
Ketika kami sedang mendiskusikan tentang praktek intoleransi dan diskriminasi di sekolah, Prof Anita Lie bercerita pengalaman beliau ketika bekerja di Komunitas Demokrasi Indonesia. Beliau dikirim ke sebuah kabupaten di Sulsel beberapa kali. Kata beliau, āWaktu sowan ke Bupati nya bersama NGO lokal (teman2 dosen Unhas dan UIN), Bupati nya melototi saya terus dan berulang-ulang berkata āKami di sini 100% orang Makassar dan Muslim.ā Seakan2 berkata āIbu mau apa datang ke sini?ā Dan kepada teman2 UIN saya āNgapain lu bawa mahluk aneh ini ke sini?”
Di tim saya ada pak Tamrin Amal Tomagola, orang Ternate yg ‘keedanannya’ setara dgn teman2 di grup ini. Waktu Bupati bilang “Kami 100% Makasar dan 100% Islam di sini” dan memandang saya, saya hanya mengangguk dan tersenyum. Pak Tamrin yang menjawab, ” Ini Ibu Anita Lie. Dia ada di sini bukan utk buat gereja dan buka toko (mungkin krn saya sipit ya hehehe). Kami buat Sekolah Demokrasi di sini utk membantu menaikkan indeks2 pendidikan dan kesehatan masyarakat.” 😂
Di akhir 3 thn Sekolah Demokrasi kami di sana, kami menjadi bersahabat. Sampai sekarang, walaupun komunikasi hanya terbatas di medsos.ā demikian kisah Bu Anita kepada kami.
Bagi saya ini pengalaman menarik dan membuat saya berpikir. Jelas sekali bahwa ada orang-orang tertentu yang sekelas pemimpin dan figur publik yang masih merasa āinsecureā dan āintimidatedā atau terancam oleh adanya sosok liyan yang masuk ke dalam teritorinya.
Dalam hal ini Pak Bup merasa kehadiran Prof Anita Lie yang non-muslim dan non-Makassar merupakan sebuah ancaman atau paling tidak merupakan sebuah ketidaknyamanan baginya. Pak Bup mungkin curiga bahwa kehadiran sosok liyan dalam perspektifnya akan mengganggu kenyamanan dan ketentraman kehidupannya dan lingkungannya. Ini jelas sikap defensif, distrust, dan protektif yang tidak beralasan. Apa sih yang dia kuatirkan bisa dan akan dilakukan oleh seorang professor wanita non-muslim keturunan China yang ikut dalam sebuah tim kerja yang datang ke daerahnya?
Menurut saya ini mungkin hanya cerminan dari inferiority complex yang dimiliki Pak Bup. Dia merasa āinsecureā dan kurang percaya diri jika menghadapi sosok atau kelompok liyan yang tiba-tiba masuk dalam lingkup pergaulannya. Perasaan āinsecureā dan tidak nyaman semacam ini bisa berkembang menjadi sikap intoleran dan intimidatif kepada sosok atau kelompok yang dianggap sebagai āintruderā.
Perasaan hebat, lebih daripada komunitas lain, merasa kelompok atau komunitas lain tidak setara dengan komunitas kita juga bisa membuat kita menutup diri dan bersikap seperti katak dalam tempurung. Merasa bahwa suku, agama, ras, dan golongan kita lebih baik daripada orang lain dan orang lain tidak setara dengan kita sebenarnya merupakan cerminan dari rendahnya lingkup pergaulan kita. Kita kurang banyak bergaul dan bersosialisasi.
Hitler sendiri sangat membenci orang Yaudi karena menganggap bahwa orang Yahudilah yang menyebabkan Jerman kalah di PD I. Hitler menganggap bahwa orang Yahudi berkhianat pada Jerman PD I. Oleh sebab itu ia sangat dendam pada orang Yahudi. Untung saja orang Indonesia sangat pemaaf. Meski pun dijajah dengan kejam oleh bangsa lain tapi sudah dilupakan. Kita sekarang bekerja sama dengan bangsa yang dulu menjajah kita dan sekarang malah membiarkan Jepang menguasai industri otomotif di Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan di benak saya adalah mengapa masih banyak umat Islam yang merasa āsuspicious and insecureā dan tidak nyaman bekerja sama dengan umat lain. Ada juga sikap takut terpengaruh dan terkontaminasi oleh ideologi dan pandangan lain yang dianggap sesat dalam ajaran agama Islam. Sikap ini akhirnya membuat umat Islam menjadi menutup diri dan tidak mau bekerja sama kecuali dengan sesama muslim. Itu pun kemudian berkembang menjadi mencurigai yang tidak semazhab, segolongan, separtai dengan dirinya. Yang berkembang akhirnya adalah sikap curiga, defensif, menutup diri, merasa selalu terancam, dan akhirnya malah menjadi agresif terhadap setiap perbedaan.
Tentu saja sikap semacam ini tidak muncul begitu saja tapi memang ditumbuhsuburkan dalam komunitas pergaulan sesama muslim. Seperti kata Nelson Mandela āTidak ada orang yang lahir membawa kebencian. Kebencian itu tidak dibawa dari lahir tapi diajarkanā. 🙏
Surabaya, 12 Agustus 2023
Satria Dharma