Jika Anda hanya punya kesempatan untuk membaca satu buku saja tahun ini, maka saya akan menganjurkan Anda untuk membaca buku tentang Muhammad Yunus dan Grameen Bank, “Bank for the Poor”. Saya sendiri membaca dari buku terjemahannya yang berjudul “Bank Kaum Miskin” yang diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri. Di sampul depan buku ini ada sambutan dari Hugo Chavez, Presiden Venezuela, :”Beri tepuk tangan untuk kawan kita, teladan perjuangan melawan kemiskinan.” Jika seorang presiden negara sosialis terkenal macam Hugo Chavez saja sampai angkat topi untuk Muhammad Yunus ,(dan mantan presiden Clinton membawanya ‘runtang-runtung’ di Amerika untuk mengadopsi sistem Grameen Bank di Amerika) Anda bisa bayangkan betapa besar kharismanya. Penganugrahan Nobel Perdamaian 2006 sendiri untuk usaha pengentasan kemiskinan yang dilakukannya melalui usaha mikro kredit menunjukkan betapa pentingnya dan betapa berhasilnya sistem Grameen Bank dalam memerangi kemiskinan, bukan hanya di Bangladesh tapi di seluruh dunia. Apa yang beliau lakukan selama dua puluhan tahun benar-benar menunjukkan hasil yang menakjubkan dan membuktikan bahwa metodenya bisa diterapkan di berbagai negara dengan berbagai budaya. Buku ini menceritakan beberapa pendekatan yang digunakan di berbagai negara yang berbeda kultur dan tingkat social dengan tingkat keberhasilan yang fantastis dalam memerangi kemiskinan yang menjadi musuh bersama bagi kemanusiaan Ya, kemiskinan adalah musuh bersama bagi kemanusiaan. Tidak perduli apa agama Anda, tidak perduli apa suku dan bangsa Anda, tidak perduli apa paham politik Anda, begitu bicara tentang kemiskinan maka ia langsung akan menjadi musuh bersama kita dimana tiba-tiba kita bisa saling mengubur perbedaan dan pertikaian dan bergandengan tangan untuk menghadapinya. Terorisme menjadi tidak relevan dan kehilangan pijakan dalam perspektif ini.
Pengalaman Muhammad Yunus dalam mendirikan Grameen Bank, bank bagi kaum miskin yang dimulai di negaranya Bangladesh, dan kini tersebar di 100 negara di dunia begitu menggetarkan dan bisa membuat Anda harus menahan nafas berkali-kali. Kisah-kisahnya yang nyata tersebut begitu dramatis sehingga mampu mengharu-biru perasaan kita.
Di salah satu bab Yunus bercerita tentang bagaimana prosedur dan code of conduct yang harus dilakukan oleh seorang manajer dari Grameen Bank dalam membuka cabang di suatu daerah. Seorang manajer datang ke suatu tempat yang telah disepakati untuk didirikan cabang tanpa perkenalan formal. Mereka tidak punya kantor, tidak punya tempat tinggal, dan tak ada seorang pun yang mereka kenal. Tugas pertamanya adalah mendokumentasikan segala sesuatu mengenai wilayah itu. Mereka memang tidak boleh datang ke desa dengan gaya pejabat dengan kemegahan dan mengharapkan hidangan lezat dan kenyamanan. Manajer dan asistennya tersebut harus membayar sendiri penginapannya dan tidak diizinkan untuk menginap di lingkungan mewah. Mereka hanya boleh menginap di rumah terlantar, asrama sekolah, atau kantor dewan setempat. Mereka mesti menolak tawaran makan dari warga desa yang berada dengan menjelaskan bahwa itu bertentangan dengan aturan Grameen.
Mengapa harus demikian? Ya, karena mereka akan mendirikan bank bagi kaum miskin jadi mereka harus hidup dengan cara hidup orang miskin!
Setiap hari mereka harus berjalan berkilo-kilo meter untuk menjelaskan prosedur pembentukan kelompok peminjam kredit mikro dan kebijakan Grameen adalah hanya menerima mereka yang paling tidak beruntung – kaum perempuan yang tinggalnya paling jauh dari rencana lokasi cabang baru. Tidak perduli panas atau hujan mereka tidak boleh berhenti mengunjungi kaum miskin. Sikap dan kerja keras mereka inilah yang akhirnya bisa melunakkan sikap warga desa. Melunakkan sikap warga desa? Ya. Tidaklah mudah bagi mereka untuk mendapatkan kepercayaan. Warga desa pada awalnya tidak mungkin percaya bahwa mereka adalah pegawai bank. Bahkan para guru desa yang sadar akan tingkat intelektual para karyawan tersebut juga sulit untuk mempercayai bahwa seorang dengan gelar sarjana akan bisa bekerja di desa miskin dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter setiap harinya.
Bukan hanya itu. Mereka bahkan tidak jarang dimusuhi oleh para tokoh politik dan agama di desa. Para ulama konservatif di Tangail, Bangladesh, bahkan mencoba menakuti warga yang tidak berpendidikan dengan menyerukan bahwa seorang perempuan yang meminjam dari Grameen memasuki sebuah wilayah setan yang terlarang bagi perempuan. Mereka mengancam perempuan yang bergabung dengan Grameen tidak akan dikuburkan secara Islam saat meninggal-sebuah ancaman mengerikan bagi seorang perempuan yang tidak memiliki apa-apa.
Maharani Das (35 tah) diberitahu bahwa hubungannya dengan Grameen akan menjadikannya Kristen. Keluarganya menghajarnya berulangkali untuk mencegahnya bergabung dengan Grameen. Musammat Kuti Begum (20 th) dari Faridpur tetap memilih bergabung dengan Grameen meski diperingatkan bahwa bank akan membawanya ke Timur Tengah dan menjualnya ke pedagang budak. Manzira Khatun (35 th) mendengar bahwa dia akan disiksa, tangannya akan ditatto, dan dijual sebagai pelacur.
Itu belum apa-apa. Di salah satu desa manajer Grameen diancam secara fisik oleh seorang tokoh agama. Ketika dirasakan tidak ada celah untuk berdebat dengan si mullah, si manajer kemudian menutup cabangnya dan pergi meninggalkan desa. Ia beritahu nasabahnya dan menganjurkan mereka mengikuti pertemuan orientasi di desa tetangga. Beberapa perempuan yang kelelahan karena harus melakukan perjalanan setiap hari ke desa tetangga menjadi marah pada mullah tersebut dan mulai mendebatnya.
“Mengapa Anda mengancam manajer Grameen itu?” kata mereka. “Grameen datang ke desa ini tidak lain kecuali membawa kebaikan.”
“Apa kamu ingin masuk neraka?” jawab mullah. “Grameen itu organisasi Kristen! Mereka ingin merusak aturan purdah. Itu sebabnya mereka datang.” Purdah adalah tradisi yang melarang perempuan untuk bertemu dan berbicara dengan laki-laki lain.
“Manajer Grameen itu seorang muslim, dan pemahaman Al-Qur’annya lebih baik dari Anda! Lagipula Grameen membolehkan kami bekerja di rumah, menumbuk padi, menganyam tikar, atau membuat bangku bambu, tanpa perlu keluar rumah. Bank yang mendatangi rumah kami. Bagaimana itu bertentangan dengan purdah? Satu-satunya yang menentang purdah disini hanyalah Anda, dengan membuat kami pergi berkilo kilo meter ke desa tetangga untuk mendapat pertolongan. Andalah yang merusak cara hidup kami, bukan Grameen.”
“Pergilah ke rentenir, dia seorang Muslim yang taat,” jawab mullah kebingungan.
“Mereka mengenakan 10% per minggu! Jika Anda tidak mau kami meminjam dari Grameen, maka Anda pinjami sajalah kami uang.”
“Pergi, tinggalkan saya sendiri. Sudah cukup saya kalian hina siang dan malam.”
“Andalah yang melecehkan kami dengan tidak membolehkan Grameen datang ke desa kita. Kami akan datang setiap hari dan melecehkan Anda sampai Anda biarkan bank Grameen masuk ke sini.”
“Baik kalau begitu, persetan dengan kalian semua. Jika kamu ingin celaka dan mendapat siksa neraka selamanya, silakan bergabung dengan Grameen. Aku sudah mencoba semampunya menyelamatkan kalian. Tak ada seorang pun yang bisa mengatakan aku tidak berbuat sekuat tenaga mencoba memperingatkan kalian. Sana, silakan meminjam dan terkutuklah!”
Para ibu ini pun berduyun-duyun meminta manajer bank Grameen kembali ke desa mereka. Tapi manajer memberi syarat bahwa ia hanya akan kembali jika yang telah mengancamnya memintanya kembali. Dia tak ingin ada ancaman fisik baginya dan bagi stafnya.
Perempuan-perempuan itu kembali mengkonfrontir sang mullah dan mendebatnya sehingga si mullah muak dan lelah dengan seluruh masalah yang tidak pernah ia harapkan itu. Akhirnya, karena kehabisan akal, dia sepakat untuk mengundang kembali manajer ke desanya. Bukan undangan yang sangat sopan tapi semua orang mendengarnya.
Masalah begini bukan hal aneh bagi Grameen. Pada situasi lain di satu wilayah ada parpol besar yang menggerakkan unjuk rasa dan rapat umum anti Grameen. Para pemimpinnya berusaha meyakinkan rakyat desa bahwa Grameen adalah organisasi asing yang berusaha untuk mengeksploiasi rakyat lokal dan memboyong laba ke luar negeri. Kelompok ultranasionalis ultra kiri bawah tanah bersenjata membakar kantor-kantor Grameen dan menodongkan senjata ke staf untuk mengusir mereka dari desa. Niat baik dan kerja keras untuk tujuan mulia memang tidak pernah berjalan mulus begitu saja.
Pada tahun 2006 , tiga puluh tahun setelah menapakkan langkah pertamanya di Jobra, Dhaka, Bangladesh, Grameen Bank telah menjadi bank independen dengan 1.181 cabang yang bekerja di 42.127 desa dengan staf sebanyak 11.777 orang. Grameen Bank kini telah melesat dan merambah ke berbagai sektor. Kini ada Grameen Phone dan Grameen Telecom, jaringan seluler nasional dengan 850.000 pelanggan dimana 24.000 adalah ponsel desa yang dioperasikan oleh ‘ibu-ibu ponsel’. Padahal tahun 1997 di seluruh Bangladesh, yang memiliki populasi sebear 120 juta, baru ada 97.000 SST sehingga memiliki ponsel adalah kemewahan luar biasa saat itu.
Selain itu kini ada Grameen Shakti (“Energi”) yang melakukan pengembangan energi terbarukan. Mereka melakukan pencarian energi dengan system photovoltaic, system tenaga matahari rumahan, stasiun aki, turbin angin, gasifikasi limbah kayu dan pertanian.
Apalagi inovasi yang mereka lakukan? Grameen Cybernet dan Grameen Communication, penyediaan layanan internet baik bagi anak-anak peminjam Grameen Bank agar dapat melayani perusahaan-perusahaan di seluruh dunia dalam kapasitasnya dari rumah-rumah atau ruang kantor komunitasnya dan juga bagi lembaga riset. Inovasi dan kreatifitas memang terbuka luas setelah mereka mampu melepaskan diri dari keterbatasan yang mencekam mereka selama itu. Kini mereka mampu membuat Program Kesehatan Grameen, layanan kesehatan yang disponsori Grameen berbasis pembiayaan mandiri atau semacam program asuransi kesehatan. Selain itu mereka juga sudah mulai masuk ke reksadana Grameen. Ini untuk mengalihkan sebagian keuntungan perusahaan Grameen seperti Grameen Fisheries Foundation ke dalam perusahaan pencari laba yang dimiliki bersama oleh peminjam Grameen.
Di bidang pendidikan Grameen jelas tidak tinggal diam. Grameen memberikan 3.700 bea siswa anak setiap tahun. Pendidikan anak merupakan ketentuan yang diwajibkan bagi setiap peminjam Grameen Bank. Itu semacam ‘janji suci’ dari para peminjam dan merupakan salah satu dari “Keputusan Enam Belas” yang mereka cetuskan pada tahun 1984. Janji tersebut berbunyi, :”Kami akan mendidik anak-anak kami dan memastikan bahwa kami mampu membiayai pendidikannya.” Sungguh menggetarkan!
MASA DEPAN
Yunus tidak bicara tentang masa lalu dengan segala kompleksitasnya. Ia berfokus pada masa depan. Ia bicara tentang 100 tahun kedepan. Ia menyongsong laju perubahan luar biasa yang terjadi saat ini.
Baginya kemiskinan adalah suatu hal yang layak dimusiumkan. Ia mengandaikan bahwa suatu ketika anak sekolah pergi berdarmawisata ke “Musium Kemiskinan” dan mereka akan tercekam oleh kesengsaraan dan kehinadinaan martabat manusia pada masa lalu. Mereka akan menyalahkan kakek-nenek mereka karena menolerir kondisi tidak manusiawi ini dan terus membiarkannya menimpa bagian terbesar penduduk dunia awal abad 21.
Bagi Yunus menghapuskan kemiskinan adalah masalah niat. Bahkan hari ini pun dirasakannya dunia belum memberikan perhatian serius pada masalah kemiskinan karena yang berkuasa masih belum tersentuh olehnya. Dunia masih disibukkan oleh isu perang demi perang baik oleh pertentangan ideologi maupun karena politik dan keserakahan manusia.
Bantuan amal bukanlah jawaban untuk menghapuskan kemiskinan. “Charity works once. Social business continues”. Bantuan amal bahkan cenderung mengekalkan kemiskinan dengan merebut inisiatif dari kaum miskin. Bantuan amal pada hakikatnya hanya menyenangkan hati kecil belaka.
Pada tahun 1996 para pelopor Grameen di Amerika melakukan tindakan dramatis dengan mempelopori deklarasi untu mengentaskan kemiskinan tingkat dunia. Target yang hendak dicapai adalah mengentaskan 100 juta keluarga miskin dunia pada 10 tahun mendatang.
Pada tanggal 2-4 Februari 1997 Pertemuan Puncak Kredit Mikro berhasil menggalang aksi di seluruh dunia. 3000 orang dari 137 negara berkumpul di Washington DC. Tiga orang Wakil Ketua Summit Meeting ini Hilary Clinton, First Lady Amerika Serikat waktu itu, Ratu Shofia dari Spanyol, dan mantan PM Jepang Tsutomo Hata memberikan sambutan yang luar biasa.
Dalam sambutannya Yunus menegaskan kembali pandangannya bahwa kemiskinan tidak punya tempat dalam masyarakat manusia yang beradab. Pertemuan puncak ini haruslah dapat menciptakan sebuah proses yang akan mengirim kemiskinan ke museum. Dunia tanpa kemiskinan adalah dunia dimana setiap orang bisa mengatasi kebutuhan dasar hidupnya. Dalam dunia semacam ini tak seorangpun akan mati kelaparan atau menderita gizi buruk.
Inilah sasaran para pemimpin dunia yang telah diserukan selama 4 dekade, tapi mereka tidak pernah menetapkan cara mencapainya. Sekaranglah saatnya pemimpin dunia harus bersatu untuk menjadikan kemiskinan sebagai musuh bersama untuk menyelamatkan dunia dari kemusnahannya sendiri.
Satria Dharma
Jakarta, 13 Agustus 2007
assalamu’layk
saya, editor tabloid Abadi, mohon ijin mengutip artikel Pak Satria Dharma, utk rangkaian artikel kami, insya-Allah dengan tak lupa mencantunkan sumber satriadharma.
terimakasih
saya sedang mencari berbagai tulisan tentang muhamad Yunus, trimakasi buat resensi buku ini. Salah hangat selalu.