dan dari keluarga klas mengengah. Padahal ia sudah lepas dari kemiskinan!
Ketika saya ceritakan masa lalu saya dan menyatakan hal yang sama ia merasa heran karena tidak melihat rasa minder tersebut pada diri saya. Ia melihat saya selalu percaya diri menghadapi siapa pun. 🙂 Jadi saya sampaikan bahwa dulu ketika remaja saya bahkan pernah gagap kalau berbicara pada orang-orang yang saya anggap jauh di atas saya karena merasa minder yang berlebihan. Miskin memang bisa membuat kita minder ketika berhadapan dengan orang-orang kaya. Saya butuh waktu dan latihan keras untuk bisa menghilangkan rasa minder tersebut. Kini saya bahkan sudah lupa seperti apa rasa minder saya dulu itu.
Mungkin Anda dan teman saya itu mengenal saya ketika rasa minder itu sudah saya enyahkan jauh-jauh.:-)
Salam
Satria
Salam kenal pak. Sungguh cerita yang sangat menyentuh. Ketika baca tulisan Bapak, saya pun kembali tersentak dengan masa lalu saya, dan lalu terbayang lah betapa kedua orang tua saya, berjuang luar biasa untuk kami, anak-anaknya. Terima kasih bisa bersilaturrahmi di blog ini. Izinkan saya untuk sering-sering mampir kesini ya Pak.
Salam kenal juga! Sungguh senang jika ada yang mau berkunjung ke blog saya ini. You’re most welcome.
Saya sangat terharu dengan ungkapan cerita yang sangat-sangat menyentuh perasaan, Pak Satriadharma Saya mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya, karena dari Pak Satria lah kini anak saya ketularan ilmu sedikit, terus terang Saya salut dan sangat bangga dengan Pak Satria, karena anak Saya tidak salah pilih belajar ilmu dari pakarnya seperti Pak Satria, trimakasih untuk Pak Satriadharma,sekali terima kasih, karena tgl 12 Desember 2009, anak saya BOB.RH.HKM akan di Wisuda katanya di Hotel BS. sekali lagi terima kasih untuk Pak Satriadharma.
Saya murid bapak di sma tahun 1984/85 di sman di surabaya. bapak salah satu dari guru yang mampu menginspirasi dan menjadi suri tauladan bagi siswanya: 37 dari 41 siswanya di tahun itu akhirnya di terima di perguruan tinggi negeri terkemuka . padahal saat itu sekolah tsb baru meluluskan 2 angkatan. thank you mr. satria dharma
Senang sekali bisa ketemu murid via blog ini! Kapan-kapan kita ketemuan ya Mas! terima aksih sudah mengunjungi blog saya ini.
Salam
Satria
Salam kenal Pak Satria. Senang bisa nemu ini blog…. thanks for sharing… tulisan2 Bapak sungguh sangat menginspirasi 😀
Pak Satria Dharma,
Saya begitu tersentuh membaca cerita Bapak. Hanya saja, ada sedikit yang membuat saya bertanya-tanya. Bapak mengatakan bahwa bapak Anda adalah seorang PNS. Pada cerita selanjutnya, Bapak mengatakan bahwa Beliau sering pergi bahkan dalam waktu lama. Lalu, bagaimana dengan pekerjaannya di Dikbud Prov. Jatim?
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
terima kasih bapak, atas ceritanya
saya tahu alamat kontak bapak dari email bapak yang merespon email saya di klub guru.
disana bapak menceritakan bahwa bapak salah satu alumni sman 7 surabaya. bapak juga seorang guru, jika boleh tahu bapak guru apa?
terima kasih
assalamu’alaikum
Wa alaikum salam wr wb. Saya dulu guru bahasa Inggris Pak. Tapi saya juga pernah mengajar bahasa Indonesia untuk anak orang asing di sekolah internasional. Sekarang saya tidak mengajar lagi.
Assalamu’alaikum pak Satria Dharma…
Saya mengenal bapak di Teacher Writing Camp di UNJ Jkt. Senang bertemu dengan bapak. Apa yg bapak sampaikan dlm sesi ” Gerakan Literasi Bangsa” membuat saya tersentak dari tidur panjang.
Sy seorang Guru Biologi di SMA Negeri di Jakarta, sangat prihatin dgn kemampuan literasi anak2 kita yg sangat rendah, terutama siswa di sklh sy sendiri
Terimakasih atas pencerahan dari bapak… tulisan2 di blog bpk jg banyak memberi pencerahan pd saya …
Salam pendidikan…
Wassalam
Ass. Wr. Wb Pak Satria…..
Kisah masa lalu bapak hampir sama dengan yang pernah saya alami, hampir putus sekolah karna tak punya cukup biaya dan tak ingin membebani ibu tercinta namun beliau selalu berusaha agar saya dan kakak2 masih bisa melanjutkan pendidikan dalam kehidupan yang berat tersebut, sungguh luar biasa perjuangan beliau untuk bisa melewati masa suram itu….. ayah ? ya, beliau juga pahlawan yang hebat bagi saya… terkadang saya malu karna belum bisa memberikan yang terbaik untuk mereka……
salam kenal dan hormat pak Satria..