Kampanye literasi saya kali ini kembali masuk ke sekolah marjinal, tepatnya di MTs Nurul Huda Widoro di Kebumen Jawa Tengah. Semula saya pikir Widoro adalah nama kecamatannya. Ternyata itu adalah nama desa. Utk bisa datang ke sekolah ini kami (saya dan istri) harus masuk berkilo-kilo dari jalan utama menuju jalan kecil yg berkelok-kelok menembus persawahan demi persawahan yg nampak subur. Tapi bisa memandang persawahan yg hijau di sepanjang perjalanan adalah kegembiraan yg saya anggap sebagai bayaran bagi saya utk datang kemari.
Saya bisa datang kemari atas undangan kawan SD dan SMP istri saya yg kebetulan menjadi kepala sekolah di MTs tersebut. Entah apa promosi istri saya sehingga Ibu Sudibjan, sang Kasek, akhirnya mem’booking’ saya utk datang ke sekolahnya. Tidak tanggung-tanggung, ia bahkan meminta saya utk berpresentasi 3X dalam sehari, yaitu pagi, siang dan sore. Paginya utk siswa, siangnya utk ortu, dan sorenya utk para guru. Ketika saya tanya mengapa bukan guru yg didulukan dijawab bhw para guru masih ada tugas lain sehingga baru bisa pada sesi ketiga. Baiklah kalau begitu… (Ketipung bisa main dulu, gitar main belakangan). 🙂
Karena diberitahu bahwa sekolah ini adalah MTs swasta di desa maka saya langsung paham bahwa problem utama pengembangan minat baca di sekolah itu pastilah buku. Sangat jarang ada sekolah di desa yg punya perpustakaan yg memiliki buku-buku bacaan yg menarik bagi siswa. Jangankan di desa, di kota pun banyak sekolah negeri yg tidak punya perpustakaan yg memadai. Buku bacaan, utamanya yg menarik minat siswa, adalah problem utama kita dalam membuat anak suka membaca. Sekolah-sekolah kita adalah sekolah yg dirancang bukan utk membuat anak memiliki kebiasaan dan kecintaan utk membaca tapi utk mengerjakan soal-soal rekaan guru yg dikomando dari Kemdikbud yg bahkan samasekali tidak ada relevansinya dg kehidupan anak di lingkungannya. (Anak-anak…! Kapan terjadinya Perang Diponegoro? Pas Maghrib, Bu. Lho kok…?! Kan antara 1825 s/d 1830. Itu pas maghrib lho, Bu!)
Karena sudah tahu masalah utamanya maka saya segera mengumpulkan buku-buku bacaan yg ada di rumah saya utk saya bawa ke sekolah ini. Kebetulan di rumah ada ratusan buku hasil berburu buku-buku murah selama ini. Buku-buku ini memang saya beli dengan tujuan untuk saya berikan pada sekolah-sekolah marjinal macam MTs Nurul Huda Widoro ini. Untuk itu saya harus menyortir mana buku-buku yg cocok utk siswa Mts, khususnya yg ada di desa. Agak sulit memang karena buku-buku yg saya beli kebanyakan novel utk siswa yg lebih dewasa. Meski demikian, terkumpul sekitar 50-an buku yg saya anggap cocok utk dikonsumsi oleh mereka. Ada beberapa komik juga yg saya yakin akan menarik minat mereka.
Demikianlah…
Saya berangkat ke Kebumen dengan naik kereta Sancaka ke Jogya dan setelah itu naik Pramex ke Kutoarjo (berdiri sepanjang perjalanan). Tidak ada kereta langsung ke Kebumen dan Kutoarjo adalah kecamatan terdekat ke Kebumen. Kami menginap di hotel Sawung Galih (ya, Sawung Galih. Bukan Sawung Galing) di Kutoarjo dan esoknya pagi-pagi benar baru kami berangkat menuju MTs Nurul Huda di desa Widoro, Kebumen.
Meski sekolah ini terletak di pinggir jalan desa tapi kami tetap tidak melihat papan nama sekolahnya sehingga kami kebablasan dan mesti balik lagi.
Sekolah ini benar-benar sekolah desa yg kecil dengan jumlah siswa seluruhnya hanya sebanyak 78 orang (itu pun kalau masuk seluruhnya). Tidak jarang siswa berhenti bersekolah tanpa pemberitahuan sebelumnya. Alasannya bisa karena bosan sekolah, dipaksa membantu ortu bekerja, atau karena kawin. Jangan harap bisa memungut biaya sekolah dari para ortu. Sekolah harus bisa beroperasi dg dana BOS yg ada. Take it or leave it…
Tapi untungnya ada pendidik-pendidik berdedikasi penuh macam Ibu Sudibjan yg menjadi kasek dan Pak Slamet pensiunan kasek SD yg jadi ketua yayasan dari sekolah desa ini. Dibantu oleh beberapa guru muda yg juga penuh dedikasi mereka berjibaku agar sekolah ini bisa hidup dan bisa memberi pendidikan semampu yg bisa mereka upayakan bagi anak-anak di desa tsb.
Untuk bisa bersekolah pun anak-anak juga harus jalan kaki dari rumah-rumah mereka di bukit-bukit sekitar sejauh lebih dari tiga kilometer karena tidak ada angkot yg lewat. Ada beberapa siswa yg bisa naik sepeda tapi jelas sekali tak ada siswa yg bawa motor ke sekolah.
Apa yg mengagumkan dari anak-anak ini? Mereka mendengarkan presentasi saya dg penuh antusiasme, tanpa bergerak dan tidak mengeluarkan suara celometan sama sekali (ada guru yg dengan gesit mengingatkan mereka jika mereka bergerak dan berbicara). Ketika buku-buku bacaan saya keluarkan dan letakkan di atas meja utk saya pamerkan mereka semua memandang dengan penuh keinginan utk segera melahapnya (I know that expression very well). Ketika saya memberi seorang anak sebuah buku sebagai hadiah atas keberaniannya menjawab pertanyaan saya maka teman-temannya yg lain nampak iri dan juga ingin memperoleh hadiah buku. Mungkin anak-anak ini belum pernah memperoleh hadiah buku selama hidup mereka. Dan ketika mereka memperoleh hadiah sebuah buku bacaan yg belum pernah mereka lihat dan bayangkan sebelumnya maka itu seperti mimpi saja laiknya.
Di luar kelas ketika acara sudah usai anak ini masih saja dikerubuti oleh teman-temannya yg ingin melihat dan memegang buku hadiah tersebut. Mereka ingin menikmati sedikit sensasi dari memperoleh hadiah buku tsb. Mereka belum lagi menikmati sensasi membaca buku-buku yg bisa membawa mereka bertualang ke ujung-ujung dunia (padahal rumah mereka hanya berjarak kurang dari satu jam dari kota dan mestinya ada perpustakaan kabupaten yg bisa dikunjungi).
Orang tua mereka tidak kalah mengagumkannya. Mereka adalah orang-orang desa dengan tampilan sesederhana yg bisa Anda bayangkan. Meski di sekolah itu terpampang tulisan “Sekolah ini adalah lingkungan dilarang merokok” mereka tetap saja merokok selama mendengarkan presentasi saya. Mungkin dalam statistik mereka ini termasuk sekian persen warganegara Indonesia yg masih buta huruf sehingga tidak tahu apa yg tertulis di tembok sekolah tersebut.
Meski mereka mendengarkan presentasi saya dg serius (mungkin terpesona oleh penampilan saya yg keren dengan gerak tubuh yg menggebu-gebu) tapi sy tdk yakin mereka memahami bahasa Indonesia saya canggih dan intelek itu. Literasi…? Produktif…? Prioritas…? Peradaban…? Filsafat…? Sak jane opo toh kuwi…?!
Saya mencoba utk menguji apakah mereka memahami saya atau tidak dengan bertanya siapa nama gubernur Jawa Tengah (it’s your governor, right?) Dan mereka hanya senyum-senyum saja tanpa mampu menjawab pertanyaan saya. Ketika saya beri ‘clue’ dengan menyebutkan nama depan pak gubernur Jateng, “Ganjar…?!” salah seorang ibu menjawab dengan cepat, “Prabowo…!” dengan wajah bangga seolah baru saja menyelesaikan soal Unas dg hasil gilang gemilang. Ok. It’s my fault. Mungkin pertanyaan bisa kita mulai dari nama kepala desa, baru lurah, kemudian camat, dstnya dstnya. Gubernur itu jabatan yg terlalu tinggi utk dikenal dan diingat bagi mereka. Yg bertanya yg salah bukan yg ditanya.
Presentasi hari itu ditutup setelah presentasi pada guru sekolah yg ternyata hanya hadir 7 org. Yang lain ada kesibukan yg lebih penting ketimbang mendengarkan saya. Yah, semacam diskusi kecil saja. Pada akhir tanya jawab saya sampaikan pada mereka utk berhenti menyampaikan masalah dan mulai mencari solusi. Membawakan buku bacaan dan meletakkannya di koridor agar selalu bisa mereka ambil dan baca adalah solusi sederhana yg bisa mereka lakukan. Itu solusi yg lebih kongkrit ketimbang mengeluarkan berbagai teori canggih seperti yg saya sampaikan pada ortu siswa pada presentasi sebelumnya.
Setelah ini agenda saya yg sudah terjadwal adalah Salatiga, Unsyiah Aceh, UAD Jogya, Ubaya Surabaya dan beberapa kota yg masih mencari waktu yg pas.
Masih banyak kesenangan dan kegembiraan di depan…
Sancaka Solo – Madiun, 15 Aggustus 2014
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com