Dear all,
Pernahkah Anda bertanya pada diri Anda sendiri apa yang akan Anda minta seandainya Anda masuk surga? Ya, semacam ‘heaven wish-list’, daftar hal-hal yang ingin Anda peroleh jika Anda masuk surga kelak. Bayangkan situasinya dulu. Surga adalah tempat dimana jiwa Anda akan dimasukkan setelah Anda bersusah payah dan bekerja keras melakukan kebajikan-kebajikan di dunia. Di dunia Anda telah berusaha keras sebisa-bisanya untuk melaksanakan perintah Tuhan dan meninggalkan laranganNya. Dan itu adalah suatu perjuangan yang bukan main lho! (Dengar-dengar lebih banyak orang yang masuk neraka ketimbang masuk surga). Itu sebabnya jika Anda masuk surga Anda berhak untuk minta apa saja yang dulunya tidak mungkin Anda peroleh di kehidupan dunia. Just anything you wish!
Sejak kecil saya sudah diajari oleh orang tua bahwa setelah kita mati manusia akan pergi ke salah satu tempat : Surga atau Neraka. Surga adalah tempat segala kenikmatan dan kesenangan. Kita boleh minta apa saja yang kita inginkan di tempat ini. Apa saja? Ya, apa saja! Silakan kembangkan fantasimu agar kelak kalau kamu masuk surga kamu sudah tahu apa yang kamu minta.
Apa yang harus saya lakukan untuk bisa masuk ke tempat yang begitu luar biasa itu? Bla.. bla.. bla…bla.. bla.. bla….. Dan saya mendengarkan dengan antusias syarat-syarat untuk masuk surga tersebut sambil mulai membayangkan apa saja yang akan saya minta seandainya saya kelak masuk surga. (Hmmm… segala yang nikmat tentunya. Tapi saya harus spesifik apa yang nikmat tersebut. Mulai sekarang saya harus sudah mulai mendaftarnya).
Sejak kelas 1 SD saya sudah harus berpuasa menahan lapar dan haus seharian penuh (Puasa adalah salah satu pintu untuk masuk surga, katanya. Well then, I’ll do it). Sejak saat itu puasa sebulan penuh tanpa bolong adalah sebuah target yang harus saya penuhi. Bolong sehari saja (meskipun karena saya sakit) adalah sebuah kegagalan yang cukup membuat saya marah pada diri sendiri. Sejak kecil saya sudah mampu menahan godaan untuk mencicipi segarnya air di bak mandi waktu mandi sore hari, ketika panas sedang terik-teriknya dan rasa haus begitu hebat menyerang. Saya bisa saja menenggak satu atau dua teguk sekedar untuk membasahi tenggorokan. Toh tak ada yang tahu. Tapi …, eit! Tuhan kan Mahatahu! Jadi saya menahan diri. Janji surga ternyata cukup ampuh untuk saya ketika itu.
Ketika berusia 10 tahun saya baru mulai mendaftar apa-apa saja yang akan saya minta pada saat saya masuk surga kelak. Mengapa saya butuh waktu begitu lama untuk mendaftar apa yang saya inginkan di surga? Ini surga, Bung! Saya harus benar-benar cermat mendaftar apa-apa saja yang saya inginkan dan bukan sekedar minta apa saja. Hal-hal yang saya inginkan haruslah benar-benar sensasional, spesial, luar biasa, dan benar-benar pilihan. Jangan sampai saya menginginkan hal-hal remeh. Ini surga, Bung!
Sayang sekali saya tidak punya banyak referensi tentang apa-apa saja yang sensasional, spesial, dan luar biasa tersebut. Kehidupan saya saat itu benar-benar datar dan tak banyak pilihan. Jadi sebelum usia 10 tahun saya belum juga bisa memutuskan apa kira-kira yang akan saya minta kelak di surga. Saya belum menuliskan satu pun permintaan pada daftar keinginan saya (dalam khayalan saya sendiri tentunya) dan itu terkadang membuat saya berbicara pada diri sendiri,:” Ayolah! Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Pilih saja hal-hal yang kira-kira menurutmu enak dan menyenangkan. Toh nanti kalau ternyata kamu tidak suka kamu selalu akan bisa menukarnya dengan yang lain. Siapa tahu kamu mati cepat dan kamu bahkan belum tahu apa yang kamu inginkan di surga! Ini tentu situasi yang tidak kita inginkan, right?” Tapi saya masih anak-anak, sehat walafiat, dan hidup lurus tentu saja. Malaikat pencabut nyawa tidak diutus untuk mendekati anak-anak seperti saya, pikir saya waktu itu. Lagipula… alangkah sulitnya untuk menentukan apa yang saya inginkan di surga kelak. Saya tidak punya banyak referensi (See? Bahkan untuk ke surga kita butuh referensi :-)).
Perlu dipahami bahwa saat itu saya dibesarkan dalam kondisi ekonomi yang sungguh berat (saya baru sadar sekarang). Dengan anak 11 orang (ya, benar-benar sebuah tim sepakbola yang lengkap seandainya saja ada sepakbola campuran) orang tua saya yang PNS tanpa jabatan di Depdikbud benar-benar pontang-panting agar bisa menyuapi mulut-mulut kecil (dan beberapa mulut yang besar) yang perlu makan. Jadi kami hampir selalu gagal untuk bisa makan tiga kali sehari (Coba bayangkan jika Anda harus menyediakan makanan sebanyak 39 piring setiap hari, 11 anak + 2 orang tua = 13 orang X 3 kali makan = 39 porsi sehari!). Makan dua kali sehari sudah merupakan kegembiraan, meski dengan kualitas dan kuantitas makanan yang di bawah standar WHO. Dan kami juga harus sekolah. Dan kami juga perlu biaya transport (uang saku is beyond imagination). Kami juga perlu pakaian yang layak. (Ketika tour perpisahan SMP saya terpaksa harus memakai celana panjang adik perempuan saya yang komprang berwarna merah terang dan harus saya peniti bagian pinggangnya agar pas saya pakai. Saya benar-benar tidak punya pakaian lain. I had to wear
it. Sialnya ketika di bis dalam perjalanan pulang seorang teman saya yang usil melihat ini dan berteriak kegirangan sambil memberitahu seisi bis ‘peristiwa besar’ tersebut. Saya menyumpahinya (dan terpaksa harus mencoretnya dari daftar orang yang akan saya ajak masuk surga jika itu ada). Jadi jangan cerita tentang ‘samsara’ pada saya. Saya sudah ‘bergembol karung tiga’ dalam hal sengsara sejak kecil. 🙂
Jadi saya tidak punya referensi tentang apa yang mewah dan benar-benar sensasional untuk saya minta kelak di surga hingga saya berusia sepuluh tahun. Pada usia sepuluh tahun saya pertama kali menetapkan apa yang saya inginkan jika saya kelak masuk surga. Tahukah Anda apa yang saya anggap begitu sensasional sehingga saya menginginkannya kelak di surga? Jika kelak saya masuk surga maka saya akan minta ICE CREAM! Jangan tertawa. Ya! Saya memasukkan ice cream sebagai my first heaven wish-list.
Begini ceritanya…
Sampai usia sepuluh tahun saya belum pernah mencicipi ice cream sekali pun. Saya hanya tahu namanya tapi belum pernah mencobanya. Keluarga saya tentu tidak punya kelebihan uang untuk membelikan kami ice cream pada saat itu. Suatu hari tetangga saya (yang kaya) mengikuti kursus membuat ice-cream. Setelah mengikuti kursus ia kemudian praktek membuatnya sendiri di rumahnya. Karena hasilnya cukup banyak maka saya mendapat bagian satu cup ice cream. Warna ice-cream tersebut hijau tua dalam wadah cone coklat krem yang bisa dimakan (Ya, saya masih ingat warna, tekstur, rasa, dan bahkan suasana ketika memakannya pertama kali!).
Saya memakannya di tangga belakang rumah, sendirian. Kuatir kalau-kalau adik saya lewat dan minta untuk mencoba juga (not quite a good brother, eh! :-)).
Begitu saya mencicipinya saya langsung mendapatkan sensasi yang luar biasa. Ice cream pertama saya itu terasa luar biasa enaknya waktu itu. Saya tidak pernah tahu sebelumnya bahwa ice cream itu benar-benar luar biasa enaknya. Ice cream tersebut benar-benar enak sehingga saya berusaha untuk menikmatinya berlama-lama. Saya ingin menikmati setiap jilatannya dan ingin mengingat sensasinya selama mungkin. Sekali dalam hidup saya merasakan betapa enaknya ice cream tersebut. Ice cream langsung masuk dalam daftar ‘heaven wish-list’ saya nomor 1!
“Ya, Tuhan! Kalau saya masuk surga maka saya ingin minta ice cream seenak ini. As much as I want it.”, demikian pinta saya dalam hati kepada Tuhan. (Piece of cake!, demikian jawab Tuhan kira-kira. No, God! I want ice-cream, not a piece of cake). 🙂
Onde-onde Mojokerto masuk dalam daftar berikutnya. Wakakak..! 😀
Onde-onde Mojokerto? Ya, benar. Jika Anda tidak tahu apa itu onde-onde Mojokerto, let me explain it to you. Onde-onde adalah kue yang berbentuk bulat dengan taburan wijen di luarnya. Isinya biasanya kacang hijau. Berdasarkan guyonan teman saya katanya onde-onde ternyata mampu membuat bangsa Amerika terkagum-kagum. Mengapa demikian? Karena mereka heran betapa telatennya orang Indonesia menempelkan biji wijen satu persatu pada onde-onde tersebut! Mbelgedhez! Edan po nempelke wijen satu persatu!
Onde-onde Mojokerto sebenarnya sama saja dengan onde-onde lain tapi yang ini ukurannya sebesar bola tennis dan enaknya luar biasa. Paling tidak begitulah saya merasakannya ketika pertama kali saya mencobanya. Bayangkan! Sudah enak, besar lagi! Jadi saya bisa menikmatinya berlama-lama.
Apalagi yang pernah masuk dalam ‘heaven wish-list’ saya? Yang masih saya ingat adalah nasi goreng kambing. Adanya waktu itu di jalan Embong Malang, Surabaya. Saya baru bisa menikmatinya ketika seorang tamu keluarga dari Kalimantan datang dan selalu membawakan nasi goreng tersebut ke rumah. Apa hebatnya nasi goreng tersebut? Potongan dagingnya begitu melimpah sehingga setiap sendok nasi yang kita suap akan selalu berisi daging kambing yang begitu enak terasa saat itu. Mak nyus! Mungkin begitu istilah yang popular sekarang. Maklumlah! Saat itu menu kami sehari-hari paling istimewa adalah nasi dengan lauk telor goreng. Satu telur untuk 5 anak. Jadi telor tersebut harus dicampur dulu dengan tepung (atau parutan kelapa) sebelum digoreng agar jadi banyak dan bisa dibagi lima atau enam potong. Jadi nasi goreng dengan lauk yang ‘generous’ tasted like heaven to me. So it should become my heaven wish-list.
Saya tidak ingat apa lagi yang pernah menjadi ‘heaven wish-list’ saya setelah itu. Saya sibuk dengan hidup saya sehari-hari, tumbuh dewasa, dan menyusun daftar keinginan di surga menjadi terasa kampungan. 🙂
Mungkin ini sama dengan mempercayai Sinterklas di tradisi umat Kristen Barat.
Apakah saya masih menjadikan ice-cream, onde-onde Mojokerto, dan nasi goreng sebagai ‘wish-list’ dalam kehidupan saya selanjutnya? Hehehe…! Saya masih membeli ice-cream sesekali karena anak-anak saya suka. Tapi saya tidak pernah menjadikannya sebagai ‘favourite food’. Onde-onde Mojokerto? Minyaknya yang berkilau saja sudah membuat saya tidak tertarik. Lebih-lebih jika itu sebesar bola tennis! No, thanks!
Nasi goreng daging kambing? Saya lupa kapan terakhir kali saya pernah menikmatinya lagi. Tapi nasi goreng memang masih menjadi makanan favorit saya (sehingga menjadi olok-olok istri saya. Katanya ini menu putus asa. Kalau sudah bingung mau pesan apa di restoran yang dipesan ujung-ujungnya nasi gorang juga)). May be I will still keep it as a wish-list. Hehehe…!
Nah, jika Anda bertanya pada saya apa yang menjadi ‘heaven wish-list’ saya sekarang, maka saya mungkin akan menjawab ’72 angels’! Wakakak…! Why not? Sekarang saja hidup saya begitu nikmat accompanied by two angels, istri saya dan anak bungsu saya, my little angel. Bayangkan kalau kelak Anda bisa dilayani oleh 72 bidadari! (OK! Do your homework first). 🙂
Please, jangan bilang-bilang pada istri saya tentang hal ini. Saya mungkin akan kerepotan untuk menjawab siapa ‘the other 70 angels’ dalam ‘heaven wish-list’ saya kalau ia tanya!
Jakarta, 10 Agustus 2007
Satria Dharma