
– Ya, Ustad…. bagaimana hukum perbankan dalam Islam?
– Apa yang kamu maksud dengan ‘dalam Islam’? Apakah maksudmu sesuai dengan pendapat Alquran dan Rasul? Jika itu yang kamu maksud maka Alquran dan Rasul TIDAK PERNAH berbicara soal perbankan. Sama dengan perkara internet, crypto currency, kecerdasan buatan, vaksinasi, operasi transplantasi organ, mengatur kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, berapa gaji, bonus, dan fasilitas seorang CEO, berapa uang belanja yang harus diberikan oleh suami pada istri, perpindahan Ibukota negara, apakah sebaiknya seorang istri ikut bekerja dan mencari nafkah atau tidak, jalur lalu lintas sebaiknya di kiri dan kanan, dan SANGAT BANYAK hal yang kita anggap sangat penting sampai sangat remeh dalam kehidupan yang TIDAK DIATUR dalam Alquran dan tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah. Bahkan sebaliknya dalam Alquran ada banyak hal yang diatur yang saat ini sudah TIDAK LAGI kita lakukan alias sudah obsolete.
Jadi jika para ulama atau ustad mengatakan hal dan hukum ini dalam Islam seperti ini dan itu maka sebenarnya mereka sekedar mengacu pada peristiwa-peristiwa yang lalu yang mungkin tidak pernah terjadi atau tidak pernah dibahas di zaman agama Islam diturunkan. Mereka hanya berusaha untuk menganalogikan dan mencocok-cocokkan antara hukum yang dulu PERNAH dilakukan dengan peristiwa yang terjadi saat ini. Tentu saja kadang-kadang fatwa hukum yang mereka sampaikan itu SANGAT MENGADA-ADA dan sangat menggelikan sekaligus menyedihkan untuk kita ikuti.
– Tapi Ustad…bukankah riba itu jelas-jelas dilarang dalam agama? Bukankah dalam perbankan itu ada riba?
– Riba itu MEMANG dilarang dalam Islam. Tapi perbankan itu BUKAN riba. Perbankan itu adalah sebuah sistem keuangan yang kompleks yang digunakan oleh semua negara, bahkan negara yang paling mengaku Islam pun, sedangkan riba adalah sebuah jenis transaksi simpan pinjam yang merugikan dan menzalimi si peminjam. Di dalam sebuah transaksi simpan pinjam mungkin saja ada yang merugikan tapi itu tidak berarti perbankan adalah riba. Itu adalah dua hal yang berbeda. Sama dengan jika kamu bertanya apakah maksiat itu dilarang dalam agama lalu menghubungkannya dengan kegiatan rekreasi di mana laki-laki dan perempuan bercampur. Apakah mungkin ada maksiat dalam kegiatan rekreasi tersebut? Mungkin saja. Tapi kita tentu saja tidak bisa mengatakan bahwa rekreasi bersama jamaah masjid ini ke Bali adalah perbuatan maksiat. Itu adalah sebuah analogi yang sama sekali tidak nyambung dan sama sekali tidak perlu kita hubung-hubungkan.
– Bagaimana dengan vaksin halal dan Haram, Ustad?
– Kalau ada seorang ulama atau bahkan sekumpulan ulama yang memberikan fatwa soal vaksin, pemilihan Presiden, perlu atau tidaknya KPK, KPU, MA, Komisi Yudisial, atau apa pun yang tidak ada pada zaman Rasulullah maka SEBENARNYA itu hanyalah pendapat pribadi mereka saja dan tidak ada hubungannya dengan Alquran dan Nabi. Mereka hanya berusaha mencari-cari analogi yang bisa mereka hubung-hubungkan dengan apa yang pernah terjadi di zaman dulu dan apa pendapat Nabi soal itu. Mungkin saja kalau Nabi masih hidup maka beliau akan mewajibkan atau mungkin saja Nabi melarangnya. Tapi tidak ada yang tahu karena Nabi sudah wafat 14 Abad yang lalu dan hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Jadi kebenaran pendapat atau fatwa mereka soal vaksin tersebut dalam agama adalah seperti kebenaran pendapat siapa pun yang mencoba-coba untuk menganalogikannya. Jika ada ulama yang menganggap bahwa pendapatnya dalam hal tersebut adalah sesuai dengan ajaran Alquran dan Nabi maka dia sebenarnya berupaya untuk membohongi kita dengan mengatasnamakan agama. Yang benar adalah bahwa hal itu sesuai dengan pemikirannya sendiri.
– Jadi kalau soal vaksin siapa yang harus kita dengar fatwanya?
– Ya jelas pemerintahlah. Mereka yang berwenang dan bertanggungjawab atas perlu dan tidaknya vaksin dilakukan. Kewenangan dan tanggungjawab ada pada Pemerintah sebagai ulil amri dan kita wajib patuh pada ulil amri. Pemerintah sendiri jelas harus mendengarkan para ahli di bidang kesehatan untuk menentukannya. Ulama yang sama sekali tidak berkecimpung dalam hal ini dan tidak punya keahlian sama sekali dalam hal ini SEHARUSNYA menghindari untuk mengeluarkan pendapatnya karena mereka adalah orang awam yang justru harus mendengar dari para ahlinya.
– Bagaimana kalau ada hal yang jelas-jelas tertulis dalam Alquran tapi sudah tidak sesuai dengan situasi zaman sekarang? Apakah kita BOLEH meninggalkannya, Ustad?
– Beragamalah seperti Umar RA. Beliau menjalankan perintah agama dengan menyesuaikan situasi dan kondisi di zamannya. Kalau sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi maka aturan dalam Alquran pun akan ditinggalkannya dan disesuaikannya dengan kebutuhan dan kemaslahatan umat yang dipimpinnya.
– Ah mosok Umar RA berani melakukan itu, Ustad?
– Ah, iya, wahai santriku. Coba baca ini.
Denpasar, 7 Februari 2022
Satria Dharma