Saya memperoleh buku ini ketika Deklarasi DKI sebagai Propinsi Literasi pada tgl 27 Januari 2016 yang lalu. Dalam satu set ada lima buku, yaitu Panduan GLS untuk SD, SMP, SMA, SMK, dan SBK. Ini buku yg dikerjakan cukup lama oleh Tim Satgas GLS Dikdasmen yang meski pun saya terlibat dalam diskusinya tapi tidak masuk dalam timnya.
Saya tentu saja gembira sekali bahwa pada akhirnya buku ini selesai juga disusun karena semua sekolah pasti sdh menunggu-nunggu sebuah buku pedoman bagi mereka utk menjalankan program Gerakan Literasi Sekolah yg merupakan implementasi dari Permendikbud 23/2015. Gerakan Literasi Sekolah adalah sebuah program baru samasekali dan jelas sekolah membutuhkan sebuah pedoman pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaannya. Para kepala sekolah dan guru butuh semacam manual ringkas dan praktis utk melaksanakannya di sekolah masing-masing. Sebuah buku pedoman yg akan menggelorakan minat dan keinginan mereka utk mengimplementasikannya di sekolah masing-masing apa pun situasi dan kondisi sekolah yg mereka hadapi.
Tapi setelah saya buka dan baca saya lalu sadar bahwa bukan buku seperti ini yg dibutuhkan oleh sekolah. Buku ini samasekali bukan semacam manual yg ringkas dan praktis melainkan semacam buku rujukan atau referensi tentang apa itu literasi dan bagaimana program itu akan dilaksanakan oleh Kemdikbud. Buku ini lebih kepada manual bagi Kemdikbud dan Disdik di daerah dan bukan utk kepala sekolah dan guru. Buku ini samasekali tidak praktis dan sangat bertele-tele bagi sekolah. Bagan-bagan yg disertakan bukannya memudahkan sekolah utk melaksanakan program ini tapi justru cenderung memperberat konten yg ada di buku ini. Bahkan saya yg pegiat literasi merasakan betapa beratnya konten buku panduan ini dan sulit mendapatkan ‘inti’ dari buku ini.
Saya sekarang cemas bahwa jika buku ini diedarkan maka sekolah bukannya merasa terbantu tapi sebaliknya malah merasa kesulitan dan terbebani olehnya. Jika kesan pertama yg mereka dapatkan tentang program GLS ini adalah rumit, sulit, dan membebani maka sangat besar kemungkinannya bahwa program ini akan gagal total sejak dari awal. Benak mereka akan langsung menolak sesuatu yg berat dan tidak menyenangkan.
Perlu dipahami bahwa prinsip dasar dari sebuah pembiasaan atau pembudayaan semacam literasi ini adalah bahwa program tersebut haruslah MUDAH dan MENYENANGKAN. Program tsb haruslah MUDAH DILAKSANAKAN dan PROSESNYA MENYENANGKAN bagi semua pihak yg melaksanakannya. Kepala sekolah dan guru haruslah mendapatkan kesan bahwa buku pedoman ini ‘user friendly’ dan program yg ditampilkan dan yg akan mereka lakukan dan implementasikan di kelas adalah mudah dan menyenangkan. Mereka harus mendapatkan kesan pertama bahwa ini program yg BAGUS, PENTING, MUDAH DILAKSANAKAN, dan MENYENANGKAN. Jika kita membuatnya sulit dan tidak menyenangkan maka program ini justru akan mematikan keinginan dan motivasi di sekolah dalam mengimplementasikannya alih-alih menumbuhkan gairah mereka.
Ada perbedaan mendasar dalam pandangan saya dan Bu Pangesti sebagai ketua Tim Satgas GLS mengenai Gerakan Literasi Sekolah ini. Sementara Bu Pangesti ingin agar buku panduan tersebut lengkap dan menyeluruh memuat semua informasi ttg apa itu literasi dan bagaimana literasi secara holistik dijalankan saya berpandangan bahwa gerakan ini haruslah diterima oleh sekolah sebagai sebuah kegiatan yg mudah, menyenangkan, dan tidak membebani sekolah. Kita perlu melakukan PEMBIASAAN literasi dasar, yaitu membaca dan menulis lebih dahulu. Kita ingin MEMBUDAYAKAN membaca dan menulis lebih dahulu dan tidak ingin membebani mereka dengan berbagai macam jenis literasi dan tagihannya lebih dahulu. Itulah amanat dari Permendikbud 23/2015 yg hanya mengamanatkan kegiatan membaca buku non-pelajaran 15 menit setiap hari. Ingat bahwa dalam Permen itu bahkan TIDAK ADA disebut soal MENULIS…! Mengapa…?! Karena kita baru dalam tahapan MEMBIASAKAN SISWA utk melakukan literasi dasar membaca (dan menulis).
Jika pada tahapan awal saja kita sdh membebani mereka dengan berbagai jenis dan komponen literasi maka sangat besar kemungkinan program GLS ini akan menghadapi penolakan dan keengganan dari para pelaku di sekolah.
Ketika saya menyodorkan buku panduan tersebut pada seorang guru dari sebuah SMAN favorit di Jakarta untuk ia baca keningnya langsung berkerut. “Wah ini sih buku referensi utk bikin disertasi…!” serunya. Ketika saya sodorkan contoh buku USAID Prioritas yg berjudul “Praktik yg Baik Budaya Baca di SD/MI dan SMP/MTs” yg sederhana, ringkas, dan penuh grafis senyumnya langsung mengembang. “Yang seperti ini sajalah. Sederhana tapi informatif.”
Semoga masih ada waktu utk merevisi buku ini.
Citilink QG-800, 5 Februari 2016