“Berapa gaji yang Anda minta?” tanya si pewawancara pada saya.
Saya sedang menghadapi wawancara untuk masuk kerja sebagai seorang guru di sebuah yayasan sekolah internasional saat itu. Pertanyaan-pertanyaan sebelumnya telah saya jawab dengan lancar dan dengan penuh percaya diri.
“ Enam ratus ribu!” jawab saya mantap. ‘Not less than a penny.’ tambah saya dalam hati. Saya sudah mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan ini. Jadi sama sekali tak ada keraguan saya untuk menjawabnya. Bahkan sebenarnya saya melamar ke sekolah ini karena ingin memperoleh gaji sebesar itu. Gaji saya sebelumnya adalah setengah dari angka tersebut. Dan saya ingin sekali gaji saya dua kali lipat dari sebelumnya. Mendapatkan gaji dua kali lipat dari sebelumnya seolah menjadi target saya saat itu.
Pertama kali bekerja sebagai guru di sebuah desa kecamatan Caruban yang berjarak sekitar 30 km dari kota Madiun pada akhir 70-an saya mendapat gaji sebesar 15 ribu rupiah. Biaya kost dan makan untuk bujangan macam saya waktu itu adalah 10 ribu rupiah. Sisanya yang 5 ribu rupiah saya pakai untuk kebutuhan lain dan ongkos pulang ke Surabaya setiap bulan. Gaji tersebut boleh dikata habis tak tersisa. Saya tidak bisa menabung samasekali dengan gaji CPNS tersebut (tentu saja! Kalau gaji saya sebesar Gayus itu lain cerita) sehingga saya berpikir alangkah enaknya jika gaji saya dua kali lipat dari saat itu.
Tak lama kemudian gaji saya naik dan naik sehingga mencapai 30 ribu rupiah. Dua kali lipat dari gaji awal saya. Was I happy? Ternyata gaji tersebut tidak mengubah apa pun. Gaji tersebut tetap habis dan saya tetap tidak bisa menabung sama sekali.
Jadi saya berpikir “I must double up my salary!. Baru hidup itu nyaman. Twice as much comfort.” pikir saya.
Gaji saya kemudian merambat naik dan mencapai dua kali lipat dari 30 ribu tersebut. Tapi ternyata sama dengan sebelumnya, gaji 60 ribu tersebut tidak menimbulkan efek ‘hidup nyaman dua kali lipat’ seperti yang saya perkirakan. “Mungkin saya salah perhitungan.” pikir saya. Saya tidak putus asa dan kembali menetapkan target ‘doubling up my salary’.
Gaji saya naik dan naik berlipat lipat. Setelah 60 ribu kemudian 120 ribu…… 150 ribu….. 300 ribu… . Anehnya saya tetap tidak merasakan ‘the exstacy of being twice richer and twice more comfortable than before’! “Pasti salah angkanya!” pikir saya.
Saya tetap tidak putus asa. Jadi ketika saya melamar pekerjaan baru dan ditanya berapa gaji yang saya inginkan maka saya mantap menjawab “ Enam ratus ribu!”. Saya ingin sebuah capaian baru. Sebuah rasa sukses baru karena memperoleh gaji dua kali lipat dari sebelumnya. Gaji yang saya harapkan memang saya dapatkan. Saya merasakan kesenangan sejenak memperoleh gaji dua kali lipat dari sebelumnya. Tapi itu tidak bertahan lama. Saya kemudian sadar bahwa gaji guru internasional lainnya bahkan jauh di atas saya dan apa yang saya peroleh ternyata dibawah ‘standar’. Di atas langit ada langit dan yang saya lihat ternyata cuma plafon kamar.
Pada akhirnya gaji (atau penghasilan) saya terus naik dan naik. 1 juta….. 2 juta…. 4 juta….doubling up and up. Am I happy now? Tentu saja saya bersyukur bahwa penghasilan saya naik terus, bukan hanya dari gaji tapi dari penghasilan lain-lain. Tapi tetap saja saya tidak merasakan ‘kehebohan’ karena penghasilan atau gaji naik dua kali lipat seperti yang pernah saya perkirakan sebelumnya. Saya merasakan kesenangan dan kegembiraan sejenak tentu saja tapi setelah itu rasanya datar-datar saja. Saya ‘dikibuli’ oleh imajinasi saya sendiri soal naik gaji berlipat-lipat tersebut. It’s not that ‘heboh’ as you think, you know. Kita bahkan tidak pernah naik ke langit.
Saya akhirnya berhenti untuk berharap-harap agar penghasilan saya bertambah berlipat. Terakhir kali saya berharap adalah ketika saya ingin mendapat gaji US $ 1500. Angka ini dua kali lipat dari gaji saya sebelumnya tentunya. Angka tersebut memang saya peroleh (meski tidak dalam bentuk US ) tapi seperti sebelum-sebelumnya it’s not as joyful as we expected. Mengalir saja seperti air (uangnya juga mengalir saja seperti air, kata istri saya. She is the expert in flowing it. Hehehe…!)
Apa yang saya pelajari dari ini? Pertama adalah bahwa Allah itu Maha Kaya, Maha Pemberi, Maha mengabulkan keinginan dan banyak Maha lainnya. Berapa pun dan apa pun yang saya minta Allah selalu memberikannya. Tanpa banyak cingcong. Tanpa banyak persyaratan. Allah benar-benar ‘wah-weh’ dan ‘nyah-nyoh’ pada saya tanpa perhitungan (mungkin nanti diakhirat baru ada perhitungannya). Saya selalu menangis setiap kali mengingat betapa pemurahnya Allah terhadap saya selama ini. Sungguh tak banyak orang (dari umat manusia yang berjumlah sekitar 6 milyar di dunia ini) yang diperlakukan begitu spesial seperti saya ini. I really feel special. Bukan karena jumlah gaji yang saya peroleh tapi karena mudahnya Allah memenuhi keinginan saya.
Saya sadar bahwa begitu banyak manusia yang hidup menderita dalam hidup ini (milyaran, saudara-saudara!). Tak sedikit kawan-kawan dekat saya yang masih berjibaku meski hanya untuk hidup sehari-hari sementara saya merasakan karir dan penghasilan saya melesat begitu saja. Begitu saja…?! Ya, benar. Setelah saya pikir-pikir secara mendalam saya sadar benar bahwa apa yang saya peroleh bukanlah karena saya pintar, pekerja keras, cerdik, inovatif, kreatif, ulet, mampu membaca peluang, percaya diri, soleh, taat bin tawakkal, suka bersodaqoh, atau memiliki persyaratan sukses lainnya. Tidak! I got it all just because I’m lucky. Saya beruntung, that’s all. Period. Allah memang sayang sama saya dan itu sungguh berkah dan karunia yang tiada taranya.
Pelajaran kedua yang saya peroleh adalah bahwa tak ada jumlah gaji atau penghasilan yang akan bisa membuat kita puas dan mengatakan “Stop…! Stop…! Jangan tambahi penghasilan saya lagi. Ini sudah kebanyakan. Tolong berikan pada pengantri di belakang saya.”. Tak ada itu…. Tak ada…! We keep asking…. and asking! (Hampir) semua dari kita itu pendamba harta benda (lan sapanunggale) dan tidak ada yang bisa memuaskan keinginan kita (sampai tanah memasuki mulut kita alias koit).
Pelajaran ketiga yang saya peroleh adalah bahwa harta yang berlebih itu cenderung akan membawa kita kepada bersikap berlebih-lebihan. Sudah makan enak di warung Padang, eh! mau pula di resto Jittlada. Sudah punya mobil sedan, eh! dilirik pula Fortuner yang keren abis itu. Sudah punya istri yang cantik, eh! … (ssst…! Istri saya baca blog ini nggak ya?!). Pokoknya harta yang berlebih itu tentulah akan membuat kita mengembangkan imajinasi kita soal bagaimana sebaiknya harta yang berlebih tersebut kita belanjakan. Apa enaknya punya harta berlebih kalau cuma disimpan di bank. Dan kebanyakan dari kita memang pada akhirnya tergelincir oleh kelebihan harta tersebut.
“Harta yang berlebih itu cobaan, Sodara-sodara!” Kata para mubalig. “Miskin itu juga cobaan, wahai teman-teman”, kata sobat saya menimpali. “Jadi kalau boleh milih, gua mau kaya aja deh! Sama-sama tergelincir aja kok!”
Pelajaran keempat… . Ah sudahlah! Tiga saja dulu. Kalau memang Anda tertarik untuk memahaminya sebaiknya Anda mengikuti jejak saya untuk ‘doubling up salary’ lebih dahulu. Lain-lain itu cuma teori yang tak ada gunanya kalau tidak pernah mengalaminya.
Surabaya, 29 Mei 2010
Satria Dharma
gmana caranya double upnya pak?
Jangan berhenti di satu pekerjaan saja. Cari pekerjaan yang bisa memberikan gaji dua kali lipat dari yang Anda punyai sekarang. Kalau bisa mulailah untuk memiliki usaha pribadi yang bisa memberikan kesempatan memiliki penghasilan aktif dan pasif tambahan dari yang ada. Does it sound cliche? 🙂 Intinya adalah tingkatkan kapabilitas Anda ‘double up’ untuk mendapatkan penghasilan dua kali lipat. Ah! ini juga klise…! 🙂
Saya mengalami pelajaran 1 sampai 3 nya Pak Satria,
Saya mulai dengan jadi guru gaji 95 rb, pindah kerja jadi triple up 300 rib, pindah lagi jadi 1 jt…, 3 jt…9 jt dst….
alhamdulillah saya nikmati. tapi ada suatu motivasi yang harus saya perbaiki…motivasi itu karena dendam dilecehkan teman-teman kost yang calon dokter, arsitek, ahli kimia, akuntan dll. nasib guru seperti ‘dijengkali’ mereka, nasib guru yang gurem dan madesu. saya buktikan thd diri saya sendiri bahwa saya bisa hidup layak.
Tapi ada pelajaran 4, yang belum dibuka Pak Satria, punya lembaga pendidikan sendiri …
saya masih terobsesi untuk punya bisnis sendiri dan tentu saja lembaga pendidikan sendiri, saat ini sedang dirintis…sebagai guru swasta kita gak punya pensiun dan harus menyiapkan mau sebesar apa pensiun yang dicapai nanti..
Tapi memang banyak waktu yang tersita dan perlu keseimbangan. … dan ternyata materi dan kebendaan yang telah dikejar dahulu tidak membuat kita puas…nafsu itu trus menghantui.. ..saya ingin menjadi guru Kaya, keluarga saya jadi keluarga kaya, sekolah saya jadi sekolah kaya….makanya saya tulis buku sekolah kaya…he he sekalian promosi…
Saya sepakat dengan Tung Desem Waringin, “Uang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya perlu Uang”
Salam,
Joko
Pak Joko, yg nomor 4 tidak berani saya buka sebelum yakin bahwa teman-teman memang ingin punya lembaga pendidikan sendiri.
Secara pribadi saya salut dengan apa yg Pak Joko raih saat ini. Anda mendapatkannya karena kerja keras dan kerja pintar sementara saya hanya karena beruntung. I really admire what you have done so far.
Semoga banyak guru yg bisa mengikuti jejak Anda, Pak Joko!
Salam
Satria Dharma
http://satriadharma .com
Wah saya jadi malu hati,
membaca Sang Maestro kita merendah….
Tahun 2004, Pak Satria pernah kasih saya konsep2 usaha bidang pendidikan.
dan saya terobsesi terus sampai saat ini untuk mewujudkannya. ..
dan saya yakin bisa mewujudkannya dan perlu belajar banyak dari Pak Satria…
Salam,
Joko
Pak Joko,
Ketika pertama kali saya ‘nyemplung’ membuka lembaga pendidikan sendiri di pertengahan tahun 80-an saya memulainya dengan membuka bimbingan belajar (yang ternyata sekarang malah semakin merajalela tersebut. hehehe…). Waktu itu saya baru lulus dari IKIP Surabaya dan diajak oleh seorang teman yang masih belum selesai kuliahnya di fakultas kedokteran UNAIR (dan akhirnya memang tidak pernah menjadi dokter dan macet di Drs Med-nya!). Ia mengajak saya karena rupanya ia tidak tahu apa itu kurikulum, evaluasi, metodologi, dll. Ia sepenuhnya menyerahkan soal ‘isi’nya pada saya sedangkan ia bertugas untuk mencarikan siswa. Bagi saya justru itu yang sulit dan baginya apa yang saya lakukan adalah yang tidak bisa ia kerjakan. So we were perfect partners. 🙂
Dari situ saya sadar bahwa lembaga bimbingan belajar waktu itu justru dibuka dan dimiliki oleh ‘non-IKIPers’ alias mahasiswa yang tidak punya latar belakang fakultas pendidikan. Mostly mereka dari Kedokteran. Mungkin karena mahasiswa kedokteran adalah anak-anak dengan otak terencer, datang dari keluarga kalangan menengah ke atas, dan juga paling percaya diri sehingga mereka merasa kuliah di kedokteran masih kurang ‘menantang’ dalam hidup mereka. 🙂
Ternyata mahasiswa IKIP memang hanya hebat untuk mengelola dan bukan untuk membuka lembaga pendidikan sendiri. I guess they do not have entrepreneurship spirit. Kalau disuruh menjalankan mah mereka jago. Tapi akibatnya adalah mereka cuma jadi karyawan dan tidak pernah jadi pemilik.
Saya merasa SANGAT BERUNTUNG bahwa saya diajak oleh teman saya dari fakultas kedokteran tersebut. Seandainya saya tidak pernah diajak untuk terjun langsung mengelola sebuah bimbingan belajar maka saya tidak akan pernah tahu apakah saya bisa mengelola (dan kemudian memulai sendiri) lembaga pendidikan. Saya tidak akan pernah sampai di titik ini.
Jadi sekarang saya paham betul bahwa KESEMPATAN adalah hal yang perlu kita berikan pada banyak orang agar mereka sadar akan potensinya dan berani mengembil langkah penting dalam hidupnya. Tanpa memiliki kesempatan dalam melakukan sesuatu yang penting dalam karier dan hidup mereka maka segala kecerdasan dan kehebatan yang kita miliki tidak akan ada gunanya. KESEMPATAN itulah yang harus kita berikan dan tawarkan kepada setiap orang di sekitar kita. If they have the chance then they have the future.
Saya rasa di titik ini saya merasakan pentingnya peran guru dalam mendorong dan memberikan kesemptan pada setiap siswanya untuk mencari keunggulan dalam dirinya. Tidak selalu dalam bidang akademik (saya sering sekali menjumpai orang-orang dengan kemampuan akademik luar biasa tapi sangat payah dalam kehidupan sehari-hari) . Kalau mereka sadar akan kemampuan diri mereka maka mereka akan melesat menjadi bintang dari hidup mereka sendiri.
Saya menulis artikel ini dengan harapan memberi ‘api’ kepada teman-teman yang punya ‘bara’ dalam hatinya untuk mengambil sikap dan keputusan penting dalam hidupnya. Kekecewaan terbesar adalah ketika kita memiliki kesempatan dan tidak mengambilnya. So never hesitate to grab it. Failure is nothing compared to the joy of fighting for your chances to succeed.
Salam
Satria Dharma
http://satriadharma .com/
Benar. Harta bukan sumber kebahagiaan, kedudukan juga bukan, isteri juga bukan, jika semua itu membuat kita suka melakukan yang bukan-bukan. Kebahagiaan muncul dari dalam diri kita. Syukur adalah pengubah “lucky” menjadi “happy”. Sabar dan interospeksi adalah pengubah kesialan menjadi kebahagiaan.
Nampaknya saya harus banyak berguru dengan mas satria yang luar biasa.
salam
Omjay
wah……….makasih banyak ya ats infonya nya,,, jadi tau nech,, moga bermamfaat bagi semua and perlu di coba nech kayaknya…