Kasus malapraktek Dr Ayu yang kemudian diikuti oleh gelombang protes berupa demo dari para dokter membuat kita semua tiba-tiba tersadar bahwa dokter juga bisa demo. Bukan hanya buruh, bukan hanya guru, bukan hanya ormas, lurah, waria, dll. Kini bahkan dokter pun berdemo. Tentu saja dengan tuntutan dan cara masing-masing.
Tak lama kemudian muncul kisah tentang Dr. Lo Siauw Ging, Dokter Gratis dari Solo. Kisah kedermawanannya mengisi berbagai media dan disebar kemana-mana.
Kisah kesederhanaan, kedermawanan, dan rasa kasih Dr Lo pada pasiennya memang fenomenal. Sejak awal menjadi dokter hingga usianya telah mencapai 79 tahun, dr Lo mendedikasikan hidupnya untuk pasien, terutama pasien yang miskin. Dokter yang membuka praktik di jalan Jagalan no 27 Jebres, Solo, ini merawat dan mengobati pasiennya yang mayoritas dari keluarga kurang mampu dengan tidak memungut biaya alias gratis atau semampu pasiennya. Dokter Lo sering menolak ketika diberi upah dari memeriksa pasiennya. Karena kedermawanannya itulah dulu pasien yang datang tiap hari bisa mencapai 100 orang. Namun sekarang pasien yang datang ke rumahnya rata-rata ‘tinggal’ 60 pasien.
Tak semua pasien berasal dari kalangan miskin, ada juga yang mampu. Kepada pasien yang mampu ini pun, dr Lo tidak memasang tarif. Ada juga di antara pasiennya yang membayar dengan cara meletakkan amplop berisi uang di mejanya. Pernah juga ia dibayar dengan palawija atau buah-buahan hasil kebun pasiennya.
Bukan hanya gratis, tapi pada pasien yang benar-benar miskin ia bahkan memberi obatnya sekalian secara gratis. Ia bekerjasama dengan apotek tertentu untuk itu. Pihak apotek akan memberikan obat itu kepada si pasien secara gratis. Tagihannya akan dibebankan kepada dr Lo di akhir bulan.
Kedermawanan juga berlangsung ketika ia dipercaya mengelola RS Kasih Ibu, Solo sebagai direktur antara tahun 1981 hingga 2004. Sebagai kepala RS Kasih Ibu ia meminta stafnya untuk tidak memungut uang muka bagi pasien rawat inap. Ketika itu, RS Kasih Ibu banyak menerima pasien yang telah ditolak oleh banyak rumah sakit karena tidak mampu membayar uang muka perawatan atau hanya karena sekadar tidak mampu menunjukkan KTP. Menurutnya orang yang tidak bisa mengurus KTP pastilah orang yang hidupnya susah. Apalagi pasien korban kecelakaan. Tidak mungkin orang yang terkena musibah mendadak di jalanan dan pasti tidak membawa uang cukup ini harus membayar uang muka. Padahal dia harus mendapatkan perawatan segera karena musibah itu.
Lalu bagaimana dr Lo menghidupi keluarganya? Pria yang tak dikaruniai anak ini mengaku sudah hidup layak dengan gaji sebagai pensiunan PNS. Selain itu, ia mendapat gaji dari RS Kasih Ibu karena masih praktik di poliklinik rumah sakit itu sampai sekarang.
Kisah tentang Dr Lo bertebaran dan bisa kita temui di berbagai media sosial.
Tapi ketika saya bercerita tentang Dr Lo ini sebagai contoh betapa seorang dokter bisa begitu dermawan dan tidak mata duitan seorang teman guru berkomentar, “Dr Lo memang hebat. Jarang ada orang sebaik dia di jaman sekarang, tapi….” Ia tidak meneruskan kata-katanya.
“Tapi apa…” tanya saya penasaran.
“Bukannya kisah kedermawanan seperti itu hal yang biasa di dunia pendidikan?” tanyanya balik.
“Maksudmu…?!”
“Lha kalau pensiunan guru kemudian memberi les kepada tetangganya secara gratis bukannya hal yang biasa di dunia pendidikan?” tanyanya sambil mengerling.
Saya terhenyak. Iya ya….!
Di dunia pendidikan rasanya cukup banyak guru, apalagi yang sudah pensiun, kemudian memberi les kesana kemari tanpa menarik biaya. Saya punya teman yang demikian. Ia menetapkan biaya yang sangat murah untuk les yang ia berikan. Sekedar syarat saja. Kepada tetangganya yang benar-benar miskin biayanya ia gratiskan dan kadang malah ia yang membelikan buku-buku untuk mereka.
Bukankah ini sama dengan praktek yang dilakukan oleh Dr Lo?
Tapi mengapa saya tidak pernah menganggap tindakan teman saya itu hebat-hebat banget? Malah saya sering meledeknya sebagai kegiatan ‘tinimbang nganggur’ dan ia ketawa-ketawa saja dengan sindiran saya tersebut. Mengapa saya lantas terkesima pada apa yang dilakukan oleh Dr Lo padahal apa yang dilakukan oleh teman saya itu pada hakikatnya sama mulianya?
Teman saya itu adalah Dr Lo dibidang pendidikan….! Ia seharusnya mendapatkan penghargaan (dan liputan pemberitaan) atas tindakan dermawannya itu.
Tapi teman saya ketawa ketika saya sampaikan hal ini. Media gak bakal tertarik pada guru yang memberi les gratis, katanya. Ada ‘sak umbruk’ guru yang melakukan seperti itu. Begitu juga di profesi lain. Di bidang pendidikan kita bahkan telah melangkah lebih jauh, tambahnya.
“Whaat…?!” tanya saya tidak paham dengan maksudnya, “Melangkah lebih jauh…?!.
“Kan banyak sekali orang yang membuka sekolah gratis yang ditujukan bagi anak-anak miskin. Lha itu kan setara dengan dokter yang membuka rumah sakit gratis bagi orang miskin,” sahutnya.
Benar juga ya…!
Kapan ya kita dengar ada dokter yang pensiun kemudian membuka rumah sakit gratis bagi pasien miskin…?! Kalau sekolah gratis bagi dhuafa mah sudah banyak orang yang melakukannya.
Guru yang mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak miskin itu pada hakikatnya sama dengan dokter yang membuka rumah sakit gratis bagi pasien-pasien miskin. Orang-orang yang membiayai sekolah anak-anak miskin pada hakikatnya sama dengan orang membiayai biaya pengobatan anak miskin di bidang kedokteran, dst…
“Tapi mengapa praktek guru yang memberi les gratis tidak pernah diliput media sedangkan praktek Dr Lo mendapat pujian yang begitu luas?”, tanya saya.
“Itu mungkin sindiran bagi para dokter,” jawab teman saya sambil lalu.
“Maksudmu…?!”
“Kan sangat jarang kita menemukan dokter yang begitu dermawan membebaskan biaya prakteknya. Kalau guru kan banyak. Mungkin kalau ‘disindir’ dengan praktek Dr Lo yang dermawan mereka akan tergerak juga untuk melakukan hal yang sama.
Oooo….gitu toh….!
Dan saya pun tertawa mendengar teman saya yang ‘asbun’ itu.
Surabaya, 9 Desember 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Atau mungkin lebih gengsi jadi dokter daripada guru? atau lebih mahal sekolah dokter daripada sekolah guru?
hehehehe…saya jadi bingung sendiri…
jika sebagian dokter Indnesia seperti beliau maka akan terwujud Indonesia yg sehat, betul gak pak? 🙂